Lombok - Azan Isya berkumandang dari Masjid Jihaddul Islam Dusun Kopang, Desa Medana, Lombok Utara. Marzuan bergegas mengayuh sepeda ke masjid yang hanya berjarak sekitar 100 meter. Sedikit pun tak ada firasat buruk terlintas di benaknya.
Sementara di rumahnya, lantunan ayat suci terdengar dari belasan anak yang sedang mengaji. Di Masjid, rakaat demi rakaat berjalan lancar. Semua tampak tenang seperti biasa.
Usai salat berjemaah, sepeda kembali Marzuan kayuh menuju pelataran belakang rumah. Sementara anak-anak masih berkerumun di teras depan rumahnya.
Ketenangan malam itu seketika berubah. Gempa berkekuatan 7 magnitudo mengguncang Pulau Seribu Masjid pada Minggu (5/8) pukul 19.46 Wita. Pusat gempa hanya berjarak 18 kilometer barat laut Lombok Timur dengan kedalaman 15 kilometer.
Segera ia hempaskan sepedanya ke tanah, berlari sejauh 8 meter menuju anak-anak yang telah berhamburan ke jalanan. Bapak-bapak yang tengah asyik menonton MotoGP di atas berugak--sejenis balai dari kayu--pun segera lari tanpa sempat menyaksikan kemenangan Andrea Dovisioso.
Jerit histeris dan isak tangis seketika pecah. “Rasanya sangat susah digambarkan. Semua pada histeris, di luar saling takbir, saling ngerangkul, sementara suara bangunan rubuh,” tutur Marzuan di atas puing rumahnya, Rabu (22/8).
Malam kian mencekam ketika listrik padam. Di tengah kegelapan, warga berupaya menyelamatkan diri dan mencari sanak keluarganya yang terpisah. Gemuruh gempa dan suara reruntuhan bangunan menyertai isak tangis campur takbir yang tak putus-putus.
Suasana bertambah kacau ketika kabar akan datangnya tsunami datang 5 menit kemudian. Warga dari kaki bukit membawa kabar bahwa air laut sudah surut, pertanda akan terjadi tsunami. Sementara warga dari atas bukit turun pontang-panting karena takut akan longsor.
Mereka langsung mencari tanah lapang sekitar satu kilometer ke atas bukit. Tempat yang dirasa aman jika tsunami benar datang. Sebagian membawa motor atau mobil, sementara sebagian lain berlari. Ada yang jatuh, terinjak, terkena reruntuhan, bahkan tertabrak. Tak bisa terhindarkan.
Di tempat evakuasi ketakutan tak serta merta sirna. Bayangan akan rubuhnya pohon kelapa karena angin kencang menghantui. Di atas tanah yang masih terus bergetar, warga saling berpelukan, menguatkan diri satu sama lain.
Suara tangis dan salawat bercampur jadi satu, berharap gempa cepat berakhir. “Kami belum pernah merasakan gempa yang begitu dahsyatnya,” ujar Marzuan.
Malam itu, nyaris tak ada yang bisa memejamkan mata sama sekali. Marzuan yang menjadi khatib pada saat Idul Adha menceritakan, “Ibu-ibu terutama membayangkannya sudah seperti akan kiamat. Apalagi setelah kita di atas (di tempat evakuasi), itukan gempa nggak berhenti dengan intensitas yang sering dan besar.”
Setelah empat jam berada di tempat evakuasi yang dipilih, Kepala Dusun Kopang, Azahar, dan Sekretaris Desa Medana, Agus Susanto, berupaya membangun tenda darurat agar warga bisa berteduh. Saat itu gempa sudah mulai reda dan status potensi tsunami sudah dicabut.
Azahar dan Agus turun mencari lokasi untuk mendirikan tenda darurat. Setelah menemukan lokasi yang pas, puing-puing bangunan pun dibersihkan. Mereka membuat rangka tenda dengan kayu bekas reruntuhan rumah. Sementara untuk atap dan alas menggunakan terpal yang tertimbun di bawah reruntuhan.
“Terpal ini yang dulu ketika kita dapat bantuan dari pemerintah pas (gempa) tahun 2013. Itu yang disimpan sama warga dan kita pakai,” ujar Azahar, Rabu, (22/8).
Meskipun tenda sudah berdiri, tidak serta merta warga berani datang. Butuh waktu untuk meyakinkan mereka bahwa berteduh di bawah tenda adalah pilihan yang lebih aman.
Bertahan di bawah tenda
Pagi pun datang. Rasa tenang sedikit terbit setelah semalaman didera guncangan yang mencekam di kegelapan.
Namun tangis tak tertahankan kembali mengalir melihat rumah-rumah yang luluh lantak menjadi puing-puing. Masjid Jihaddul Islam yang semula tegak berdiri pun hancur berkeping-keping.
Di Dusun Gol, sebelah Dusun Kopang, beberapa rumah bantuan dari pemerintah Qatar saat gempa tahun 2013 yang diklaim tahan gempa pun bernasib serupa. Rumah-rumah itu hampir semuanya runtuh, rata dengan tanah.
Maka mereka harus bertahan di bawah tenda, berdesakkan dengan warga senasib sepenanggungan lainnya. Warga di RT 1 Desa Medana misalnya, mereka harus berbagi tenda berukuran 9x4 meter untuk 95 orang jiwa.
Cobaan lainnya yang harus dihadapi adalah air PDAM yang selama ini menjadi tumpuan akan air bersih, mati. Sementara sumur resapan yang berada di dalam masjid ikut hancur. Hanya tersisa satu sumur dengan kondisi air terbatas. Air sungai menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan lainnya.
Untuk urusan makan, mereka memanfaatkan hasil bumi yang masih dimiliki. Saat itu, bantuan logistik dari pemerintah belum datang.
“Pada awal H+1, keesokan harinya hampir tidak ada bantuan sama sekali. Pertama, listrik mati. Mati total itu sampai satu minggu. Enggak ada listrik. Lalu yang kedua, air minum. Air minum total enggak ada,” ujar Sekdes Medana, Agus Susanto.
Bantuan logistik dari pemerintah baru datang sekitar 3-4 hari setelah gempa. Itu pun, menurut Agus, dalam jumlah yang sangat kurang. Sebab desa ini terdiri dari sembilan dusun, sementara bantuan yang datang hanya sekitar satu mobil pick up untuk satu desa. Bantuan yang datang waktu itu adalah beras, mie instan, dan air gelas kemasan.
“Terkait lauk pauk, karena kita di pedesaan jadi tidak begitu sulit. Apa saja bisa dimasak di sana,” lanjutnya.
Bantuan pemerintah yang dirasa tidak mencukupi itu membuat mereka mencoba menghubungi saudara atau teman untuk meminta bantuan logistik. Selain itu, beberapa kelompok relawan sudah mulai masuk dan menambah logistik.
Mereka menggunakan kompor gas yang masih bisa diselamatkan untuk memasak bersama. Sedangkan MCK (mandi, cuci, kakus) dibuat di tengah puing-puing bekas pemukiman warga.
Mereka memanfaatkan kamar mandi dengan tembok yang tersisa separuh dan telah kehilangan atapnya. Triplek bekas dijadikan sebagai pintu penutupnya.
Agus mengamini jika masih terjadi kekurangan terkait MCK ini.
Oleh karenanya Agus berharap bantuan akan air bersih dan MCK segera ditangani. Jika tidak, bukan tidak mungkin akan banyak warga yang terjangkit penyakit. Baca Selanjutnya
loading...
Post a Comment