Banda Aceh - Ikatan Mahasiswa Pelajar Samadua (IMPS) Kabupaten Aceh Selatan menantang Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh untuk menuntaskan berbagai kasus korupsi dana aspirasi dan proyek bermasalah.
Statemen Kejati Aceh yang akan mengikis habis praktek korupsi hanya sensasi belaka. Padahal begitu banyak laporan terkait proyek dana aspirasi di kejaksaan tinggi selama ini tetapi pupus ditengah jalan.
“Kami telah melaporkan hal tersebut kepada pihak kejaksaan tinggi dengan nomor agenda laporan 12917 tanggal 17 Desember 2014 terkait indikasi pelanggaran hukum dalam proyek pembangunan asrama IKSAS Di Gampong Rukoh, Darussalam,” ujar Ketua Umum Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Samadua (IMPS) Hariyadi dalam keterangan tertulis, Minggu (24/1).
Dikatakannya, kasus ini sudah berulang kali tampil diberbagai media massa di Aceh dan sudah menjadi konsumsi publik. Namun, hingga kini tidak ada kejelasan tindak lanjut dari Kejati, sehingga dianulir ada permainan khusus yang dimainkan ke kejati oleh pihak tertentu.
Sejumlah proyek terindikasi korupsi adalah pekerjaan asrama IKSAS Di Gampong Rukoh, Darussalam dikerjakan oleh PT. Alif Prado yang memenangkan tender dengan harga penawaran sebesar Rp 842.512.000,-. Sedangkan tahap kedua, dialokasikan anggaran sebanyak Rp 400 juta APBA 2013.
Pekerjaan yang ditender Dinas Cipta Karya tersebut dikerjakan oleh CV. Bintang Aneshda sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp 380 juta. Pada tahap kedua ini pekerjaan mencakup finishing dan pembangunan pagar.
“Berdasarkan fakta lapangan, kualitas dan kuantitas asrama tersebut tidak bagus, seperti yang terdapat kosen jendela dan papan pintu yang tidak sesuai spek. Selain itu, pembangunannya juga tidak sesuai dengan rancangan anggaran kegiatan,” ujarnya.
Dikatakan, setelah maraknya pemebritaan, kontraktor justru melaksanakan kembali pekerjaan tersebut walaupun alokasi anggaran tidak ada.
Ironisnya, kegiatan tersebut hingga pertengahan 2015 bangunan dua lantai di atas tanah dengan luas sekitar 1000 meter persegi milik masyarakat Samadua tersebut belum juga serah terima.
Padahal pekerjaan finishing sudah dilaksanakan pada tahun anggaran 2013. Belum lagi, proyek pembangunan tersebut bersifat multiyear. Dana yang ditempatkan pada Dinas Bina Marga dan Cipta Karya diduga berpotensi korupsi.
“Menurut kami kepala kejaksaan tinggi Aceh yang baru hendaknya melakukan evaluasi terkait kinerja lembaga penegak hukum yang kini dipimpinnya. Jika memang serius, kami mendesak agar persoalan ini dapat dituntaskan segera, agar bangunan tersebut dapat difungsikan sebagaimana mestinya oleh mahasiswa setelah segenap persoalan hukumnya dituntaskan. Tuntaskan dulu kasus yang menumpuk biar publik percaya terkait penegakan hukum di Kejaksaan Tinggi Aceh. Jika tidak, maka masyarakat akan menilai statemen kepala Kejati Aceh yang baru , masyarakat menunggu bukti kinerjanya dalam menyelesaikan kasus-kasus dari dana aspirasi yang sudah menumpuk bahkan mungkin telah menjadi arsip yang disimpan rapi,” ujarnya.(WOL)
Statemen Kejati Aceh yang akan mengikis habis praktek korupsi hanya sensasi belaka. Padahal begitu banyak laporan terkait proyek dana aspirasi di kejaksaan tinggi selama ini tetapi pupus ditengah jalan.
“Kami telah melaporkan hal tersebut kepada pihak kejaksaan tinggi dengan nomor agenda laporan 12917 tanggal 17 Desember 2014 terkait indikasi pelanggaran hukum dalam proyek pembangunan asrama IKSAS Di Gampong Rukoh, Darussalam,” ujar Ketua Umum Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Samadua (IMPS) Hariyadi dalam keterangan tertulis, Minggu (24/1).
Dikatakannya, kasus ini sudah berulang kali tampil diberbagai media massa di Aceh dan sudah menjadi konsumsi publik. Namun, hingga kini tidak ada kejelasan tindak lanjut dari Kejati, sehingga dianulir ada permainan khusus yang dimainkan ke kejati oleh pihak tertentu.
Sejumlah proyek terindikasi korupsi adalah pekerjaan asrama IKSAS Di Gampong Rukoh, Darussalam dikerjakan oleh PT. Alif Prado yang memenangkan tender dengan harga penawaran sebesar Rp 842.512.000,-. Sedangkan tahap kedua, dialokasikan anggaran sebanyak Rp 400 juta APBA 2013.
Pekerjaan yang ditender Dinas Cipta Karya tersebut dikerjakan oleh CV. Bintang Aneshda sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp 380 juta. Pada tahap kedua ini pekerjaan mencakup finishing dan pembangunan pagar.
“Berdasarkan fakta lapangan, kualitas dan kuantitas asrama tersebut tidak bagus, seperti yang terdapat kosen jendela dan papan pintu yang tidak sesuai spek. Selain itu, pembangunannya juga tidak sesuai dengan rancangan anggaran kegiatan,” ujarnya.
Dikatakan, setelah maraknya pemebritaan, kontraktor justru melaksanakan kembali pekerjaan tersebut walaupun alokasi anggaran tidak ada.
Ironisnya, kegiatan tersebut hingga pertengahan 2015 bangunan dua lantai di atas tanah dengan luas sekitar 1000 meter persegi milik masyarakat Samadua tersebut belum juga serah terima.
Padahal pekerjaan finishing sudah dilaksanakan pada tahun anggaran 2013. Belum lagi, proyek pembangunan tersebut bersifat multiyear. Dana yang ditempatkan pada Dinas Bina Marga dan Cipta Karya diduga berpotensi korupsi.
“Menurut kami kepala kejaksaan tinggi Aceh yang baru hendaknya melakukan evaluasi terkait kinerja lembaga penegak hukum yang kini dipimpinnya. Jika memang serius, kami mendesak agar persoalan ini dapat dituntaskan segera, agar bangunan tersebut dapat difungsikan sebagaimana mestinya oleh mahasiswa setelah segenap persoalan hukumnya dituntaskan. Tuntaskan dulu kasus yang menumpuk biar publik percaya terkait penegakan hukum di Kejaksaan Tinggi Aceh. Jika tidak, maka masyarakat akan menilai statemen kepala Kejati Aceh yang baru , masyarakat menunggu bukti kinerjanya dalam menyelesaikan kasus-kasus dari dana aspirasi yang sudah menumpuk bahkan mungkin telah menjadi arsip yang disimpan rapi,” ujarnya.(WOL)
loading...
Post a Comment