Abdiya aceh Aceh Tamiang Aceh Timur Aceh Utara Agam Inong Aceh Agama Aksi 112 Aksi 313 Aleppo Artikel Artis Auto Babel Baksos Bambang Tri Banda Aceh Banjir Batu Akik Bencana Alam Bendera Aceh Bergek Bimtek Dana Desa Bireuen Bisnis Blue Beetle BNN BNPB Bom Kampung Melayu Budaya BUMN Carona corona Covid-19 Cuaca Cut Meutia Daerah Dana Bos dayah Deklarasi Akbar PA Deplomatik Depok Dewan Pers DPR RI DPRK Lhokseumawe Editorial Ekomomi Ekonomi Energi Feature Film Fito FORMATPAS Foto FPI Gampong Gaya Hidup Gempa Aceh Gempa Palu Gunung Sinabung Haji HAM Hathar Headlines Hiburan Hindia History Hotel Hukum Humor HUT RI i ikapas nisam Indonesia Industri Info Dana Desa Informasi Publik Inspirasi Internasional Internet Iran Irwandi-Nova Irwndi Yusuf Israel IWO Jaksa JARI Jawa Timur Jejak JKMA Kemanusiaan Kemenperin Kemenprin Kesehatan Khalwat KIP Kisah Inspiratif Korupsi Koruptor KPK Kriminal Kriminalisasi Kubu Kuliner Langsa Lapas Lapas Klas I Medan Lapas Tanjungbalai lgbt Lhiokseumawe Lhokseumawe Lingkungan Listrik Lombok Lowongan Kerja Maisir Makar Makassar Malaysia Malware WannaCry Masjid Migas Milad GAM Mitra Berita Modal Sosial Motivasi Motogp MPU Aceh Mudik Mudik Lebaran MUI Musik Muslim Uighur Nanang Haryono Narapidana Narkotika Nasional News Info Aceh Nisam Nuansa Nusantara Obligasi Olahraga Ombudsman Opini Otomotif OTT Pajak Palu Papua Parpol PAS Patani Patroli Pekalongan Pekanbaru Pelabuhan Pemekaran Aceh Malaka Pemekaran ALA Pemerintah Pemilu Pendidikan Penelitian Pengadilan Peristiwa Pers Persekusi Pertanian Piala Dunia 2018 Pidie Pidie Jaya Pilkada Pilkada Aceh Pilkades Pj Gubernur PKI PLN PNL Polisi Politik Pomda Aceh PON Aceh-Sumut XXI Poso PPWI Presiden Projo PT PIM Pungli PUSPA Ramadhan Ramuan Raskin Riau ril Rilis Rillis rls Rohingya Rohul Saladin Satwa Save Palestina Sawang Sejarah Selebgram Selebriti Senator Sinovac SMMPTN sosial Sosok Sport Status-Papua Stunting Sumatera Sunda Empire Suriah Syariat Islam T. Saladin Tekno Telekomunikasi Teror Mesir Terorisme TGB Thailand TMMD TMMD reguler ke-106 TNI Tokoh Tol Aceh Tsunami Aceh Turki Ulama Universitas Malikussaleh USA Vaksin MR Vaksinasi Vaksinasi Covid-19 vid Video vidio Viral Waqaf Habib Bugak Warung Kopi Wisata YantoTarah YARA

Teungku Chik di Tiro

StatusAceh.Net - Peran ulama di tanah air telah signifikan sejak lama. ‘Ulama’ adalah satu pengakuan dari umat akan bukan hanya karena ilmunya saja, tetapi juga karena kredibilitas, konsistensi dan perjuangannya. Aceh, adalah salah satu episentrum perjuangan ulama yang tak habisnya memberi hikmah. Salah satunya adalah Teungku Chik di Tiro, ulama yang diakui keilmuan dan konsistensinya memperjuangkan Islam di masa-masa Perang Aceh.

Traktat Sumatera tahun 1871 adalah awal dari satu bencana di Aceh yang akan mengobarkan perang hebat selama lebih dari 40 tahun. Arogansi Belanda yang menolak kedaulatan Kesultanan Aceh lewat Traktat Sumatera berujung beberapa insiden yang terjadi di perairan Aceh. Satu jalan perundingan yang diajukan Belanda dan permintaan untuk mengakui kedaulatan Belanda dijawab dengan penolakan tegas oleh Sultan Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)

Penolakan Sultan atas permintaan Belanda dianggap sebagai satu deklarasi perang. Padahal sikap Sultan hanyalah merespon kesewenangan Belanda. Penolakan Sultan Aceh ini dianggap oleh Belanda yang diwakili F.N. Nieuwenhuyzen, sebagai deklarasi perang. Pada 26 Maret 1873, Belanda akhirnya mengumumkan pernyataan perang kepada Kesultanan Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)

Pada 31 Maret 1873, kapal perang Citadel van Antwerpen melepaskan meriam ke sebuah benteng di pantai Aceh. Perang Aceh pun pecah. Saat menginjakkan kaki di daratan Aceh, meski ditembak dengan 12 kali letusan Meriam, pasukan Belanda tetap mendarat di Aceh. Rencana yang dipimpin oleh Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler seakan tampak mudah. Mereka akan mendarat di muara sungai Aceh, kemudian menuju ke keraton tempat kediaman Sultan, serbu lalu kuasai. Sehingga Aceh akan mereka kuasai. (Paul van t’Veer: 1985)

Kala itu Kesultanan Aceh sudah melewati masa jayanya. Banyak daerah di sekitar pusat kekuasaan dikuasai oleh para penguasa lokal (Uleebalang). Uleebalang-uleebalang ini menjadi satu penguasa yang menguasai jalannya arus perdagangan. Sultan hanyalah satu kekuatan simbolik yang menyatukan Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)

Meski demikian, hal-hal seperti ini tak diketahui oleh Pasukan Belanda saat itu. Satu persoalan penting dari ekspedisi ini adalah sebenarnya tentara kolonial tak tahu apa-apa tentang Aceh. Gambaran Keraton Aceh beserta denahnya hanya mengandalkan satu Buku Saku Ekspedisi Aceh. (Paul van t’Veer: 1985)

Buku ini ternyata memberikan informasi yang bertabur kesalahan. Minimnya pengetahuan mereka tentang Aceh dan Kesultanannya ditandai dengan kesalahan mereka mengira bahwa Masjid Raya (sekarang Masjid Baiturrahman) adalah pusat Kesultanan Aceh. (Paul van t’Veer: 1985)

Serbuan pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kohler ini berujung petaka. Setelah beberapa hari berperang, pasukan Belanda dapat menguasai Masjid Raya Kutaraja. Tetapi Masjid ini pun akhirnya mereka tinggalkan. Pada 14 April 1873, Pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Kohler kembali merangsek menguasai Masjid Raya. Kedatangan Pasukan Kohler disambut teriakan pejuang aceh yang mengerikan, kumandang kalimat la ilaaha illallah bergema dan peluru yang menyalak dari senapan-senapan mereka. (Ibrahim Alfian: 2016)

Satu peluru menembus dada Jenderal Kohler membuat pasukan penjajah memilih mundur dan tiga hari kemudian mereka mengundurkan diri ke pantai. Pada 23 April 1873 mereka angkat kaki dari Aceh. Mewariskan 45 mayat tentara mereka (termasuk 8 opsir) serta 405 orang luka. (Ibrahim Alfian: 2016)

Kekalahan ini disambut duka di Belanda. Jenderal Kohler ditangisi oleh Kerajaan Belanda. Namun Pemerintah Kolonial Belanda tidak menyerah. Enam bulan kemudian, ekspedisi kedua dikirimkan ke Aceh. Kali ini lebih besar dan massif dari yang pertama. Belanda memberangkatkan Angkatan Laut dan Daratnya dengan kekuatan dua kali lipat dari ekspedisi pertama. (Paul van t’Veer: 1985)

Sebanyak 18 kapal perang bertenaga uap, 7 kapal uap Angkatan Laut, 12 barkas, 2 kapal peronda yang dipersenjatai, 22 kapal pengangkut dengan alat-alat pendarat dipimpin Letnan Jenderal Johannes Van Swieten menerobos kembali. Target mereka tetap sama. Penguasaan pusat Kesultanan Aceh. Strategi menguasai pusat kekuasaan termasuk menaklukkan Sultan Aceh dalam pikiran pemerintah kolonial berarti jatuhnya Aceh ke tangan mereka. (Ibrahim Alfian: 2016 dan Paul van t’Veer: 1985)

Pasukan Belanda kemudian mendarat di Kampung Leu’u, dekat Kuala Gieng, Aceh Besar pada 9 Desember 1873. Persiapan yang lebih baik membawa pasukan Belanda pada satu keunggulan. Perlawanan yang dipimpin oleh Tuanku Hasyim, keluarga dari Sultan Aceh, Imam Lueng Bata dan T. Nanta Setia, tak mampu menghalau mereka.

Masjid Raya kemudian jatuh ke tangan Belanda pada 6 Januari 1874. Setelah bertempur hampir dua bulan, pada 24 Januari 1874 Belanda akhirnya dapat menguasai ‘Dalam’ atau Keraton. Mereka kemudian menghentikan agresinya dan berharap dapat membuat persetujuan dengan Sultan Aceh. Namun 5 hari kemudian, Sultan Aceh Mahmud Syah wafat. (Ibrahim Alfian: 2016)

Wafatnya Sultan Aceh membuat pemerintah kolonial merevisi taktik mereka. Mereka tak lagi berharap penerus Sultan mau bekerja sama. Mereka mengabaikan Putra Mahkota Sultan yang nantinya diwakili Mangkubumi, Habib Abdurrahman Az-Zahir. Van Swieten pun memilih untuk menjalankan sendiri otoritas di Aceh. Rencana ini akhirnya membentuk wilayah administratif Aceh Besar (Groot Atjeh) yang merupakan bekas pusat kekuasaan Kesultanan Aceh. (Martijn Kitzen: 2012)

Wilayah di luar Aceh Besar disebut Onderhoorigheden (Depencies/Ketergantungan). Wilayah ini berupa wilayah pesisir negeri-negeri kecil yang dikuasai penguasa lokal Uleebalang yang tak terlalu terikat pada Sultan. Tentu saja hanya sebagian Uleebalang di pesisir Aceh ini yang mau menerima Belanda.

Sebagian lainnya, menolak kehadiran Belanda. Dinamika ini akan membuat Pemerintah Kolonial semakin sulit bergerak ketika pengaruh ulama yang sebelumnya tidak diperhitungkan, semakin membesar. Di sinilah kehadiran ulama menggelorakan jihad fi Sabilillah melawan Belanda membuat rakyat Aceh memberikan perlawanan hebat terhadap Belanda.

Peranan Teungku Chik di Tiro

Salah satunya adalah Teungku Chik di Tiro. Peranannya dalam perang Aceh, khususnya tahun 1874 hingga 1891 tak dapat dikesampingkan. Nama besar keluarga Di Tiro dimulai dari Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut. Seorang ulama yang memimpin Dayah Tiro. Dayah ini terletak di Gampong Tiro, di kiri dan kanan Sungai Pidie. Pidie telah lama menjadi satu pusat Pendidikan Islam di Aceh. Rakyat Aceh mengirimkan anak-anak mereka ke Pidie agar mendapatkan Pendidikan Islam.

Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin kemudian menyerukan agar orang-orang Pidie melakukan perang Sabil ke Aceh besar. Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin pun mengangkat salah satu anggota keluarganya, yaitu Syaikh Muhammad Saman sebagai tangan kanannya untuk membantu mengerahkan rakyat berperang sabil melawan Belanda. (Paul van t’Veer: 1985)

Kelak, keputusan mengangkat Syaikh Muhammad Saman ini menjadi keputusan yang tepat. Pasca wafatnya Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin, Syaikh Muhammad Saman menjadi penggantinya dan dikenal sebagai Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman. Ayah Muhammad Saman adalah Teungku Syekh Abdullah dari Kampung Garot. Ibunya adalah Sitti Aisyah, kakak dari Teungku Muhammad Amin Dayah Cut. (Ismail Jakub: 1960)

Kepemimpinan Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman sebagai ulama menjadi satu kedudukan penting di masyarakat Aceh. Bersama Sultan, dan Tuanku Hasyim, ia sangat berpengaruh di rakyat Aceh untuk menggelorakan jihad fi sabilllah. (Ibrahim Alfian: 2016)

Jadi Buronan Belanda

Pengaruh Teungku Chik di Tiro semakin meningkat sejak tahun 1882. Hal ini dapat dilihat dari satu instruksi rahasia oleh pemerintah Hindia Belanda yang memerintahkan Gubernur Jenderal Aceh untuk memberi hadiah bagi orang yang sanggup menyerahkan pemuka Aceh seperti Teungku Chik di Tiro, hidup atau mati, sebesar 1000 dollar. (Paul van t’Veer: 1985)

Apa yang menyebabkan Belanda begitu bernafsu menghabisi Teungku Chik di Tiro? Hal ini karena begitu efektif dan masifnya dakwah Teungku Chik di Tiro. Lewat kenduri-kenduri, ia menyebarluaskan ajakan perang sabil dan memerangi kaphe (kaum kuffar), red. Lewat kenduri pula ia memperoleh berbagai informasi. (Ibrahim Alfian: 2016)

Dakwah Teungku Chik di Tiro bukan menyasar rakyat jelata Aceh saja, tetapi juga mengingatkan para uleebalang dan keuchik yang telah berpaling kepada Belanda agar kembali ke jalan perang sabil. Penyampaian surat-surat ini biasanya didelegasikan kepada para pemimpin agama seperti Teungku Polem di Njong, Teungku Awe Geutah di Peusangan, dan lainnya.

Salah satunya adalah suratnya kepada semua uleebalang, Imum, wakil, keuchik termasuk Teuku Baid, uleebalang dari Tujuh Mukim. Teungku Chik di Tiro Muhammad dalam suratnya mengajak para pemimpin itu dengan surah Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada makruf dan mencegah dari yang munkar.”

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman kemudian melanjutkan:

“Hai Teuku Baid yang hulubalang Tujuh Mukim itu tiada ayak kami bahwasanya tuan-tuan itu setengah daripada hulubalang Raja Aceh dan imam kami Muslimin, padahal hanya dipertanggung oleh Allah Ta’ala pada Negeri Tujuh Mukim seperti timbangan Syar’i yang betul dan dipenyata akan tuan dalil yang nyata Qur’an dan Hadith dan Kitab. Jika tuan berbuat adil pada hukum maka beroleh pahala akan diri tuan dan akan kami ikut tuan dan jika tuan fasiq dan tuan zalim tiada tuan ikut seperti syari’at maka yang di kami Insya Allah beroleh pahala dan yang melarat itu atas tuan sahaja maka takut olehmu hai Teuku Baid bahwa di-peulamah [diperlihatkan] oleh Allah Ta’ala pada hari kiamat di hadapan raja-raja orang Islam jadi engkau sehina-hina manusia dan serugi-ruginya manusia.” (Ibrahim Alfian: 2016)

Pada akhirnya Teungku Chik di Tiro meminta T. Baid agar mengikuti Allah dan Rasul-Nya seta mengikut kaum muslimin dan memintanya agar membuat benteng-benteng untuk menghadapi Belanda.

Peringatan Teungku Chik di Tiro

Kepada Teuku Nek Meuraksa ia mengawali suratnya dengan menyebut dirinya seorang ‘fakir’ dan bernama”…Haji Syeh Saman Tiro, seorang hamba yang berjihad pada jalan Allah di dalam negeri Aceh dar as salam wal aman.” (H.C. Zentgraaff: 1983)

Ia mengingatkan pada mereka agar takut kepada Allah. “Allah! Allah! Takutilah Allah dan janganlah tuan-tuan meninggal sebelum menjadi orang-orang yang beriman.”

“Janganlah tuan-tuan sampai tertipu oleh kekuasaan kaum kafir, dengan harta mereka, dengan persenjataan-persenjataan mereka serta serdadu-serdadu mereka yang baik dibandingkan dengan kekuatan kita, milik-milik kita, persenjataan-persenjataan kita dan kaum muslimin, karena tidak ada yang berkuasa, yang kaya dan tidak ada yang memiliki balatentara yang terbaik selain Allah S.w.t. Yang Mahakuasa dan tidak ada yang dapat memberikan kekalahan dan kemenangan selain Allah S.w.t Rabbal ‘alamin.” (H.C. Zentgraaff: 1983)

Kenyataannya, himbauan Teungku Chik di Tiro bukan saja pada kaum Muslimin di wilayah yang belum dikuasai Belanda. Pada wilayah yang telah dikuasai pun ia terus mengingatkan. Pertama, bahwa telah diwahyukan tanda-tanda kemenangan dengan mundurnya orang-orang kafir. Kedua, mereka yang berada di daerah pendudukan yang seagama hendaklah meninggikan agama Islam, berbuat baik, mencegah hal-hal yang munkar dan memerangi orang-orang kafir. (Ibrahim Alfian: 2016)

Ketiga, Imam Mahdi telah lahir di Sudan dan sedang memerangi musuh-musuhnya. Keempat, orang-orang yang telah dengan buktinya yang nyata membelot, hendaknya diperangi, sementara kaum Muslimin yang berada di daerah yang diduduki Belanda supaya benar-benar menjadi saudara kaum Muslimin dan hendaklah bermusyawarah, bermufakat dalam hal menguatkan agama dan membunuh mereka, merampok dan menjarah harta mereka, menipu dan mendustakan mereka dengan sekuat tenaga yang ada. Kelima, dengan izin Allah, orang-orang kafir akan dikalahkan dan melarang kaum muslimin untuk bersikap ragu, karena kaum yang meragu bukan bagian dari kaum muslimin.(Ibrahim Alfian: 2016)

Nasihat Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman ini bahkan bukan hanya ditujukan pada kaum Muslimin, tetapi pada orang-orang Belanda. Beliau mengirim surat pada penguasa Belanda di Kutaraja. Pada tahun 1885, atau 12 tahun setelah pecahnya perang, Syaikh Saman dengan percaya diri menulis surat pada Residen Belanda di Kutaraja. Dalam surat itu ia menyatakan;

“Jika boleh tuan-tuan masuk agama Islam dan menurut syari’at nabi itulah yang terlebih baik atau tuan-tuan sejahtera dunia dengan tiada aib keji lari pontang-panting tiap-tiap sawah, selokan, hutan dan jalan dan yang terlebih jahat lagi itu siksa akhirat, dalam neraka jahanam dengan hukum Tuhan yang amat kuasa maka jika tuan-tuan masuk Islam sama-sama orang Aceh maka kami harap kepada Tuhan seru sekalian alam terpelihara daripada nyawong [nyawa] dan darah dan [h]arta dan megah dan terpelihara daripada aib keji tangkap dibawa ke mana-mana atau terbunuh dengan kehinaan barangkali jika tuan-tuan dengar dan turut seperti nasihat kami ini dapat untung baik dapat kemegahan jadi tuan akan kepala kami dan dapat harta.” (Ibrahim Alfian: 2016)

Surat ini tak ditanggapi pejabat Belanda. Tiga tahun kemudian Teungku Chik di Tiro mengirimkan kembali surat peringatan kepada Belanda seraya mengingatkan bahwa Belanda sudah sekitar 16 tahun memerangi negeri Aceh, dan yang mereka dapatkan hanya uang kompeni yang habis, pedagang yang miskin, dan rakyat Aceh yang syahid serta kampung-kampung yang binasa.

Ia bertanya tidakkah Belanda memikirkan semua akibat itu. Sekali lagi ia mengajak Belanda untuk masuk Islam. “Tuan Besar masuk agama Islam mengucap dua kalimah syahadat. Insya Allah sampailah tuan dunia akhirat, sempurna dunia dapat kerajaan [memerintah] dengan senang, boleh tuan Besar perintah atas Negeri Aceh ini…”(Ibrahim Alfian: 2016)

Surat Teungku Chik di Tiro sendiri akhirnya dibalas oleh Gubernur Sipil dan Militer di Aceh, Hendri Karel Frederik van Tejin. Van Tejin mengakui bahwa ia ingin perang segera berakhir karena banyaknya korban dan kehancuran. Ia berharap Teungku Chik di Tiro dapat membina kesejahteraan rakyat Aceh. Namun ia menolak menyambut ajakan masuk Islam, sebab menurutnya Belanda tidak melakukan perang agama di Aceh. Ia malah berharap bertemu dengan Teungku Chik di Tiro. (Ibrahim Alfian: 2016)

Balasan van Tejin ditolak Teungku Chik di Tiro. Dengan tegas ia mengatakan bahwa tidak mungkin ada perdamaian selama orang kafir masih di negeri Aceh. Menteri Jajahan Belanda, Levinus Keuchenius turut bereaksi atas ajakan masuk Islam ulama besar Aceh tersebut. Ia memerintahkan agar Van Tejin menjawab ajakan itu dengan mengutip surat Al-Baqarah 257 yang menyebutkan tak ada paksaan dalam agama Islam. Sekali lagi, Ia mengatakan bahwa pemerintah Belanda menginginkan adanya keadilan, kedamaian dan kesejahteraan di Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)

Teungku Chik di Tiro menolak jawaban pemerintah Belanda ini. Pada 24 April 1889, ia menjawab lewat surat bahwa jawaban bahwa Belanda menignginkan kedamaian tidaklah masuk akal. Ia bahkan mengibaratkan hal itu bertolak belakang seperti siang dan malam, matahari dan bulan, munafik dengan mukmin. Ia kemudian menjawab bahwa ia berharap pada Allah Belanda akan binasa. (Ibrahim Alfian: 2016)

Arsitek Jihad di Aceh

Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman adalah ulama cerdas yang tak bisa dibohongi oleh retorika dan muslihat kata-kata pejabat Belanda. Ia bukan saja ulama yang disegani, tetapi juga arsitek jihad fi sabilillah di Aceh. Kedudukannya menjadi sangat penting. Ketika kepemimpinan perang dipimpin oleh Mangkubumi Habib Abdurrahman az-Zahir, dukungan ulama-ulama terutama Teungku Chik di Tiro menjadi sangat berarti. (Anthony Reid: 2005)

Pun ketika Abdurrahman az-Zahir akhirnya menyerah kepada Belanda, Sultan Aceh memberi kewenangan kepemimpinan pada Teungku Chik di Tiro. Oleh Sultan Aceh Muhammad Daud Syah ia diberi stempel ‘chap shikureueng.’ Stempel ini memberinya kedudukan sebagai pemimpin agama tertinggi di negeri itu.  (Anthony Reid: 2005)

Pengaruhnya memang tak tertandingi oleh ulama-ulama lain di Aceh. Sejarawan Anthony Reid menyebutnya ahli teori dan strategi perang suci yang cerdas. Sementara, Henri Carel Zentgraaff, jurnalis yang pernah menjadi tentara Belanda di Aceh menyebutnya sebagai orang yang mengorganisir perang sabil. Zentgraaff menilai seruan Teungku Chik di Tiro berdampak besar pada rakyat Aceh. (H.C. Zentgraaff: 1983)

Seruan Teungku Chik di Tiro pada pejabat Belanda menurut Zentgraaff “…ia dirumuskan persoalannya dengan sederhana sekali: Menganut agama Islam dan hidup berdamai dengan orang-orang Aceh atau diusir dari daerah itu secara kekerasan dengan ancaman: masuk neraka di akhirat.” (H.C. Zentgraaff: 1983)

Zentgraaff memang tidak salah. Bagi Teungku Chik di Tiro perlawanan terhadap kaum kaphe (kafir) bukanlah pilihan melainkan satu keharusan. Tawaran Belanda untuk berdamai dan menawarkan kedudukan sebagai mufti tak dipedulikannya. (Ibrahim Alfian: 2016)

Ia semakin berperan dalam perang Aceh ketika Habib Abdurrahman az-Zahir menyerah pada pemerintah Belanda. Sebagai ulama yang diangkat oleh Sultan sebagai pemimpin agama, membuat pengaruh Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman semakin menghujam ke rakyat. Sejak 1878, ia mendirikan basis perlawanan gerilya di Keumala. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya berkeliling di pantai Utara dan di Aceh Besar. (Ibrahim Alfian: 2016)

Ia berkeliling ke berbagai wilayah mengobarkan semangat agar rakyat melakukan jihad fi sabilillah memerangi kaphe penjajah. Lewat kenduri-kenduri ia menyerukan perlawanan. Bahkan seruan perlawanan ini disisipkan melalui hikayat seperti Hikayat Perang Sabil yang berisi kisah-kisah kepahlawanan dan ganjaran akan amal jihad. Kepada kaum muslimin yang tak bertempur Teungku Chik di Tiro mengumpulkan zakat untuk membiayai perlawanan kaum muslimin. (Ibrahim Alfian: 2016 dan H.C. Zentgraaff: 1983)

Ia juga memberi imbalan pada kaum muslimin yang berhasil merebut senjata dari kompeni. Satu hal yang paling penting, ia adalah otak di balik penyerangan-penyerang terhadap pos-pos militer Belanda. Kelompok mujahid di bawahnya asuhannya mendapat pelatihan berat yang menekankan pada latihan-latihan keagamaan. (Anthony Reid: 2005)

Menerkam Taktik Defensif Belanda

Taktik Belanda pada satu dekade pertama kehadiran mereka, memang lebih mementingkan strategi yang defensif. Mereka lebih memilih menguatkan wilayah yang mereka kuasai dan bertahan pada pos-pos mereka.(Martijn Kitzen: 2012)

Memang ada serangan-serangan oleh pasukan Belanda yang dilakukan keluar wilayah pertahanan mereka. Seperti misi-misi brutal yang dipimpin Van der Heijden. (Paul van t’Veer: 1985) Namun secara keseluruhan, pada satu dekade lebih, strategi Belanda tetap berporos pada  strategi ‘konsenterasi lini,’ dan membuat mereka tidak agresif mengejar para geriliyawan Aceh. Sebaliknya, pos-pos pertahanan Belanda menjadi bulan-bulanan geriliyawan Aceh. (Ibrahim Alfian: 2016)

Pada tahun 1886 saja misalnya, lebih dari empat kali pos-pos Belanda diserbu pejuang Aceh di bawah Teungku Chik di Tiro. Setahun kemudian, lebih dari 400 orang pasukan Chik di Tiro berhasil menembus pertahanan Belanda. (Anthony Reid: 2005)

Gubernur Van Tejin dalam laporannya tahun 1887 menyatakan bahwa sebagian rakyat di Aceh Besar telah menyerah dan kembali pada kehidupan mereka semula. Laporan itu menyebutkan bahwa perlawanan-perlawanan di Aceh Besar hanya dilakukan oleh 150 orang pengikut Teungku Chik di Tiro dan anaknya Teungku Muhammad Amin. Teungku Muhammad Amin memang tak sehebat ayahnya dalam ilmu agama, namun ia menjadi pemimpin militer yang handal. (Ibrahim Alfian: 2016)

Pejuang Aceh membagi dirinya menjadi beberapa kelompok, melakukan serangan-serangan ke depan konsenterasi lini, menembaki pos-pos dan melakukan serangan-serangan sabotase terhadap transportasi Belanda, menyerang patroli, menyabotase jalur kabel telepon, rel kereta, menghancurkan jembatan-jembatan. (Ibrahim Alfian: 2016)

Klaim van Tejin ialah pejuang Aceh membebani penduduk setempat untuk memberi mereka makan. Van Tejin menganggap rakyat Aceh tidak menyukai mereka dan ingin agar pejuang di bawah Teungku Chik di Tiro segera pergi dari kampung mereka. Maka Belanda mengira kelompok yang bergabung di bawah ulama besar dan keluarganya ini hanyalah perampok dan orang-orang berbahaya yang memadukan nafsu merampok dengan perang melawan orang kafir, bukan karena keyakinan mereka mengusir Belanda dari tanah air mereka. (Ibrahim Alfian: 2016)

Di sinilah kita dapat melihat ketidaktahuan van Tejin akan pengaruh Islam di Aceh. Perang geriliya tidak mungkin dapat terlaksana tanpa bantuan penduduk setempat. Justru nyawa perang tersebut terletak dari suplai dan dukungan penduduk setempat yang seringkali mengandalkan logistik dari rakyat setempat.

Van Tejin tak pernah memahami motivasi jihad fi sabilillah rakyat Aceh. Menurut sejarawan Aceh Teuku Ibrahim Alfian dalam karyanya Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1913 pengikut Teungku Chik di Tiro adalah orang-orang miskin yang datang dari Pidie, Gigeng, bahkan Tanah Gayo yang tidak mempunyai harta apa-apa dan tidak akan kehilangan apa-apa. Mereka hanya mengikuti petunjuk ulama yang menyerukan kemuliaan jihad fi sabilillah dan ganjaran yang akan diterima oleh mereka. (Ibrahim Alfian: 2016)

Takdir Allah menentukan nasib Teungku Chik di Tiro. Pada 15 Januari 1891, Teungku Chik di Tiro wafat. Tersiar kabar bahwa beliau diracun oleh anaknya sendiri, Teungku Muhammad Amin. Namun kabar itu sendiri tak dapat dibuktikan kebenarannya. Tampaknya itu merupakan propaganda yang dihembuskan pemerintah kolonial. (Ismail Jakub: 1960) Lagipula hal ini tentu bertolak belakang dengan kenyataan bahwa ayah dan anak ini bahu-membahu berjihad di Aceh.

Mengutus Snouck Hurgronje


Wafatnya ulama besar ini membuat Belanda membutuhkan satu petunjuk tentang dampaknya bagi rakyat Aceh. Pemerintah kolonial akhirnya mengutus Snouck Hurgronje ke Aceh untuk mengumpulkan informasi untuk mengetahui sikap para ulama setelah wafatnya Teungku Chik di Tiro. Selain itu penyelidikan ini berfungsi untuk mencari tahu bagaimana pengaruh para ulama dan jalan apa yang ditempuh Sultan Aceh untuk memenuhi kehendak para ulama. (Ibrahim Alfian: 2016 dan Paul van t’Veer: 1985)

Snouck Hurgronje yang melakukan studi di Aceh sejak 16 Juli 1891 sampai 4 Februari 1892 kemudian memberi informasi yang amat berlimpah mengenai rakyat Aceh dan pengaruh Islam pada mereka. (Paul van t’Veer: 1985) Informasi ini yang kemudian mengubah jalannya peperangan di Aceh dengan kombinasi militer dan orientalisme.

Kepemimpinan perang diambil alih oleh Teungku Chik Muhammad (Mat) Amin. Ketiga putra Teungku Chik di Tiro lainnya; Teungku Mayet, Teungku di Buket, dan Teungku Lam turut pula meneruskan perjuangan ayahnya. (H.C. Zentgraaff: 1983)

Perjuangan bahkan bukan saja diteruskan oleh anak-anak beliau, tetapi juga oleh para cucu dan kerabatnya. Belanda membunuh Teungku Mat Amin di tahun 1896. Dalam pertempuran hebat di Benteng Aneuk Galong yang menjadi basis Teungku Mat Amin, putra Teungku Chik di Tiro tersebut akhirnya gugur di tangan pasukan Marsose. Zentgraaff mengisahkan pertempuran hebat itu yang menurutnya;
“Orang-orang Aceh bertempur seperti singa, di antaranya ada yang lebih suka dikubur hidup-hidup di dalam api yang menyala-nyala daripada harus menyerah kalah.” (H.C. Zentgraaff: 1983)

Teungku Lam gugur diterjang peluru Belanda. Teungku di Buket gugur di bulan Mei 1910 setelah diserbu Marsose.Teungku Mayet juga gugur di Bulan September 1910 disergap Marsose, setelah mereka mendapatkan petunjuk dari keluguan putra Teungku Mayet yang berusia enam tahun. Anak itu lahir dan besar di hutan belantara. Belanda terus memburu keluarga dan keturunan Teungku Chik di Tiro lainnya. (H.C. Zentgraaff: 1983)

Teungku Chik Ma’at, anak Teungku Mat Amin yang gugur di Aneuk Galong tahun 1896 menjadi generasi ketiga Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang diburu oleh Belanda. Cucu Chik di Tiro ini akhirnya syahid setelah disergap Marsose. Perburuan ini dilakukan setelah Belanda mencoba menawarkan perdamaian dengan Teungku Mat Amin. Tawaran itu ditolak mentah-mentah. (H.C. Zentgraaff: 1983)

Zentgraaff mengenang penutupan perburuan generasi ketiga Chik di Tiro tersebut dengan mengatakan:

“Demikianlah  keinginnannya itu telah terpenuhi: syahid seperti ayahnya. Kematiannya itu telah mengakhiri suatu kisah para ulama Di Tiro, yakni kelompok orang-orang kuat yang tak kenal damai, yang telah menghina kita dengan menjewer telinga kita pada masa-masa kita berada dalam keadaan lemah. Mereka itu telah gugur seperti mereka hidup: gagah dan tak gentar sewaktu tantara kita memperoleh kembali kepercayaan dirinya.”(H.C. Zentgraaff: 1983)

Keluarga dan keturunan Teungku Chik di Tiro adalah bukti tiga generasi syuhada yang hidup dalam jihad fi sabililah di Perang Aceh. Kebesaran nama keluarga di Tiro tentu tak akan bisa dilepaskan dari sosok Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, satu ulama, mujahid yang tak kenal kompromi dan hidup teguh dalam mengenggam Islam sebagai prinsip dan landasan perjuangannnya.

Sumber: Kiblat.net
loading...
Label: ,

Post a Comment

loading...

Contact Form

Name

Email *

Message *

StatusAceh.Net. Theme images by i-bob. Powered by Blogger.