![]() |
Seorang pelanggar Qanun Syariat Islam sedang menjalani hukuman cambuk di halaman Masjid Syuhada, Banda Aceh, Senin (4/2/2019). | Habil Razali /Beritagar.id |
Banda Aceh - Sebanyak 12 orang dari 6 pasangan pelanggar Qanun Syariat Islam menjalani hukuman uqubat (cambuk) di halaman Masjid Syuhada, Gampong Lamgugop, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, Senin (4/3/2019). Eksekusi yang disaksikan oleh puluhan warga ini adalah edisi kedua pada 2019.
Dari 12 orang itu, 8 di antaranya divonis bersalah melakukan jarimah ikhtilat (bermesraan dengan pasangan sah) yang diatur oleh Pasal 25 ayat (1) Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014. Mereka adalah NL (20 cambukan), ED (20) RZ (17), RK (17), RA (22), NH (22), EL (22), dan JF (25).
Sedangkan 4 terdakwa lain divonis hukuman cambuk masing-masing 7 kali karena terbukti bersalah melakukan khalwat (mesum) yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Qanun Aceh nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat. Mereka adalah NW, SY, TM, dan YM.
Beritagar.id menyaksikan jalannya eksekusi cambuk mulai sekitar pukul 11.20 WIB. Sebuah panggung didirikan di halaman sebelah kanan masjid. Pagar hitam melingkari panggung sehingga membatasi panggung dengan warga yang ingin menyaksikan.
Saat nama terdakwa dipanggil, algojo segera naik ke atas panggung. Sang algojo mengenakan jubah coklat dan penutup seluruh wajah. Saat tiba di atas panggung, algojo menggenggam rotan dan langsung mencambuk terdakwa satu per satu.
Terdakwa lelaki mengenakan jubah putih dan peci warna senada atau kuning. Mereka dicambuk dalam posisi berdiri. Sedangkan terdakwa perempuan memakai jubah dan hijab putih. Mereka dicambuk dalam posisi duduk bersila.
Salah seorang terdakwa perempuan, YM, sempat tertatih seusai menerima 7 kali sabetan rotan. Sementara cambukan 20 kali untuk terdakwa perempuan NL sempat dihentikan oleh algojo.
NL kemudian mendapat minum dan algojo melanjutkannya. Usai menerima 20 sabetan, NL harus diboyong untuk turun dari panggung.
Di sisi lain, beberapa warga menilai kekuatan cambukan algojo masih rendah. "Tidak meyakinkan," ujar seorang warga di antara kerumunan. "Kurang kuat," timpal yang lain.
Kepala Bidang Penindakan dan Perundang-undangan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP-WH) Aceh, Marwan, mengatakan semua terdakwa yang dieksekusi cambuk itu ditangkap di sebuah hotel di Banda Aceh pada Desember 2018.
Menurut Marwan, seharusnya ada 7 pasangan yang dicambuk. Tetapi satu pasangan masih menjalani proses hukum lanjutan karena mengajukan banding. "Dua orang naik banding. Jadi yang dicambuk hari ini 6 pasang atau 12 orang," ujar Marwan kepada sejumlah jurnalis seusai cambuk, Senin (4/3).
Walau ditangkap di satu tempat, para terdakwa mendapat vonis yang berbeda. Marwan menjelaskan penyebabnya adalah proses penangkapan yang berbeda. "Posisi mereka mungkin berbeda saat ditangkap, ini mempengaruhi hasil vonis," tuturnya.
Dia menambahkan akan melakukan evaluasi dan pembinaan terhadap pemilik hotel serta penginapan di Aceh menyusul beberapa penemuan pelanggaran syariat Islam di sana. "Nanti kita buat pembinaan bagi pemilik hotel," kata dia.
Lantas pertanyaan lebih lanjut, mengapa eksekusi cambuk masih dilakukan di halaman masjid atau di tempat terbuka. Padahal, Gubernur Aceh non-aktif, Irwandi Yusuf, telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat di dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas).
"Kenapa tidak di Lapas? Karena petunjuk teknisnya belum ada," ujarnya. | Beritagar.id
Dari 12 orang itu, 8 di antaranya divonis bersalah melakukan jarimah ikhtilat (bermesraan dengan pasangan sah) yang diatur oleh Pasal 25 ayat (1) Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014. Mereka adalah NL (20 cambukan), ED (20) RZ (17), RK (17), RA (22), NH (22), EL (22), dan JF (25).
Sedangkan 4 terdakwa lain divonis hukuman cambuk masing-masing 7 kali karena terbukti bersalah melakukan khalwat (mesum) yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Qanun Aceh nomor 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayat. Mereka adalah NW, SY, TM, dan YM.
Beritagar.id menyaksikan jalannya eksekusi cambuk mulai sekitar pukul 11.20 WIB. Sebuah panggung didirikan di halaman sebelah kanan masjid. Pagar hitam melingkari panggung sehingga membatasi panggung dengan warga yang ingin menyaksikan.
Saat nama terdakwa dipanggil, algojo segera naik ke atas panggung. Sang algojo mengenakan jubah coklat dan penutup seluruh wajah. Saat tiba di atas panggung, algojo menggenggam rotan dan langsung mencambuk terdakwa satu per satu.
Terdakwa lelaki mengenakan jubah putih dan peci warna senada atau kuning. Mereka dicambuk dalam posisi berdiri. Sedangkan terdakwa perempuan memakai jubah dan hijab putih. Mereka dicambuk dalam posisi duduk bersila.
Salah seorang terdakwa perempuan, YM, sempat tertatih seusai menerima 7 kali sabetan rotan. Sementara cambukan 20 kali untuk terdakwa perempuan NL sempat dihentikan oleh algojo.
NL kemudian mendapat minum dan algojo melanjutkannya. Usai menerima 20 sabetan, NL harus diboyong untuk turun dari panggung.
Di sisi lain, beberapa warga menilai kekuatan cambukan algojo masih rendah. "Tidak meyakinkan," ujar seorang warga di antara kerumunan. "Kurang kuat," timpal yang lain.
Kepala Bidang Penindakan dan Perundang-undangan Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP-WH) Aceh, Marwan, mengatakan semua terdakwa yang dieksekusi cambuk itu ditangkap di sebuah hotel di Banda Aceh pada Desember 2018.
Menurut Marwan, seharusnya ada 7 pasangan yang dicambuk. Tetapi satu pasangan masih menjalani proses hukum lanjutan karena mengajukan banding. "Dua orang naik banding. Jadi yang dicambuk hari ini 6 pasang atau 12 orang," ujar Marwan kepada sejumlah jurnalis seusai cambuk, Senin (4/3).
Walau ditangkap di satu tempat, para terdakwa mendapat vonis yang berbeda. Marwan menjelaskan penyebabnya adalah proses penangkapan yang berbeda. "Posisi mereka mungkin berbeda saat ditangkap, ini mempengaruhi hasil vonis," tuturnya.
Dia menambahkan akan melakukan evaluasi dan pembinaan terhadap pemilik hotel serta penginapan di Aceh menyusul beberapa penemuan pelanggaran syariat Islam di sana. "Nanti kita buat pembinaan bagi pemilik hotel," kata dia.
Lantas pertanyaan lebih lanjut, mengapa eksekusi cambuk masih dilakukan di halaman masjid atau di tempat terbuka. Padahal, Gubernur Aceh non-aktif, Irwandi Yusuf, telah mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat di dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas).
"Kenapa tidak di Lapas? Karena petunjuk teknisnya belum ada," ujarnya. | Beritagar.id
loading...
Post a Comment