STATUSACEH - Minyak bumi dan gas alam ibarat bidadari yang diperebutkan banyak orang. Bahkan karena kecantikan dan kemolekannya segala cara dilakukan demi mendapat sumber minyak dan gas (migas).
Bagi Aceh, sumber daya alam yang terkandung di perut bumi bukan hal asing lagi. Mengingat provinsi yang terletak di paling barat Pulau Sumatera itu mampu menghasilkan minyak dan gas dalam jumlah cukup besar dengan nilai ekonomis tinggi.
Bicara soal migas, pentingnya minyak bumi sudah disadari warga Tanah Rencong sekitar abad 16. Pada zaman itu, Kesultanan Aceh telah menggunakan minyak bumi sebagai sumber api di obor penerang. Juga untuk mempertahankan wilayah dari upaya penguasaan asing.
Saat peperangan di perairan Selat Malaka, minyak bumi dimanfaatkan untuk membakar kapal-kapal milik angkatan perang Portugis. Hal itu terekam dalam buku Pertamina Peduli Pembangunan Daerah Istimewa Aceh, ditulis Jamaliddun Ahmad pada 2001.
Disebutkan, minyak yang naik ke permukaan tanah dan menggenangi rawa-rawa malah banyak digunakan sebagai obat gosok dan mulai diperdagangkan ke luar negeri. Maka jauh sebelum Indonesia merdeka, Aceh sudah mulai melakukan perdagangan internasional di bidang minyak bumi.
Pada tanggal 15 Juni 1885 AJ Zijker berhasil menggali sebuah sumur minyak yang diberi nama Telaga Tunggal 1 atau Telaga Said. Sumur ini berlokasi di 12,5 kilometer di sebelah Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara.
Dengan penggalian sumur minyak Telaga Said maka dimulailah sejarah perminyakan di Indonesia. Sumur minyak tersebut dikelola oleh NV Koninklijke Nederlandsch Petroleum Mij. Perusahaan minyak asal Belanda ini kemudian patungan dengan Shell membentuk perusahaan minyak bernama Bataafsche Petroleum Mij (BPM).
Hasilnya, tahun 1892 dibangun kilang penyulingan minyak yang berkapasitas 2,4 ribu barel per hari di Pangkalan Brandan. Sembilan tahun kemudian perusahaan Holland Perlak Mij NV Petroleum Mij Zaid Perlak melakukan eksplorasi di Rantau Panjang, Landeshap Perlak, Aceh Timur.
Minyak yang mereka temui sejak tahun 1900 dialirkan dengan pipa sepanjang 130 kilometer ke kilang BPM di Pangkalan Brandan untuk disuling dan dikirim ke pelabuhan Pangkalan Susu kemudian diekspor ke luar negeri. Menjadi penanda aktivitas perminyakan di Aceh sudah mulai berproduksi secara komersial.
Pada Agustus 1901 produksi minyak di Rantau Panjang sudah bisa mencapai 240.250 liter dan pada tahun 1909 meningkat menjadi 68.807 ton. Produksi minyak yang terus meningkat mendorong perusahaan lain berburu ladang minyak di Aceh. Tak hanya di Landsehap Perlak tapi juga meluas ke daerah lain, seperti Idi, Langsa dan Tamiang.
Pada tahun 1932-1934 tercatat ada empat perusahaan yang melakukan eksplorasi di wilayah Langsa dan Idi. Eksplorasi dilakukan pada area seluas 50.000 hektar, mencakup Landeshap Serbajadi, Sungo Raya, Peudawa Rayeuk, Julok Rayek dan Idi Rayeuk.
Begitu juga di wilayah Tamiang, eksplorasi pertama dilakukan di Rantau, Landeshap Keujureun Muda pada bulan Februari 1929. Minyak yang diproduksi dialirkan ke Pangkalan Brandan melalui pipa sepanjang 63 kilometer.
Perluasaan eksplorasi itu sangat berpengaruh pada volume produksi perusahaan minyak BPM di kilang Pangkalan Brandan dan ekspor minyak mentah. Tercatat, jelang perang dunia ke dua, produksi kilang di Pangkalan Brandan mencapai satu juta ton per tahun. Sementara ekspor minyak dari Aceh pada tahun 1938 mencapai 705.650 meter kubik.
Masuk tahun 1943, pemerintah militer Jepang membangun kilang penyulingan minyak dengan kapasitas 40 ton per hari di Desa Paya Bujok, Kota Langsa. Itu momen pertama di daerah Aceh, ada pengoperasian kilang penyulingan untuk keperluan militer Jepang.
Namun kondisi itu berubah usai Jepang kalah perang. Para militer negara Matahari Terbit banyak yang meninggalkan Aceh. Dan Desember 1945 sumur minyak yang terletak di Aceh Timur akhirnya menjadi terbengkalai.
Bagi Aceh, sumber daya alam yang terkandung di perut bumi bukan hal asing lagi. Mengingat provinsi yang terletak di paling barat Pulau Sumatera itu mampu menghasilkan minyak dan gas dalam jumlah cukup besar dengan nilai ekonomis tinggi.
Bicara soal migas, pentingnya minyak bumi sudah disadari warga Tanah Rencong sekitar abad 16. Pada zaman itu, Kesultanan Aceh telah menggunakan minyak bumi sebagai sumber api di obor penerang. Juga untuk mempertahankan wilayah dari upaya penguasaan asing.
Saat peperangan di perairan Selat Malaka, minyak bumi dimanfaatkan untuk membakar kapal-kapal milik angkatan perang Portugis. Hal itu terekam dalam buku Pertamina Peduli Pembangunan Daerah Istimewa Aceh, ditulis Jamaliddun Ahmad pada 2001.
Disebutkan, minyak yang naik ke permukaan tanah dan menggenangi rawa-rawa malah banyak digunakan sebagai obat gosok dan mulai diperdagangkan ke luar negeri. Maka jauh sebelum Indonesia merdeka, Aceh sudah mulai melakukan perdagangan internasional di bidang minyak bumi.
Pada tanggal 15 Juni 1885 AJ Zijker berhasil menggali sebuah sumur minyak yang diberi nama Telaga Tunggal 1 atau Telaga Said. Sumur ini berlokasi di 12,5 kilometer di sebelah Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara.
Dengan penggalian sumur minyak Telaga Said maka dimulailah sejarah perminyakan di Indonesia. Sumur minyak tersebut dikelola oleh NV Koninklijke Nederlandsch Petroleum Mij. Perusahaan minyak asal Belanda ini kemudian patungan dengan Shell membentuk perusahaan minyak bernama Bataafsche Petroleum Mij (BPM).
Hasilnya, tahun 1892 dibangun kilang penyulingan minyak yang berkapasitas 2,4 ribu barel per hari di Pangkalan Brandan. Sembilan tahun kemudian perusahaan Holland Perlak Mij NV Petroleum Mij Zaid Perlak melakukan eksplorasi di Rantau Panjang, Landeshap Perlak, Aceh Timur.
Minyak yang mereka temui sejak tahun 1900 dialirkan dengan pipa sepanjang 130 kilometer ke kilang BPM di Pangkalan Brandan untuk disuling dan dikirim ke pelabuhan Pangkalan Susu kemudian diekspor ke luar negeri. Menjadi penanda aktivitas perminyakan di Aceh sudah mulai berproduksi secara komersial.
Pada Agustus 1901 produksi minyak di Rantau Panjang sudah bisa mencapai 240.250 liter dan pada tahun 1909 meningkat menjadi 68.807 ton. Produksi minyak yang terus meningkat mendorong perusahaan lain berburu ladang minyak di Aceh. Tak hanya di Landsehap Perlak tapi juga meluas ke daerah lain, seperti Idi, Langsa dan Tamiang.
Pada tahun 1932-1934 tercatat ada empat perusahaan yang melakukan eksplorasi di wilayah Langsa dan Idi. Eksplorasi dilakukan pada area seluas 50.000 hektar, mencakup Landeshap Serbajadi, Sungo Raya, Peudawa Rayeuk, Julok Rayek dan Idi Rayeuk.
Begitu juga di wilayah Tamiang, eksplorasi pertama dilakukan di Rantau, Landeshap Keujureun Muda pada bulan Februari 1929. Minyak yang diproduksi dialirkan ke Pangkalan Brandan melalui pipa sepanjang 63 kilometer.
Perluasaan eksplorasi itu sangat berpengaruh pada volume produksi perusahaan minyak BPM di kilang Pangkalan Brandan dan ekspor minyak mentah. Tercatat, jelang perang dunia ke dua, produksi kilang di Pangkalan Brandan mencapai satu juta ton per tahun. Sementara ekspor minyak dari Aceh pada tahun 1938 mencapai 705.650 meter kubik.
Masuk tahun 1943, pemerintah militer Jepang membangun kilang penyulingan minyak dengan kapasitas 40 ton per hari di Desa Paya Bujok, Kota Langsa. Itu momen pertama di daerah Aceh, ada pengoperasian kilang penyulingan untuk keperluan militer Jepang.
Namun kondisi itu berubah usai Jepang kalah perang. Para militer negara Matahari Terbit banyak yang meninggalkan Aceh. Dan Desember 1945 sumur minyak yang terletak di Aceh Timur akhirnya menjadi terbengkalai.
loading...
Post a Comment