Tarmizi harusnya memahami bahwa pilkada ini adalah urusan daerah. Bukan otomiatis urusan Jakarta. Klaim bahwa dirinya mendapat dukungan dari sejumlah partai politik nasional, untuk maju sebagai kandidat gubernur, mungkin benar adanya. Bisa saja dia telah berkomunikasi dengan pengurus pusat partai politik.
BAGI sebagian masyarakat Aceh, nama Tarmizi A Karim adalah jaminan keberhasilan. Catatan mentereng karier Tarmizi A Karim membuat dia layak digadang-gadang sebagai salah satu petarung. Keberadaannya di Pemilihan Kepala Daerah 2017 di Aceh tentu akan diperhitungkan lawan maupun kawan.
Wajar jika Tarmizi menyimpan hasrat menjadi Gubernur Aceh. Sebagai seorang birokrat, Tarmizi memiliki catatan penugasan di bidang pemerintahan. Dia pernah menjabat sebagai Bupati Aceh Utara. Di Kementerian Dalam Negeri, dia juga menduduki sejumlah jabatan strategis.
Saat ini, Tarmizi pejabat Gubernur Kalimantan Selatan, sebelumnya dia bertugas dalam kapasitas sama di Kalimantan Timur. Usai masa tugas Gubernur Irwandi Yusuf, Menteri Dalam Negeri menunjuk Tarmizi sebagai pejabat Gubernur Aceh, sebelum tampuk kepemimpinan Aceh diserahkan ke tangan Zaini Abdullah.
Catatan riwayat hidup Tarmizi seperti tak sempurna jika dia tak menjabat sebagai Gubernur Aceh definitif. Sebagai salah satu putra terbaik Aceh saat ini, hasrat itu jelas menggelitik. Ada gatal yang harus digaruk. Jika dorongan untuk maju pada Pilkada 2012 gagal didapatkan, kali ini, Tarmizi harus merebutnya. Pilkada 2017 adalah momentum penting untuk menjadi orang nomor satu di kampung halaman; sekarang atau tidak sama sekali.
Namun sebagai tokoh nasional, Tarmizi harusnya memahami bahwa pilkada ini adalah urusan daerah. Bukan otomiatis urusan Jakarta. Klaim bahwa dirinya mendapat dukungan dari sejumlah partai politik nasional, untuk maju sebagai kandidat gubernur, mungkin benar adanya. Bisa saja dia telah berkomunikasi dengan pengurus pusat partai politik.
Namun itu tidak serta merta menjadi tiket baginya, lalu menjadikan dirinya bebas mengatur dapur partai di daerah. Usai mengklaim mendapatkan dukungan dari partai nasional, ramai-ramai pengurus partai di Aceh menolak pernyataan Tarmizi tersebut. Klaim itu dianggap merusak sistem dan proses seleksi calon gubernur yang tengah dijalankan pengurus partai politik di Aceh.
Tak selamanya orang dari Jakarta “laku” di Aceh. Karena, dalam sejarah Indonesia, Aceh memiliki jalannya sendiri, dari urusan selera hingga sistem pemerintahan. Tak cukup hanya kementerengan saja. Atau jangan-jangan, dukungan dari partai, yang disebut-sebut Tarmizi, hanyalah klaim bodong.
Wajar jika Tarmizi menyimpan hasrat menjadi Gubernur Aceh. Sebagai seorang birokrat, Tarmizi memiliki catatan penugasan di bidang pemerintahan. Dia pernah menjabat sebagai Bupati Aceh Utara. Di Kementerian Dalam Negeri, dia juga menduduki sejumlah jabatan strategis.
Saat ini, Tarmizi pejabat Gubernur Kalimantan Selatan, sebelumnya dia bertugas dalam kapasitas sama di Kalimantan Timur. Usai masa tugas Gubernur Irwandi Yusuf, Menteri Dalam Negeri menunjuk Tarmizi sebagai pejabat Gubernur Aceh, sebelum tampuk kepemimpinan Aceh diserahkan ke tangan Zaini Abdullah.
Catatan riwayat hidup Tarmizi seperti tak sempurna jika dia tak menjabat sebagai Gubernur Aceh definitif. Sebagai salah satu putra terbaik Aceh saat ini, hasrat itu jelas menggelitik. Ada gatal yang harus digaruk. Jika dorongan untuk maju pada Pilkada 2012 gagal didapatkan, kali ini, Tarmizi harus merebutnya. Pilkada 2017 adalah momentum penting untuk menjadi orang nomor satu di kampung halaman; sekarang atau tidak sama sekali.
Namun sebagai tokoh nasional, Tarmizi harusnya memahami bahwa pilkada ini adalah urusan daerah. Bukan otomiatis urusan Jakarta. Klaim bahwa dirinya mendapat dukungan dari sejumlah partai politik nasional, untuk maju sebagai kandidat gubernur, mungkin benar adanya. Bisa saja dia telah berkomunikasi dengan pengurus pusat partai politik.
Namun itu tidak serta merta menjadi tiket baginya, lalu menjadikan dirinya bebas mengatur dapur partai di daerah. Usai mengklaim mendapatkan dukungan dari partai nasional, ramai-ramai pengurus partai di Aceh menolak pernyataan Tarmizi tersebut. Klaim itu dianggap merusak sistem dan proses seleksi calon gubernur yang tengah dijalankan pengurus partai politik di Aceh.
Tak selamanya orang dari Jakarta “laku” di Aceh. Karena, dalam sejarah Indonesia, Aceh memiliki jalannya sendiri, dari urusan selera hingga sistem pemerintahan. Tak cukup hanya kementerengan saja. Atau jangan-jangan, dukungan dari partai, yang disebut-sebut Tarmizi, hanyalah klaim bodong.
Sumber: AJNN.Net
loading...
Post a Comment