![]() |
Jenazah diduga Santoso (Foto: MNC Media) |
Poso - Riwayat pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso alias Abu Wardah kini sudah tamat. Berpulangnya Sang Mujahid ke pangkuan Ilahi bukan karena kelaparan di hutan, tapi akibat timah panas setelah baku tembak dengan batalyon Raider 515 Kostrad, Satgas Tinombala.
"Jadi ada kontak senjata di koordinat UTM 2027-6511. Kontak tembak dari satuan tugas batalyon Raider 515 Kostrad. Dua orang meninggal, salah satu cirinya berjenggot dan mempunyai tahi lalat yang cirinya dicurigai mirip Santoso," kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen TNI Tatang Sulaiman saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Selasa (19/07/2016).
Terbunuhnya Santoso sebagaimana yang dipublish media belakangan ini digambarkan sangat heroik, lantaran Santoso menggunakan bendera Mujahid yang terkesan perjuangannya itu dilandaskan pada ideologi agama. Namun, di balik itu ada sepenggal kesaksian yang bisa membantah bahwa pergerakan yang dipimpin Santoso tak ada kaitannya dengan agama.
Menurut pengakuan teman semasa sekolahnya, Abdul Manan Abas, pemahaman dasar agama yang dimiliki Santoso biasa saja. Bahkan, ketika duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah Poso, Santoso dikenal sosok yang sangat jahil, suka bolos, dan malas ikut apel Senin.
“Pemahaman dasar agamanya biasa saja. Tidak tahu kalau setelah tamat tsanawiyah,” kata Manan di Poso, Minggu (21/10/2012).
Selain Manan, Tokoh Kristen di Kabupaten Poso, Pendeta Rinaldy Damanik juga punya kisah tentang Santoso. Di mata Rinaldy, Santoso merupakan sosok yang sangat humoris.
Rinaldy mengungkapkan, dirinya pernah berjumpa dengan Santoso pada awal 2012. Kala itu, Rinaldy mendapati pimpinan MIT tersebut tengah menjajakan sayur mayur kepada masyarakat di Pasar Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
"Mari Bu, mari Bu, mari Bu," kata Santoso yang terdengar seperti lima ribu.
Tawaran Santoso tersebut, kata Rinaldy, membuat warga yang melintas tertarik dan berhenti di lapak yang digelar Santoso, karena harga yang ditawarkan murah, mengingat jumlahnya melimpah dengan harga yang cuma Rp5.000.
Begitu sejumlah kaum ibu mendekat untuk membeli dengan harga Rp5.000, penjual sayur tersebut tertawa dan berkata, "Loh, saya hanya bilang 'Mari Bu, bukan lima ribu," kata Santoso sambil tersenyum.
Kepala Satgas Operasi Tinombala Kombes Leo Bona Lubis pun mengakui bahwa latar belakang Santoso sebelum masuk dalam gerakan teroris adalah pedagang.
"Santoso ini sebenarnya bukan siapa-siapa, dia dulunya ini penjual apa, banyak pekerjaan yang sudah dia lakukan. Dan dia pernah kena tindak pidana tahun 2008," kata Leo Bona Lubis, Kamis (24/3/2016).
Lalu, bagaimana Santoso bisa masuk dalam organisasi teroris? Berdasarkan hasil penelusuran di dunia maya, Santoso dan kelompoknya tidak lepas dari peran Abu Tholut. Abu Tholut merupakan tersangka kasus pelatihan teroris di Aceh, yang sudah dinyatakan bebas bersyarat pada Oktober 2015.
Abu Tholut sendiri merupakan kaki tangan Amir Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba'asyir. Di akhir 2009, Abu Tholut diberikan amanah oleh Abu Bakar Ba'asyir untuk merealisasikan cita-cita mendirikan negara Islam di Poso. Supaya tidak terdeteksi oleh pihak keamanan, misinya itu dikemas dengan acara dakwah.
Namun, di tengah kegiatan dakwahnya itu, diam-diam Abu Tholut juga menjalankan program kamp pelatihan untuk mengembangkan gagasan negara islam yang digagas oleh JAT. Awal Maret 2010, Santoso datang ke Poso bersama teman-temanya untuk mengikuti program tersebut.
Usai pelatihan, Santoso diangkat menjadi ketua Asykariy atau sayap militer JAT Poso, yang ketuanya adalah Ustadz Yasin.
Selama di Poso, Santoso meminta tolong pada temannya, Joko Purwanto (ditangkap di Solo, Mei 2010) untuk mencari senjata, menggalang dana, mengumpulkan senjata, dan seragam polisi untuk operasi mereka di masa depan.
Maret dan Mei 2011 adalah kali pertama kelompok Santoso melakukan operasi teror. Target pertama mereka adalah sebuah bank di Palu. Saat itu, Santoso sudah mengumpulkan 20 orang. Meski telah memiliki banyak uang dari hasil rampokan, Santoso tetap membutuhkan lebih banyak orang. Lalu, Santoso memutuskan untuk menyerang sebuah Polsek di Palu pada Mei 2011, dan berhasil membobol beberapa sel untuk mendapatkan rekrutan baru.
Untuk mendanai operasional, kelompok Santoso kerap melakukan tindakan kriminal, seperti pencurian kendaraan bermotor. Selain untuk operasional, hasil kejahatannya itu juga untuk membiayai hidup janda para anggota kelompok Santoso yang tewas dalam operasi sebelumnya.
Dalam pergerakannya itu, kelompok Santoso sering bekerjasama dengan kelompok lain, seperti kelompok Abu Umar di Kaltim. Santoso juga membuka hubungan dengan Moro Islamic Liberation Front, dan Santoso menggunakan hubungan tersebut untuk membuka kamp di Kalimantan dan Poso, serta mendapatkan senjata beserta amunisinya.
Kepala Operasi Daerah Tinombala 2016 Kombes Pol Leo Bona Lubis menyebutkan, untuk pendanaan organisasi, kelompok Santoso juga membangun jaringan hingga ke ISIS. Namun, belum diketahui besaran nominal dan bagaimana dana tersebut dikirimkan.
Yang pasti, kata Leo, dana ke jaringan Santoso tersebut masuk secara bertahap, mulai dari kisaran Rp2 juta dalam beberapa kali pengiriman. Pengiriman dilakukan melalui yayasan dan rekening perseorangan.
"Memang ada dana ISIS yang selama ini masuk ke kelompok Santoso dengan sistem penyaluran melalui bank dan perseorangan," ungkapnya.
Keberhasilan Santoso dalam mengorganisir pasukan dan melakukan serangan terhadap aparat keamanan membuat dirinya dipercaya menjadi menjadi Amir, atau pemimpin Mujahidin Indonesia Timur pada awal 2012.
Disaat Santoso merasa sudah kuat secara keuangan dan pasukannya juga cukup banyak, pada 14 Oktober 2012, Santoso, atas nama Amir Mujahidin Indonesia Timur (MIT) mengeluarkan gertakan melalui surat tantangan kepada Detasemen Khusus (Densus) 88:
“Kami selaku Mujahidin gugus tugas Indonesia Timur menantang Densus88 Anti-Teror untuk berperang secara terbuka dan jantan! Mari kita berperang secara laki-laki! Jangan kalian cuma berani menembak, menangkapi anggota kami yang tidak bersenjata! Kalau kalian benar-benar Kelompok laki-laki, maka hadapi kami! Jangan kalian menang tampang saja tampil di televisi!”
Tidak hanya menggertak, Kelompok Santoso pun menculik dua aparat kepolisian, dan dilarikan ke Tamanjeka dan Gunung Biru. Seketika, aparat kepolisian dibantu personil TNI melakukan pengejaran sekaligus ingin membebaskan dua aparat kepolisian yang diculik tersebut.
Ternyata Santoso sengaja menggiring aparat keamanan ke Gunung Biru untuk membinasakan para pasukan dengan ranjau yang telah ditanam anak buahnya. Skenario Santoso itu ternyata telah dibaca aparat keamanan. Akibatnya, jebakan ranjau yang dipasang di area itu menjadi sia-sia.
Pasukan gabungan Polisi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan hati-hati terus menyisir wilayah Tamanjeka dan Gunung Biru. Ini menyulitkan pasukan Santoso. Pasokan logistik, termasuk makanan, dari Tamanjeka tak bisa masuk dari Gunung Biru.
Mereka terdesak, mereka berusaha kabur ke luar wilayah Malino, Kabupaten Morowali. Untuk memecah konsentrasi aparat keamanan, kelompok MIT menebar teror di luar kawasan Tamanjeka.
Pada 24 Oktober 2012, anak buah Santoso yang berada di Poso, Sulawesi Tengah, membom pos polisi dan Poso Kota. Beberapa polisi terluka.
Kemudian, polisi berhasil melakukan serangan balasan, dan menewaskan salah satu anak buah kepercayaan Santoso, yaitu Zipo. Teroris asal Bima itu ditembak mati dalam penyergapan di Desa Kalora, Poso Pesisir. Awal November tahun yang sama polisi menangkap Ustadz Yasin, pentolan Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT) Poso dan menembak mati seorang anak buah Santoso.
Meski satu per satu anak buah Santoso tewas, aparat keamanan tetap melakukan operasi sampai Sang Mujahid berhasil ditangkap. Tahun lalu, polisi menggelar 4 jilid operasi dengan sandi Camar Maleo untuk mengejar kelompok yang telah dimasukkan ke dalam daftar teroris global atau Specially Designated Global Terrorists (SDGT) oleh Amerika Serikat ini.
Tahun ini, pemerintah membentuk Satgas Operasi Tinombala untuk memburu Santoso dan kelompoknya. Satgas itu sudah aktif sejak 10 Januari 2016 untuk mengobrakabrik persembunyian kelompok teroris di wilayah pegunungan di Poso, Sulawesi Tengah yang memang dikenal memiliki medan yang sulit.
Ibarat sepandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Begitu juga dengan Santoso. Sehebatnya ia bersembunyi, pada akhirnya timah panas pun yang menghentikan pelariannya. Kemarin, Senin (18/07/2016) Sang Mujahid meregang nyawa akibat tertembak Satgas Operasi Tinombala. (Rimanews.com)
loading...
Post a Comment