![]() |
Ilustrasi |
Banda Aceh - Keberadaan fasilitas publik di Kota Banda Aceh belum ramah bagi penyandang disabilitas atau orang berkebutuhan khusus. Mereka belum sepenuhnya bisa menikmati fasilitas umum dan sosial yang ada, karena tak tersedianya aksesibilitas.
Contoh kecil adalah Masjid Raya Baiturrahman yang berada di tengah kota. Masjid yang menjadi ikon Aceh ini masih sulit diakses disabilitas khususnya bagi pengguna kursi roda dan tuna netra, karena tak ada jalur khusus untuk mereka masuk ke dalam masjid.
“Apakah masjid ini hanya dibangun untuk orang yang punya fisik sempurna saja? Jadi ini perlu diperhatikan oleh pemerintah,” kata Syarifuddin, perwakilan Forum Komunikasi Masyarakat Berkebutuhan Khusus Aceh (FKMBKA) di Banda Aceh, Jumat (29/1/2016).
Menurutnya, fasilitas publik di Banda Aceh masih banyak yang belum menyediakan aksesibilitas yang layak bagi disabilitas. Hal ini dibuktikan dari riset dilakukan FKMBKA bersama Lembaga Riset Natural Aceh, terhadap 81 fasilitas publik di Banda Aceh sepanjang Agustus-November 2015.
Dalam penelitian ini diketahui secara umum ketersediaan elemen aksesibilitas fasilitas publik bagi disabilitas di Ibu Kota Provinsi Aceh itu hanya 37,7 persen. Bahkan rumah sakit yang merupakan fasilitas umum paling dibutuhkan penyandang disabilitas, baru 51,28 persen memenuhi elemen aksesibilitas. Begitu juga dengan klinik dan apotek ketersediaan aksesiblitasnya hanya 44,86 persen.
Elemen aksesibilitas yang sudah tersedia bagi disabilitas pada fasilitas publik selama ini, dinilai juga penting diperhatikan standarnya karena masih ada yang belum bisa dinikmati maksimal oleh penyandang disabilitas.
Mereka juga mengeluhkan diskriminasi pelayanan terhadap tuna netra di Bank Aceh, yang selalu meminta fotocopy KTP saat melakukan penarikan uang di teller.
Warga disabilitas juga memprotes sulitnya mendapatkan kartu BPJS, terutama bagi mereka yang tinggal di luar Kota Banda Aceh. Hal ini karena adanya prosedur bertingkat dan antrian panjang yang juga berlaku bagi mereka.
“Akhirnya banyak penyandang disabilitas yang seharusnya menjadi target dari program ini, harus menjadi pasien umum dan membayar untuk memperoleh akses kesehatan di Aceh,” tukas Syarifuddin.
Syarifuddin bersama rekannya Zainal Abidin Suarja selaku wakil FKMBKA dan Lembaga Riset Natural Aceh, sudah menyampaikan secara resmi keluhan mereka dan hasil risetnya kepada Ombudsman RI Perwakilan Aceh.
Kepala Kantor Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Taqwaddin Husin berjanji menindaklanjuti laporan dan hasil riset ini, setelah melakukan verifikasi dan evaluasi.
“Evaluasi tersebut terkait hak masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik termasuk untuk penyandang disabilitas sesuai yang diamanahkan Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,” ungkap Husin.(OKZ)
Contoh kecil adalah Masjid Raya Baiturrahman yang berada di tengah kota. Masjid yang menjadi ikon Aceh ini masih sulit diakses disabilitas khususnya bagi pengguna kursi roda dan tuna netra, karena tak ada jalur khusus untuk mereka masuk ke dalam masjid.
“Apakah masjid ini hanya dibangun untuk orang yang punya fisik sempurna saja? Jadi ini perlu diperhatikan oleh pemerintah,” kata Syarifuddin, perwakilan Forum Komunikasi Masyarakat Berkebutuhan Khusus Aceh (FKMBKA) di Banda Aceh, Jumat (29/1/2016).
Menurutnya, fasilitas publik di Banda Aceh masih banyak yang belum menyediakan aksesibilitas yang layak bagi disabilitas. Hal ini dibuktikan dari riset dilakukan FKMBKA bersama Lembaga Riset Natural Aceh, terhadap 81 fasilitas publik di Banda Aceh sepanjang Agustus-November 2015.
Dalam penelitian ini diketahui secara umum ketersediaan elemen aksesibilitas fasilitas publik bagi disabilitas di Ibu Kota Provinsi Aceh itu hanya 37,7 persen. Bahkan rumah sakit yang merupakan fasilitas umum paling dibutuhkan penyandang disabilitas, baru 51,28 persen memenuhi elemen aksesibilitas. Begitu juga dengan klinik dan apotek ketersediaan aksesiblitasnya hanya 44,86 persen.
Elemen aksesibilitas yang sudah tersedia bagi disabilitas pada fasilitas publik selama ini, dinilai juga penting diperhatikan standarnya karena masih ada yang belum bisa dinikmati maksimal oleh penyandang disabilitas.
Mereka juga mengeluhkan diskriminasi pelayanan terhadap tuna netra di Bank Aceh, yang selalu meminta fotocopy KTP saat melakukan penarikan uang di teller.
Warga disabilitas juga memprotes sulitnya mendapatkan kartu BPJS, terutama bagi mereka yang tinggal di luar Kota Banda Aceh. Hal ini karena adanya prosedur bertingkat dan antrian panjang yang juga berlaku bagi mereka.
“Akhirnya banyak penyandang disabilitas yang seharusnya menjadi target dari program ini, harus menjadi pasien umum dan membayar untuk memperoleh akses kesehatan di Aceh,” tukas Syarifuddin.
Syarifuddin bersama rekannya Zainal Abidin Suarja selaku wakil FKMBKA dan Lembaga Riset Natural Aceh, sudah menyampaikan secara resmi keluhan mereka dan hasil risetnya kepada Ombudsman RI Perwakilan Aceh.
Kepala Kantor Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Taqwaddin Husin berjanji menindaklanjuti laporan dan hasil riset ini, setelah melakukan verifikasi dan evaluasi.
“Evaluasi tersebut terkait hak masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik termasuk untuk penyandang disabilitas sesuai yang diamanahkan Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,” ungkap Husin.(OKZ)
loading...
Post a Comment