Benteng Kraton Yogyakarta. Sumber: KITLV. |
UNTUK mempertahankan kemerdekaan yang dirongrong Belanda-NICA, para pejuang menempuh segala cara, termasuk dengan merekrut kembang desa untuk dijadikan penarik mangsa. Peran itu antara lain dimainkan oleh Marsilah, kembang desa berumur 16 tahun yang tinggal di Klitren Kidul, Gondokusuman, Yogyakarta.
Paras ayu Marsilah membuat para pemuda desa, baik yang pro-Belanda ataupun pro-republik, berebut ingin jadi kekasihnya. Ikhsan, polisi pro-Belanda, salah satunya. Ikhsan, menurut Galuh Ambar Sasi dalam Gelora di Tanah Kraton, merupakan inspektur polisi yang terkenal kejam. Dia suka menyiksa bahkan membunuh pejuang yang ditangkap. Ia juga suka mempermainkan perempuan, punya banyak kekasih, dan tak segan memperkosa mereka. “Ikhsan selain pro-Belanda juga bukan lelaki baik. Ia sering memperkosa perempuan-perempuan.” kata Galuh pada Historia.
Ketika Ikhsan mengajak Marsilah kencan, si gadis menurutinya. Namun sebelum kencan berjalan, Marsilah yang was-was dan tak ingin bernasib seperti para perempuan korban Ikhsan, menceritakan ajakan kencan tersebut pada gerilyawan bernama Kasbun. “Kebetulan, Kasbun yang pro-republik juga terpesona dengan Marsilah,” sambung Galuh.
Kasbun terpaksa menekan perasaan cintanya dengan membujuk Marsilah untuk ikut mengiyakan ajakan Ikhsan. Dia membujuk Marsilah ikut dalam operasi bersandi Mapag Penganten, operasi yang dirancang Kasbun dan teman-temannya untuk menjebak Ikhsan. Mereka sudah lama gerah pada sepak terjang Ikhsan yang membunuh rekan-rekan seperjuangan mereka.
Pada 15 Maret 1949, operasi dilaksanakan. Sambil berkencan, Marsilah mengarahkan target operasi ke tempat penjebakan. Mula-mula mereka berjalan-jalan di sekitar Toko Perak Tjokrosoeharto, Jeron Beteng. Kasbun beserta rekan-rekannya terus membuntuti kencan mereka dengan menyamar sebagai pegawai toko.
Ikhsan yang sedang dimabuk asmara tak menaruh curiga pada Marsilah. Ketika Marsilah berhasil menggiring Ikhsan sampai ke Kampung Taman (daerah Taman Sari), dia langsung ditangkap Kasbun dan kawan-kawan. Kampung Taman terkenal sebagai markas pejuang di masa revolusi. Setiap orang pro-Belanda yang masuk ke daerah Taman Sari, dipastikan pulang hanya tinggal nama.
Hal yang sama terjadi pada Ikhsan. “Ia diseret ke tengah Kampung Taman. Orang-orang mengulik informasi tentang pihak Belanda, lantas membunuhnya,” kata Galuh.
Kabar kematian Ikhsan akhirnya sampai ke para pribumi pro-Belanda. Keesokan harinya, Marsilah beserta ayah-ibunya, juga Kasbun ditangkap lantaran menjadi dalang pembunuhan Ikhsan. Selama dipenjara, Marsilah mengalami penyiksaaan dengan disetrum dan mendapat pelecehan seksual.
Marsilah baru dibebaskan pada 19 Maret 1949 ketika Bambang Sungkono, pemimpin kelompok Kasbun, menyerahkan diri. Sejak itu, “Kembang Klitren” memperoleh kembali kebebasannya. Namun, kisah tentangnya tertimbun dalam narasi besar sejarah.
Paras ayu Marsilah membuat para pemuda desa, baik yang pro-Belanda ataupun pro-republik, berebut ingin jadi kekasihnya. Ikhsan, polisi pro-Belanda, salah satunya. Ikhsan, menurut Galuh Ambar Sasi dalam Gelora di Tanah Kraton, merupakan inspektur polisi yang terkenal kejam. Dia suka menyiksa bahkan membunuh pejuang yang ditangkap. Ia juga suka mempermainkan perempuan, punya banyak kekasih, dan tak segan memperkosa mereka. “Ikhsan selain pro-Belanda juga bukan lelaki baik. Ia sering memperkosa perempuan-perempuan.” kata Galuh pada Historia.
Ketika Ikhsan mengajak Marsilah kencan, si gadis menurutinya. Namun sebelum kencan berjalan, Marsilah yang was-was dan tak ingin bernasib seperti para perempuan korban Ikhsan, menceritakan ajakan kencan tersebut pada gerilyawan bernama Kasbun. “Kebetulan, Kasbun yang pro-republik juga terpesona dengan Marsilah,” sambung Galuh.
Kasbun terpaksa menekan perasaan cintanya dengan membujuk Marsilah untuk ikut mengiyakan ajakan Ikhsan. Dia membujuk Marsilah ikut dalam operasi bersandi Mapag Penganten, operasi yang dirancang Kasbun dan teman-temannya untuk menjebak Ikhsan. Mereka sudah lama gerah pada sepak terjang Ikhsan yang membunuh rekan-rekan seperjuangan mereka.
Pada 15 Maret 1949, operasi dilaksanakan. Sambil berkencan, Marsilah mengarahkan target operasi ke tempat penjebakan. Mula-mula mereka berjalan-jalan di sekitar Toko Perak Tjokrosoeharto, Jeron Beteng. Kasbun beserta rekan-rekannya terus membuntuti kencan mereka dengan menyamar sebagai pegawai toko.
Ikhsan yang sedang dimabuk asmara tak menaruh curiga pada Marsilah. Ketika Marsilah berhasil menggiring Ikhsan sampai ke Kampung Taman (daerah Taman Sari), dia langsung ditangkap Kasbun dan kawan-kawan. Kampung Taman terkenal sebagai markas pejuang di masa revolusi. Setiap orang pro-Belanda yang masuk ke daerah Taman Sari, dipastikan pulang hanya tinggal nama.
Hal yang sama terjadi pada Ikhsan. “Ia diseret ke tengah Kampung Taman. Orang-orang mengulik informasi tentang pihak Belanda, lantas membunuhnya,” kata Galuh.
Kabar kematian Ikhsan akhirnya sampai ke para pribumi pro-Belanda. Keesokan harinya, Marsilah beserta ayah-ibunya, juga Kasbun ditangkap lantaran menjadi dalang pembunuhan Ikhsan. Selama dipenjara, Marsilah mengalami penyiksaaan dengan disetrum dan mendapat pelecehan seksual.
Marsilah baru dibebaskan pada 19 Maret 1949 ketika Bambang Sungkono, pemimpin kelompok Kasbun, menyerahkan diri. Sejak itu, “Kembang Klitren” memperoleh kembali kebebasannya. Namun, kisah tentangnya tertimbun dalam narasi besar sejarah.
Sumber: Historia
loading...
Post a Comment