StatusAceh.Net - Penyaluran beasiswa bantuan pendidikan Pemerintah Aceh tahun 2017 sarat masalah dan terindikasi korupsi. Hasil temuan Inspektorat Aceh menyebutkan mahasiswa yang menerima beasiswa tersebut berasal dari usulan 24 Anggota DPRA dan ada yang mengajukan permohonan secara mandiri. Jumlah yang diusulkan dewan dan permohonan mandiri mencapi 938 orang, terdiri 852 usulan dewan, dan 86 secara mandiri.
Berikut nama-nama 24 anggota DPRA, antara lain Iskandar Usman Al Farlaky sebesar Rp 7,930 miliar dengan 341 calon pemerima, Dedi Safrizal Rp 4,965 miliar untuk 221 orang, Rusli Rp 1,045 miliar untuk 42 orang, M Saleh Rp 1,470 miliar untuk 54 orang, Adam Mukhlis Rp 180 juta untuk 8 orang, Tgk Saifuddin Rp 500 juta untuk 19 orang, Asib Amin Rp 109 juta untuk 8 orang, T Hardarsyah Rp 222 juta untuk 10 orang, Zulfadhli Rp 100 juta untuk 4 orang, Siti Nahziah Rp 120 juta untuk 9 orang, Muhibbussubri Rp 135 juta untuk 21 orang.
Selanjutnya Jamidin Hamdani Rp 500 juta untuk 16 orang, Hendriyono Rp 204,7 juta untuk 25 orang, Yahdi Hasan Rp 534,4 juta untuk 18 orang, Zulfikar Lidan Rp 90 juta untuk 3 orang, Amiruddin Rp 58 juta untuk 2 orang, Ummi Kalsum Rp 220 juta untuk 9 orang, Jamaluddin T Muku Rp 490 juta untuk 14 orang, Muhibbussabri Rp 440 juta untuk 13 orang, Sulaiman Abda Rp 375 juta untuk 6 orang, Muharuddin Rp 50 juta untuk 2 orang, Asrizal H Asnawi Rp 80 juta untuk 2 orang, Azhari Rp 130 juta untuk 4 orang, Musannif Rp 30 juta untuk 1 orang dan terakhir Non Aspirator Rp 2,317 miliar untuk 86 orang.
Kemudian, setelah dilakukan verifikasi oleh LPSDM, mahasiswa yang layak menerima beasiswa adalah 803 orang yang berasal dan jenjang pendidikan D3,D4, S1, S2, dam S3, serta Dokter Spesialis, yang tersebar di lembaga penyelenggaran pendidikan (LPP) baik dalam maupun luar negeri.
Di dalam DPA BPSDM anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 109,326,530,100 dengan realisasi Rp 96,060,881,083. Dari jumlah tersebut dialokasikan untuk pendidikan Rp 22,317,060,600 dengan realisasi Rp 19,854,000,000 miliar lebih.
Laporan Inspektorat tersebut, bantuan yang telah disalurkan mencapai 19,854,000.000 kepada 803 mahasiswa. Namun hasil konfirmasi terhadap 197 mahasiswa penerima Rp 5.209.000.00. Sementara Rp 1.147.500.000 diantaranya belum diterima oleh mahasiswa penerima, dan masih pada penghubung/koodinator.
Ada empat modus pemotongan yang dilakukan, yakni dana buku rekening dan ATM penerima dikuasai oleh penghubung. Modus lain, penghubung meminta uang secara tunai kepada mahasiswa, modus selanjutnya mahasiswa penerima mentransfer kepada penghunung, dan modus terakhir, penghubung membuat rekening atas nama mahasiswa tanpa sepengetahuan mahasiswa tersebut.
Dalam berita acara konfirmasi terhadap penerima beasiswa tersebut, pemotongan yang dilakukan dengan angka yang bervariatif mulai dari Rp 7 juta hingga 28 juta. Bahkan salah seorang mahasiswa mengaku memberikan uang tersebut kepada penghubung di komplek perumahan anggota DPRA.
Inspektorat mengalami hambatan dalam pemeriksaan, dimana rentang kendali (sebaran mahasiswa seluruh Indonesia dan luar negeri), media komunikasi (nomor kontak penerima tidak aktif lagi), komunikasi rektorat dengan mahasiswa terputus (mahasiswa tidak mengindahkan perintah rektor), phsikologis dari mahasiswa yakni mendapat tekanan dari pihak tertentu untuk tidak memberikan keterangan berdasarkan kondisi sebenarnya), terakhir komunikasi dengan penghubung tidak terbangun.
Baca Selanjutnya
Berikut nama-nama 24 anggota DPRA, antara lain Iskandar Usman Al Farlaky sebesar Rp 7,930 miliar dengan 341 calon pemerima, Dedi Safrizal Rp 4,965 miliar untuk 221 orang, Rusli Rp 1,045 miliar untuk 42 orang, M Saleh Rp 1,470 miliar untuk 54 orang, Adam Mukhlis Rp 180 juta untuk 8 orang, Tgk Saifuddin Rp 500 juta untuk 19 orang, Asib Amin Rp 109 juta untuk 8 orang, T Hardarsyah Rp 222 juta untuk 10 orang, Zulfadhli Rp 100 juta untuk 4 orang, Siti Nahziah Rp 120 juta untuk 9 orang, Muhibbussubri Rp 135 juta untuk 21 orang.
Selanjutnya Jamidin Hamdani Rp 500 juta untuk 16 orang, Hendriyono Rp 204,7 juta untuk 25 orang, Yahdi Hasan Rp 534,4 juta untuk 18 orang, Zulfikar Lidan Rp 90 juta untuk 3 orang, Amiruddin Rp 58 juta untuk 2 orang, Ummi Kalsum Rp 220 juta untuk 9 orang, Jamaluddin T Muku Rp 490 juta untuk 14 orang, Muhibbussabri Rp 440 juta untuk 13 orang, Sulaiman Abda Rp 375 juta untuk 6 orang, Muharuddin Rp 50 juta untuk 2 orang, Asrizal H Asnawi Rp 80 juta untuk 2 orang, Azhari Rp 130 juta untuk 4 orang, Musannif Rp 30 juta untuk 1 orang dan terakhir Non Aspirator Rp 2,317 miliar untuk 86 orang.
Kemudian, setelah dilakukan verifikasi oleh LPSDM, mahasiswa yang layak menerima beasiswa adalah 803 orang yang berasal dan jenjang pendidikan D3,D4, S1, S2, dam S3, serta Dokter Spesialis, yang tersebar di lembaga penyelenggaran pendidikan (LPP) baik dalam maupun luar negeri.
Di dalam DPA BPSDM anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 109,326,530,100 dengan realisasi Rp 96,060,881,083. Dari jumlah tersebut dialokasikan untuk pendidikan Rp 22,317,060,600 dengan realisasi Rp 19,854,000,000 miliar lebih.
Laporan Inspektorat tersebut, bantuan yang telah disalurkan mencapai 19,854,000.000 kepada 803 mahasiswa. Namun hasil konfirmasi terhadap 197 mahasiswa penerima Rp 5.209.000.00. Sementara Rp 1.147.500.000 diantaranya belum diterima oleh mahasiswa penerima, dan masih pada penghubung/koodinator.
Ada empat modus pemotongan yang dilakukan, yakni dana buku rekening dan ATM penerima dikuasai oleh penghubung. Modus lain, penghubung meminta uang secara tunai kepada mahasiswa, modus selanjutnya mahasiswa penerima mentransfer kepada penghunung, dan modus terakhir, penghubung membuat rekening atas nama mahasiswa tanpa sepengetahuan mahasiswa tersebut.
Dalam berita acara konfirmasi terhadap penerima beasiswa tersebut, pemotongan yang dilakukan dengan angka yang bervariatif mulai dari Rp 7 juta hingga 28 juta. Bahkan salah seorang mahasiswa mengaku memberikan uang tersebut kepada penghubung di komplek perumahan anggota DPRA.
Inspektorat mengalami hambatan dalam pemeriksaan, dimana rentang kendali (sebaran mahasiswa seluruh Indonesia dan luar negeri), media komunikasi (nomor kontak penerima tidak aktif lagi), komunikasi rektorat dengan mahasiswa terputus (mahasiswa tidak mengindahkan perintah rektor), phsikologis dari mahasiswa yakni mendapat tekanan dari pihak tertentu untuk tidak memberikan keterangan berdasarkan kondisi sebenarnya), terakhir komunikasi dengan penghubung tidak terbangun.
Baca Selanjutnya
loading...
Post a Comment