GUNA memahami kenapa pemerintah Belanda akhirnya memutuskan untuk mendanai sebuah investigasi/riset berskala besar tentang Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1950), kita perlu mengakui adanya akibat politik dari kasus-kasus pengadilan yang menggugat negeri Belanda. (Salah satunya kasus pengadilan Rawagede, diadvokasi K.U.K.B, yang memaksa pemerintah Belanda akhirnya membayar kompensasi kepada para janda yang suaminya dieksekusi secara massal pada masa Perang Kemerdekaan).
Terlalu naif jika kedua hal tersebut dipisahkan. Investigasi/riset ini kelihatan seperti usaha tulus dan tegas dari Belanda yang pada akhirnya bertanggungjawab penuh pada kekejaman penjajahan. Meskipun begitu, pemerintah Belanda kerap mengutarakan keinginannya untuk melupakan masa lalu dan beranjak menatap masa depan. Tanpa tekanan dari kasus pengadilan yang sedang berjalan sekarang ini, pemerintah Belanda seperinya tak akan mau mendanai investigasi kasus itu lebih lanjut.
Namun, bukannya mengakui rintisan dari ketua K.U.K.B. (Komite Utang Kehormatan Belanda), Jeffry Pondaag, para pimpinan proyek investigasi/riset tersebut justru menyingkirkan dan mengabaikannya. Kenapa bisa begitu? Saya pikir penelitian ini adalah strategi untuk meyakinkan dunia internasional bahwa pihak Belanda sedang melakukan hal luar biasa.
Katakanlah seperti laporan pemerintah tahun 2004 berjudul “Melupakan masa lalu untuk janji masa depan” yang fokus pada perjanjian keuangan tahun 1966. Setahun setelah Soeharto naik tahta, Belanda mengatur kesepakatan yang membuat Indonesia membayar kerugian perusahaannya di Indonesia.
Soeharto dikenal lebih pro-Barat dibanding Sukarno. Hingga kini, pandangan umum di Belanda yang menyebut sang presiden RI pertama itu berlaku bengis dengan menasionalisasi seluruh perusahaan Belanda pada 1957, masih hidup.
Dalam narasi ini, sepertinya tak ada orang yang peduli apakah “properti-properti” kolonial ini sejak awal didapatkan secara legal. Lihatlah laporan tahun 2004 itu, kesimpulannya menyatakan bahwa wajar bagi Indonesia untuk membayar sejumlah besar uang kepada Belanda, seperti juga para bekas koloni Inggris yang melakukan hal sama. Dalam laporan Belanda ini, pertanyaan kritis terkait dengan pembayaran ini direduksi begitu saja menjadi “stereotip orang kulit hitam dan putih” yang aneh.
Lebih lanjut, tahun 2008, pemerintah Belanda menolak klaim kasus Rawagede dengan alasan bahwa perjanjian tahun 1966 sudah mengakhiri segala kewajiban keuangan. Nampaknya, Belanda memasukkan perjanjian ini (yang hanya menguntungkannya) yang tak bisa dibatalkan sebagai bantahan. Oleh karena itu, mereka menganggap kompensasi pada para korban perang Indonesia adalah mustahil –menakjubkan, bahwa perjanjian 1966 dimaksudkan untuk menjamin pembayaran Indonesia kepada Belanda namun bukan untuk sebaliknya.
Pengalaman pribadi saya membuktikan sikap pengabaian yang disengaja ini. Pada Juni 2016, Saya datang ke seminar di The Hague yang menghadirkan sepuluh profesional Indonesia dan Belanda secara bersamaan. Sebagai sebuah kelompok, kami diundang oleh Kementrian Luar Negeri Belanda untuk lebih mempelajari tentang hubungan bilateral kedua negara.
Selama presentasi tersebut, pejabat pemerintah Hanjo de Kuiper tak henti-hentinya berbicara tentang masa depan. Menurutnya, inilah saatnya untuk beranjak; Belanda dan Indonesia pada akhirnya menjadi rekan yang setara. Dia juga mengucapkan terima kasih pada seluruh bantuan pembangunagn yang (diantara negara-negara lain) telah dilunasi Belanda, Indonesia bukan lagi negara berkembang.
Namun De Kuiper juga memperingatkan bahwa Belanda (dengan bayangan standart moral yang lebih tinggi) akan tetap kritis terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang sedang berjalan. Hanya ada satu slide presentasi power point yang merujuk pada topik hangat kejahatan perang Belanda di Indonesia. Slide itu menunjukkan gambar Bert Koenders, menteri luar negeri sebelumnya, yang mengunjungi para janda Rawagede. Gambar tersebut secara jelas melukiskan sebuah pertanggungjawaban. Tentu pada bagian ini tak menerangkan bahwa awalnya negara Belanda telah menolak klaim. Secara keseluruhan, rahasia umum – tentang berabad-abad pelanggaran hak asasi manusia Belanda terhadap Indonesia dan pembayaran hutang ke Belanda – diabaikan.
Pertanyaannya sekarang, apa maksudnya ketika seorang pejabat Belanda menyajikan propaganda tentang kunjungan ke orang Indonesia itu hanya 4 bulan sebelum riset Rémy Limpach membuatnya merevisi pernyataan resminya? Dengan mantra tentang masa depan, De Kuiper tampaknya tak berpikir bahwa meneliti kekejaman penjajahan adalah kewajiban moral bagi Belanda untuk bisa beranjak.
Menariknya, ketika proyek riset/investigasi itu akhirnya diluncurkan pada September 2017, saya melihat De Kuiper lagi. Dia duduk diantara penonton, tepat di belakang para pemimpin proyek. Saya heran bagaimana kebijakan pemerintah untuk mendanai penelitian baru tentang masa lalu itu bisa langsung mempengaruhi pandangannya. Sulit membayangkan bahwa slide, mantra menuju masa depan, dalam presentasi power pointnya berubah secara drastis.
Kemudian, pada Oktober 2017, bersama yayasan saya Histori Bersama, kami menyelenggarakan diskusi di Universitas Leiden. Diskusi ini tak hanya memberikan dasar bagi inisiasi Surat Terbuka (Open Letters), tetapi juga memberikan kesempatan pada ketua K.U.K.B. Pondaag untuk menjelaskan motivasinya selama bertahun-tahun mendampingi para korban perang Indonesia, namun tak dianggap penting bagi para pemimpin proyek riset itu. Pondaag, yang berjuang bertahun-tahun untuk membangun kesadaran lebih besar tentang kasus korban perang Indonesia di Belanda ini, tidak diakui peran pentingnya, yang justru adalah pemicu sebenarnya adanya investigasi baru ini.
Sekali lagi, De Kuiper ada diantara penonton, Duta Besar Indonesia Gusti Agung Wesaka juga berusaha datang. Dari kehadiran mereka saja, saya menggambarkan betapa sangat politisnya proyek riset ini.
Baru-baru ini, The Jakarta Post memuat tulisan-tulisan tentang Surat Terbuka yang ditujukan pada pemerintahan Belanda akhir November lalu, “Mempertanyakan Investigasi”. Kebanyakan artikel tersebut secara optimis mengarahkan pada keuntungan yang mungkin didapatkan dari proyek riset itu, sementara mengabaikan hal spesifik dari Surat Terbuka tersebut.
Sejak awal publikasi tulisan di Jakarta Post itu akan membuat orang berpikir bahwa Surat Terbuka itu mengkritik bahwa para peneliti harus menandatangani kontrak, mengikat mereka untuk memproduksi hasil tertentu untuk kepentingan pemerintah Belanda.
Namun mereka yang benar-benar membaca Surat Terbuka itu akan tahu bahwa itu tak benar. Konflik kepentingan bukanlah soal perjanjian/kontrak tertulis. Saya pikir bahwa tak mungkin juga para peneliti yang terlibat akan mau menandatangani kontrak itu. Biarpun begitu, ketiadaan kontrak tertulis tersebut tak berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Surat Terbuka secara jelas menerangkan hubungan politis apa yang mesti dipertimbangkan untuk memahami konstruksi besar proyek itu. Jadi, percuma Kedutaan Besar Belanda mengatakan kepada Jakarta Post bahwa “pemerintah tak punya perjanjian/kontrak (dengan para peneliti),” karena Surat Terbuka itu sejak awal tak menyisipkan soal keberadaan kontrak itu.
Hal sederhana lain adalah pernyataan sejarawan Belanda Maarten Manse (“Memeriksa dekoloniasasi untu pemahaman lebih baik”, The Post, Jan. 23) bahwa: belum ada indikasi bahwa para peneliti yang bekerja sama dalam proyek ini beralih dari disiplin akademik mereka demi keuntungan politik.”
Saya jadi heran apakah ia benar-benar membaca Surat Terbuka itu, yang tertera daftar semua faktor di balik titik berangkat riset yang problematis. Niat baik dan kompetensi akademik bukanlah masalah utama. Politiklah masalahnya.
Penulis adalah peneliti independen dari Belanda dan pendiri Histori Bersama, media online multibahasa yang fokus pada sudut pandang Belanda dan Indonesia tentang sejarah kolonial. Untuk studi master di Universitas Leiden, dia mempelajari akibat politik dari kasus-kasus pengadilan yang menggugat negara Belanda.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di The Jakarta Post, 8 Februari 2018.
Terlalu naif jika kedua hal tersebut dipisahkan. Investigasi/riset ini kelihatan seperti usaha tulus dan tegas dari Belanda yang pada akhirnya bertanggungjawab penuh pada kekejaman penjajahan. Meskipun begitu, pemerintah Belanda kerap mengutarakan keinginannya untuk melupakan masa lalu dan beranjak menatap masa depan. Tanpa tekanan dari kasus pengadilan yang sedang berjalan sekarang ini, pemerintah Belanda seperinya tak akan mau mendanai investigasi kasus itu lebih lanjut.
Namun, bukannya mengakui rintisan dari ketua K.U.K.B. (Komite Utang Kehormatan Belanda), Jeffry Pondaag, para pimpinan proyek investigasi/riset tersebut justru menyingkirkan dan mengabaikannya. Kenapa bisa begitu? Saya pikir penelitian ini adalah strategi untuk meyakinkan dunia internasional bahwa pihak Belanda sedang melakukan hal luar biasa.
Katakanlah seperti laporan pemerintah tahun 2004 berjudul “Melupakan masa lalu untuk janji masa depan” yang fokus pada perjanjian keuangan tahun 1966. Setahun setelah Soeharto naik tahta, Belanda mengatur kesepakatan yang membuat Indonesia membayar kerugian perusahaannya di Indonesia.
Soeharto dikenal lebih pro-Barat dibanding Sukarno. Hingga kini, pandangan umum di Belanda yang menyebut sang presiden RI pertama itu berlaku bengis dengan menasionalisasi seluruh perusahaan Belanda pada 1957, masih hidup.
Dalam narasi ini, sepertinya tak ada orang yang peduli apakah “properti-properti” kolonial ini sejak awal didapatkan secara legal. Lihatlah laporan tahun 2004 itu, kesimpulannya menyatakan bahwa wajar bagi Indonesia untuk membayar sejumlah besar uang kepada Belanda, seperti juga para bekas koloni Inggris yang melakukan hal sama. Dalam laporan Belanda ini, pertanyaan kritis terkait dengan pembayaran ini direduksi begitu saja menjadi “stereotip orang kulit hitam dan putih” yang aneh.
Lebih lanjut, tahun 2008, pemerintah Belanda menolak klaim kasus Rawagede dengan alasan bahwa perjanjian tahun 1966 sudah mengakhiri segala kewajiban keuangan. Nampaknya, Belanda memasukkan perjanjian ini (yang hanya menguntungkannya) yang tak bisa dibatalkan sebagai bantahan. Oleh karena itu, mereka menganggap kompensasi pada para korban perang Indonesia adalah mustahil –menakjubkan, bahwa perjanjian 1966 dimaksudkan untuk menjamin pembayaran Indonesia kepada Belanda namun bukan untuk sebaliknya.
Pengalaman pribadi saya membuktikan sikap pengabaian yang disengaja ini. Pada Juni 2016, Saya datang ke seminar di The Hague yang menghadirkan sepuluh profesional Indonesia dan Belanda secara bersamaan. Sebagai sebuah kelompok, kami diundang oleh Kementrian Luar Negeri Belanda untuk lebih mempelajari tentang hubungan bilateral kedua negara.
Selama presentasi tersebut, pejabat pemerintah Hanjo de Kuiper tak henti-hentinya berbicara tentang masa depan. Menurutnya, inilah saatnya untuk beranjak; Belanda dan Indonesia pada akhirnya menjadi rekan yang setara. Dia juga mengucapkan terima kasih pada seluruh bantuan pembangunagn yang (diantara negara-negara lain) telah dilunasi Belanda, Indonesia bukan lagi negara berkembang.
Namun De Kuiper juga memperingatkan bahwa Belanda (dengan bayangan standart moral yang lebih tinggi) akan tetap kritis terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang sedang berjalan. Hanya ada satu slide presentasi power point yang merujuk pada topik hangat kejahatan perang Belanda di Indonesia. Slide itu menunjukkan gambar Bert Koenders, menteri luar negeri sebelumnya, yang mengunjungi para janda Rawagede. Gambar tersebut secara jelas melukiskan sebuah pertanggungjawaban. Tentu pada bagian ini tak menerangkan bahwa awalnya negara Belanda telah menolak klaim. Secara keseluruhan, rahasia umum – tentang berabad-abad pelanggaran hak asasi manusia Belanda terhadap Indonesia dan pembayaran hutang ke Belanda – diabaikan.
Pertanyaannya sekarang, apa maksudnya ketika seorang pejabat Belanda menyajikan propaganda tentang kunjungan ke orang Indonesia itu hanya 4 bulan sebelum riset Rémy Limpach membuatnya merevisi pernyataan resminya? Dengan mantra tentang masa depan, De Kuiper tampaknya tak berpikir bahwa meneliti kekejaman penjajahan adalah kewajiban moral bagi Belanda untuk bisa beranjak.
Menariknya, ketika proyek riset/investigasi itu akhirnya diluncurkan pada September 2017, saya melihat De Kuiper lagi. Dia duduk diantara penonton, tepat di belakang para pemimpin proyek. Saya heran bagaimana kebijakan pemerintah untuk mendanai penelitian baru tentang masa lalu itu bisa langsung mempengaruhi pandangannya. Sulit membayangkan bahwa slide, mantra menuju masa depan, dalam presentasi power pointnya berubah secara drastis.
Kemudian, pada Oktober 2017, bersama yayasan saya Histori Bersama, kami menyelenggarakan diskusi di Universitas Leiden. Diskusi ini tak hanya memberikan dasar bagi inisiasi Surat Terbuka (Open Letters), tetapi juga memberikan kesempatan pada ketua K.U.K.B. Pondaag untuk menjelaskan motivasinya selama bertahun-tahun mendampingi para korban perang Indonesia, namun tak dianggap penting bagi para pemimpin proyek riset itu. Pondaag, yang berjuang bertahun-tahun untuk membangun kesadaran lebih besar tentang kasus korban perang Indonesia di Belanda ini, tidak diakui peran pentingnya, yang justru adalah pemicu sebenarnya adanya investigasi baru ini.
Sekali lagi, De Kuiper ada diantara penonton, Duta Besar Indonesia Gusti Agung Wesaka juga berusaha datang. Dari kehadiran mereka saja, saya menggambarkan betapa sangat politisnya proyek riset ini.
Baru-baru ini, The Jakarta Post memuat tulisan-tulisan tentang Surat Terbuka yang ditujukan pada pemerintahan Belanda akhir November lalu, “Mempertanyakan Investigasi”. Kebanyakan artikel tersebut secara optimis mengarahkan pada keuntungan yang mungkin didapatkan dari proyek riset itu, sementara mengabaikan hal spesifik dari Surat Terbuka tersebut.
Sejak awal publikasi tulisan di Jakarta Post itu akan membuat orang berpikir bahwa Surat Terbuka itu mengkritik bahwa para peneliti harus menandatangani kontrak, mengikat mereka untuk memproduksi hasil tertentu untuk kepentingan pemerintah Belanda.
Namun mereka yang benar-benar membaca Surat Terbuka itu akan tahu bahwa itu tak benar. Konflik kepentingan bukanlah soal perjanjian/kontrak tertulis. Saya pikir bahwa tak mungkin juga para peneliti yang terlibat akan mau menandatangani kontrak itu. Biarpun begitu, ketiadaan kontrak tertulis tersebut tak berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Surat Terbuka secara jelas menerangkan hubungan politis apa yang mesti dipertimbangkan untuk memahami konstruksi besar proyek itu. Jadi, percuma Kedutaan Besar Belanda mengatakan kepada Jakarta Post bahwa “pemerintah tak punya perjanjian/kontrak (dengan para peneliti),” karena Surat Terbuka itu sejak awal tak menyisipkan soal keberadaan kontrak itu.
Hal sederhana lain adalah pernyataan sejarawan Belanda Maarten Manse (“Memeriksa dekoloniasasi untu pemahaman lebih baik”, The Post, Jan. 23) bahwa: belum ada indikasi bahwa para peneliti yang bekerja sama dalam proyek ini beralih dari disiplin akademik mereka demi keuntungan politik.”
Saya jadi heran apakah ia benar-benar membaca Surat Terbuka itu, yang tertera daftar semua faktor di balik titik berangkat riset yang problematis. Niat baik dan kompetensi akademik bukanlah masalah utama. Politiklah masalahnya.
Penulis adalah peneliti independen dari Belanda dan pendiri Histori Bersama, media online multibahasa yang fokus pada sudut pandang Belanda dan Indonesia tentang sejarah kolonial. Untuk studi master di Universitas Leiden, dia mempelajari akibat politik dari kasus-kasus pengadilan yang menggugat negara Belanda.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di The Jakarta Post, 8 Februari 2018.
Sumber kutipan: historia.id
loading...
Post a Comment