StatusAceh.Net - Hampir dua puluh tahun sejak Reformasi, sebagian besar partai politik Indonesia masih lekat dengan tokoh-tokoh sentral yang menduduki jabatan tertinggi di institusi masing-masing.
Sebagian dari mereka menjabat ketua dewan pembina, yang lain menjadi ketua umum partai. Meski berlainan jabatan, salah satu ciri yang dari figur karismatik ini adalah masa kepemimpinan yang lama.
Di Gerindra, ada Prabowo Subianto. Komandan Jenderal Kopassus 1996-1998 itu menjabat ketua Dewan Pembina Gerindra sejak partai itu didirikan pada 2008. Ia juga menjadi ketua umum sejak 2014. Otomatis Prabowo merangkap dua jabatan tertinggi di Gerindra.
Sementara pada Partai Demokrat, yang didirikan pada 2001, ada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang menjadi ketua dewan pembina periode 2005 hingga 2015. Kemudian, pada 2013, presiden ke-6 Indonesia ini diangkat sebagai ketua umum partai. Dua tahun kemudian SBY kembali memegang jabatan ketua umum sekaligus ketua majelis tinggi Demokrat untuk periode 2015-2020.
Marcus Mietzner dalam Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia (2013) menyebu posisi dewan pembina, terutama ketuanya, menjadi pusat kekuasaan Demokrat dan Gerindra. Peneliti politik Indonesia dari Australian National University ini menelaah ketua dewan pembina kedua partai tersebut memiliki otoritas penuh terhadap dewan pimpinan pusat (DPP).
Namun, bukan berarti partai dengan karakteristik sebaliknya—DPP partai memiliki otoritas yang lebih tinggi dari dewan pembina—tidak eksis. PDI Perjuangan, NasDem, Hanura, PPP, dan Golkar (pasca-Reformasi 1998) adalah sederet partai yang masuk dalam kategori tersebut, menurut Mietzner.
PDIP dan NasDem adalah dua partai yang memiliki figur karismatik yang menjabat sebagai ketua umum dalam waktu yang lama.
Megawati Soekarnoputri menjabat posisi tertinggi di PDI Perjuangan sejak partai berlambang banteng itu dibentuk pada 1999. Sementara Surya Paloh menjadi ketua umum NasDem, yang didirikan pada 2011, sejak 2013 hingga sekarang.
Kekuatan dan Kelemahan Figur Sentral
Mietzner mencatat pangkal patron yang muncul dalam para figur sentral partai tersebut bervariatif dan biasanya bersumber kekuasaan nonformal.
"Kekuasaan nonformal itu dapat berasal dari garis keturunan, karisma, popularitas elektoral, akses ke sumber daya pemerintah, atau kekayaan," sebut Mietzner (hlm. 117).
Megawati menggariskan patron melalui garis keturunan sebagai putri proklamator sekaligus presiden pertama Indonesia, Sukarno. Sedangkan SBY memiliki modal sebagai pendiri partai serta pengalaman sebagai presiden Indonesia selama dua periode.
Sementara Surya Paloh, sang pengusaha media, merupakan pendiri NasDem sekaligus penyokong dana partai. Peran Prabowo serupa pada Gerindra. Keluarganya, melalui adiknya Hashim Djojohadikusumo, merupakan penyokong dana Gerindra.
Keberadaan figur kuat itu, menurut peneliti politik dari Saiful Muljani Research Institute (SMRC) Sirajuddin Abdullah, juga menjadi kekuatan tersendiri bagi partai.
“Kekuatan utamanya adalah partai bisa diurus secara efisien karena semua pengurus dari level pusat dan daerah punya tingkat kebergantungan tinggi terhadap ketua umum yang sangat tinggi. Jadi, semua orang berusaha untuk menunjukkan loyalitas dan mengikuti apa yang diinginkan ketuanya. Kalau ada perbedaan pendapat cenderung mudah diatasi,” ujar Sirajuddin kepada Tirto.
Figur ini juga menjadi simbol utama yang ditawarkan partai kepada masyarakat sekaligus komoditas unggulan partai, menurut Sirajuddin.
Prabowo selalu diusung Gerindra menjadi calon presiden (Pilpres 2014) atau wakil presiden (Pilpres 2009). Begitu pula Megawati. Sebelum muncul figur populer seperti Jokowi, Megawati adalah andalan PDIP untuk diajukan sebagai calon presiden (Pilpres 1999, 2004, 2009).
Sedangkan untuk internal partai, figur kuat itu menjadikan sikap ketua umum bisa dengan mudah dijalankan oleh pimpinan dan anggota partai di parlemen.
“Jadi kalau mau mbalelo atau tidak mengikuti sikap politik ketuanya, itu bisa dengan mudah diganti,” ujar Sirajuddin.
Lembaga Demokrasi tanpa Demokrasi Internal
Hal yang paling ironis dari beberapa partai di Indonesia adalah ia menjadi lembaga demokrasi yang mekanisme internalnya justru meluputkan demokrasi.
“Untuk Gerindra, terlihat betul Gerindra hanya menjadi alat politik lingkaran Prabowo. Gerindra juga jadi alat politik Prabowo di parlemen. Begitu juga pengangkatan pengurus daerah yang harus sesuai kehendak Prabowo. Jangan harap ada demokrasi dalam partai tersebut,” ujar Sirajuddin.
Menurut Sirajuddin, partai dengan tipe seperti itu sarat dengan kelemahan, salah satunya lemahnya demokrasi internal partai.
Hingga kini Gerindra tak pernah melaksanakan kongres pemilihan ketua umum secara periodik. Pemilihan Prabowo sebagai ketua umum pada 2014 dilakukan guna menanggapi meninggalnya Suhardi, Ketua Umum Gerindra saat itu.
Telaah serupa disampaikan peneliti politik dari CSIS, Arya Fernandez. Menurut Arya, “Kesulitan untuk melanjutkan suksesi tampak di PDIP, Gerindra, Demokrat, NasDem. Kecuali tokoh tersebut mau menyerahkan kekuasaannya ke tokoh lain."
Salah satu contoh dalam kasus ini adalah Pramono Anung Wibowo, Sekretaris Jenderal PDI periode 2005-2010. Menurut Mietzner, “Pramono dilihat banyak kader cocok sebagai ketua umum masa depan PDIP.” Namun, Megawati mencopot Pramono Anung.
Sebelumnya, dalam satu wawancara pada 18 Oktober 2006, Pramono Anung mengungkapkan kepada Mietzner, “Kami tidak bisa hanya selalu berteriak, 'Mega, Yes, Yes, Yes!'" Itu tidak akan terjadi lagi.
Selain itu, ideologi partai berpotensi inkonsisten atau bahkan nihil belaka.
Arya Fernandez menyoroti ideologi Gerindra yang bergantung pada "Apa Kata Prabowo." Menurutnya, ideologi dalam partai tersebut cenderung diabaikan karena partai-partai cenderung pragmatis.
“Nilai ke-Indonesia-an seperti apa yang diperjuangkan Gerindra? Sejauh ini tidak terlihat. Yang terlihat, Gerindra masih menjadi alat perjuangan politik Prabowo,” ujar Arya.
Sebagian dari mereka menjabat ketua dewan pembina, yang lain menjadi ketua umum partai. Meski berlainan jabatan, salah satu ciri yang dari figur karismatik ini adalah masa kepemimpinan yang lama.
Di Gerindra, ada Prabowo Subianto. Komandan Jenderal Kopassus 1996-1998 itu menjabat ketua Dewan Pembina Gerindra sejak partai itu didirikan pada 2008. Ia juga menjadi ketua umum sejak 2014. Otomatis Prabowo merangkap dua jabatan tertinggi di Gerindra.
Sementara pada Partai Demokrat, yang didirikan pada 2001, ada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang menjadi ketua dewan pembina periode 2005 hingga 2015. Kemudian, pada 2013, presiden ke-6 Indonesia ini diangkat sebagai ketua umum partai. Dua tahun kemudian SBY kembali memegang jabatan ketua umum sekaligus ketua majelis tinggi Demokrat untuk periode 2015-2020.
Marcus Mietzner dalam Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia (2013) menyebu posisi dewan pembina, terutama ketuanya, menjadi pusat kekuasaan Demokrat dan Gerindra. Peneliti politik Indonesia dari Australian National University ini menelaah ketua dewan pembina kedua partai tersebut memiliki otoritas penuh terhadap dewan pimpinan pusat (DPP).
Namun, bukan berarti partai dengan karakteristik sebaliknya—DPP partai memiliki otoritas yang lebih tinggi dari dewan pembina—tidak eksis. PDI Perjuangan, NasDem, Hanura, PPP, dan Golkar (pasca-Reformasi 1998) adalah sederet partai yang masuk dalam kategori tersebut, menurut Mietzner.
PDIP dan NasDem adalah dua partai yang memiliki figur karismatik yang menjabat sebagai ketua umum dalam waktu yang lama.
Megawati Soekarnoputri menjabat posisi tertinggi di PDI Perjuangan sejak partai berlambang banteng itu dibentuk pada 1999. Sementara Surya Paloh menjadi ketua umum NasDem, yang didirikan pada 2011, sejak 2013 hingga sekarang.
Kekuatan dan Kelemahan Figur Sentral
Mietzner mencatat pangkal patron yang muncul dalam para figur sentral partai tersebut bervariatif dan biasanya bersumber kekuasaan nonformal.
"Kekuasaan nonformal itu dapat berasal dari garis keturunan, karisma, popularitas elektoral, akses ke sumber daya pemerintah, atau kekayaan," sebut Mietzner (hlm. 117).
Megawati menggariskan patron melalui garis keturunan sebagai putri proklamator sekaligus presiden pertama Indonesia, Sukarno. Sedangkan SBY memiliki modal sebagai pendiri partai serta pengalaman sebagai presiden Indonesia selama dua periode.
Sementara Surya Paloh, sang pengusaha media, merupakan pendiri NasDem sekaligus penyokong dana partai. Peran Prabowo serupa pada Gerindra. Keluarganya, melalui adiknya Hashim Djojohadikusumo, merupakan penyokong dana Gerindra.
Keberadaan figur kuat itu, menurut peneliti politik dari Saiful Muljani Research Institute (SMRC) Sirajuddin Abdullah, juga menjadi kekuatan tersendiri bagi partai.
“Kekuatan utamanya adalah partai bisa diurus secara efisien karena semua pengurus dari level pusat dan daerah punya tingkat kebergantungan tinggi terhadap ketua umum yang sangat tinggi. Jadi, semua orang berusaha untuk menunjukkan loyalitas dan mengikuti apa yang diinginkan ketuanya. Kalau ada perbedaan pendapat cenderung mudah diatasi,” ujar Sirajuddin kepada Tirto.
Figur ini juga menjadi simbol utama yang ditawarkan partai kepada masyarakat sekaligus komoditas unggulan partai, menurut Sirajuddin.
Prabowo selalu diusung Gerindra menjadi calon presiden (Pilpres 2014) atau wakil presiden (Pilpres 2009). Begitu pula Megawati. Sebelum muncul figur populer seperti Jokowi, Megawati adalah andalan PDIP untuk diajukan sebagai calon presiden (Pilpres 1999, 2004, 2009).
Sedangkan untuk internal partai, figur kuat itu menjadikan sikap ketua umum bisa dengan mudah dijalankan oleh pimpinan dan anggota partai di parlemen.
“Jadi kalau mau mbalelo atau tidak mengikuti sikap politik ketuanya, itu bisa dengan mudah diganti,” ujar Sirajuddin.
Lembaga Demokrasi tanpa Demokrasi Internal
Hal yang paling ironis dari beberapa partai di Indonesia adalah ia menjadi lembaga demokrasi yang mekanisme internalnya justru meluputkan demokrasi.
“Untuk Gerindra, terlihat betul Gerindra hanya menjadi alat politik lingkaran Prabowo. Gerindra juga jadi alat politik Prabowo di parlemen. Begitu juga pengangkatan pengurus daerah yang harus sesuai kehendak Prabowo. Jangan harap ada demokrasi dalam partai tersebut,” ujar Sirajuddin.
Menurut Sirajuddin, partai dengan tipe seperti itu sarat dengan kelemahan, salah satunya lemahnya demokrasi internal partai.
Hingga kini Gerindra tak pernah melaksanakan kongres pemilihan ketua umum secara periodik. Pemilihan Prabowo sebagai ketua umum pada 2014 dilakukan guna menanggapi meninggalnya Suhardi, Ketua Umum Gerindra saat itu.
Telaah serupa disampaikan peneliti politik dari CSIS, Arya Fernandez. Menurut Arya, “Kesulitan untuk melanjutkan suksesi tampak di PDIP, Gerindra, Demokrat, NasDem. Kecuali tokoh tersebut mau menyerahkan kekuasaannya ke tokoh lain."
Salah satu contoh dalam kasus ini adalah Pramono Anung Wibowo, Sekretaris Jenderal PDI periode 2005-2010. Menurut Mietzner, “Pramono dilihat banyak kader cocok sebagai ketua umum masa depan PDIP.” Namun, Megawati mencopot Pramono Anung.
Sebelumnya, dalam satu wawancara pada 18 Oktober 2006, Pramono Anung mengungkapkan kepada Mietzner, “Kami tidak bisa hanya selalu berteriak, 'Mega, Yes, Yes, Yes!'" Itu tidak akan terjadi lagi.
Selain itu, ideologi partai berpotensi inkonsisten atau bahkan nihil belaka.
Arya Fernandez menyoroti ideologi Gerindra yang bergantung pada "Apa Kata Prabowo." Menurutnya, ideologi dalam partai tersebut cenderung diabaikan karena partai-partai cenderung pragmatis.
“Nilai ke-Indonesia-an seperti apa yang diperjuangkan Gerindra? Sejauh ini tidak terlihat. Yang terlihat, Gerindra masih menjadi alat perjuangan politik Prabowo,” ujar Arya.
Baca Selanjutnya
loading...
Post a Comment