![]() |
Ilustrasi |
Banda Aceh - Puluhan mahasiswa/i mengikuti kegiatan bincang-bincang seputar perlindungan perempuan dan kebijakan diskriminatif, Jumat (12/4/2019) di Aula Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Acara yang diselenggarakan atas hasil kerjasama Solidaritas Perempuan (SP) Aceh dengan Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry ini mengulas berbagai situasi terkait dengan perlindungan perempuan akhir-akhir ini.
Ketua Badan Eksekutif Komunitas (BEK) SP Aceh, Elvida dalam sambutannya mengatakan, kegiatan diskusi semacam ini baru pertama kalinya dilakukan di UIN – Arraniry dan harapannya kedepan dapat berlanjut karena kelompok muda sangat potensial untuk mendiskusikan aturan-aturan terkait perlindungan perempuan serta kebijakan diskriminatif.
"Saya sangat mengapresiasi kerjasama yang telah terjalin selama ini. Adapun tujuan diskusi ini agar mahasiswa bisa ikut menyuarakan isu tersebut. “Mahasiswa perlu mempelajari mana saja yang disebut aturan diskriminatif, dan ikut mengkritisinya," tandas Elvida.
Sementara, pembicara pertama, Ruwaida S.Pd.I dari SP-Aceh menjelaskan, diskriminasi merupakan perlakuan berbeda terhadap satu individu maupun kelompok. Ia berawal dari cara pandang seseorang terhadap orang selain dirinya. Diskriminasi mengarahkan pikirannya untuk menegasikan keberadaan orang lain, baik itu disebabkan perbedaan warna kulit, ras, agama, gender, maupun pandangan politik.
Sementara, pembicara pertama, Ruwaida S.Pd.I dari SP-Aceh menjelaskan, diskriminasi merupakan perlakuan berbeda terhadap satu individu maupun kelompok. Ia berawal dari cara pandang seseorang terhadap orang selain dirinya. Diskriminasi mengarahkan pikirannya untuk menegasikan keberadaan orang lain, baik itu disebabkan perbedaan warna kulit, ras, agama, gender, maupun pandangan politik.
"Ketika ini tertanam, bakal berwujud pada tindakan," kata Ruwaida.
Pelaku diskriminasi tidak hanya individu, tetapi juga kelompok. Menurut Ruwaida, diskriminasi bisa dilakukan siapa saja. Bahkan, pemimpin dalam rumah tangga, agama hingga pemangku kebijakan sekalipun, bisa diskriminatif.
"Ini semua menyangkut pada akhlak seseorang. Akhlak merupakan dasar dari segala perilaku," ujarnya. lagi.
"Ini semua menyangkut pada akhlak seseorang. Akhlak merupakan dasar dari segala perilaku," ujarnya. lagi.
Mundur ke belakang, momentum reformasi tahun 1998 silam, imbuhnya, merupakan titik balik perlawanan atas segenap tindakan diskriminatif negara terhadap gerakan perempuan selama bertahun-tahun. Usai reformasi, ada perubahan pada aspek pengakuan terhadap kaum perempuan. Salah satu pencapaian yang paling kentara, yakni keterlibatan perempuan dengan kuota minimal 30 persen di sektor publik.
Salah satu sektor yang ditekankan oleh yaitu pendidikan. Perempuan perlu meningkatkan kapasitasnya secara pendidikan guna menunjang kualifikasinya tidak hanya di dunia kerja, namun juga di lingkungan sosial masyarakat.
Bicara realitas hari ini, Ruwaida prihatin dengan maraknya tindakan-tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Beberapa contoh diuraikan Ruwaida. "Di kampus, mulai ada aturan larangan bercadar. Karena alasan mencurigai penampilan seseorang, maka muncul aturan diskriminatif," ujarnya.
Karena itu, menurutnya, mahasiswa sebagai insan akademis perlu menempa wawasannya terkait kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan perlu diterapkan dalam empat hal: partisipasi, akses, kontrol, dan manfaat.
Adapun pembicara kedua, Dr. Rasyidah M.Ag menjelaskan bahwa definisi 'setara' berbeda dengan 'sama'. Ketua Prodi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Ar-Raniry ini meluruskan bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda. Namun keduanya berhak menerima akses, kontrol, partisipasi, manfaat yang sama sesuai kebutuhannya masing-masing.
"Kebutuhan itu tidak mungkin sama antara laki-laki dan perempuan, namun masing-masing tetap harus menerima akses dan manfaat," ujar dia.
Selanjutnya, Rasyidah mengulang kembali bahwa Indonesia termasuk negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (bahasa Inggris: Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women, disingkat CEDAW). Maka Indonesia wajib memenuhi isi konvensi tersebut.
Salah satu sektor yang ditekankan oleh yaitu pendidikan. Perempuan perlu meningkatkan kapasitasnya secara pendidikan guna menunjang kualifikasinya tidak hanya di dunia kerja, namun juga di lingkungan sosial masyarakat.
Bicara realitas hari ini, Ruwaida prihatin dengan maraknya tindakan-tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Beberapa contoh diuraikan Ruwaida. "Di kampus, mulai ada aturan larangan bercadar. Karena alasan mencurigai penampilan seseorang, maka muncul aturan diskriminatif," ujarnya.
Karena itu, menurutnya, mahasiswa sebagai insan akademis perlu menempa wawasannya terkait kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan perlu diterapkan dalam empat hal: partisipasi, akses, kontrol, dan manfaat.
Adapun pembicara kedua, Dr. Rasyidah M.Ag menjelaskan bahwa definisi 'setara' berbeda dengan 'sama'. Ketua Prodi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Ar-Raniry ini meluruskan bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda. Namun keduanya berhak menerima akses, kontrol, partisipasi, manfaat yang sama sesuai kebutuhannya masing-masing.
"Kebutuhan itu tidak mungkin sama antara laki-laki dan perempuan, namun masing-masing tetap harus menerima akses dan manfaat," ujar dia.
Selanjutnya, Rasyidah mengulang kembali bahwa Indonesia termasuk negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (bahasa Inggris: Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women, disingkat CEDAW). Maka Indonesia wajib memenuhi isi konvensi tersebut.
Diskriminasi sendiri, ujar Rasyidah, merujuk pada definisi dalam CEDAW, yakni pembedaan perlakuan atas dasar perbedaan jenis kelamin. Tujuannya merusak atau membatalkan pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Kesetaraan itu memiliki bentuk-bentuknya. Kesetaraan formal mengabaikan adanya perbedaan laki-laki dan perempuan dengan didasari kebijakan yang netral. Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan diberi kesamaan untuk memperoleh haknya. Namun, alih-alih mendapat akses dan kesempatan yang ada, ruang itu disediakan dengan standar laki-laki.
“Masih ada contoh, beberapa rapat di gampong, katanya siapapun boleh hadir, tapi rapatnya diadakan jam 10 malam,” kata Rasyidah.
Selanjutnya, kesetaraan proteksionis, dimana kesetaraan yang berorientasi pada pembatasan-pembatasan dengan alasan untuk melindungi seseorang. Hal ini dicontohkan dengan maraknya larangan perempuan beraktifitas larut malam, dilarang duduk ngangkang dan sebagainya. “Berusaha melindungi, tapi merugikan perempuan lantaran pembatasan diberikan tanpa solusi yang berimbang,” ujarnya.
Yang terakhir, kesetaraan substantif. Bentuk kesetaraan ini mengharapkan adanya hasil yang baik bagi laki-laki dan perempuan. Ia menekankan agar perempuan mempunyai akses yang sama dan dapat menikmati manfaat yang sama dengan laki-laki perihal kesempatan dan peluang yang ada.
“Kesetaraan inilah (substantif) yang perlu diterapkan,” ucap Rasyidah.
Untuk mewujudkan kesetaraan substantif, harus ada perubahan pola pikir dan tingkah laku sosial budaya terhadap perempuan, menghapuskan prasangka serta kebiasaan dan praktek yang bersifat diskriminatif. Pemerintah diminta untuk mengembangkan peraturan untuk mencapai itu, yakni hak yang sama antara laki-laki dan perempuan, misalnya hak yang sama dalam keluarga, peluang kerja, kewarganegaraan, dan berpartisipasi di bidang politik, bukan malah membatasinya.
Terakhir, Rasyidah menutup bahwa agama Islam sejak awal kedatangannya telah menekankan pembebasan terhadap keterkungkungan kaum perempuan sejak masa jahiliyah. Setidaknya, Rasyidah merangkum beberapa poin revisi Islam atas budaya jahiliah, yakni: adanya peraturan yang melindungi hak perempuan, hak untuk memilih pasangan hidup sesuai pilihan secara mandiri, hak untuk menggugat cerai pasangannya dengan alasan yang dibenarkan, hak memelihara anak (belajar dari masa jahiliyah tentang budaya anak perempuan dikubur hidup-hidup), hak untuk mengelola keuangan, dan terakhir hak terkait warisan.
Ia juga mengingatkan, produk aturan diskriminatif muncul lantaran genealogi pengetahuan yang didominasi laki-laki. Standar yang timpang menyebabkan perempuan sulit mengakses kesempatan itu, karena aturan dibentuk atas pengalaman laki-laki saja. [Rill]
loading...
Post a Comment