StatusAceh.Net - “Korban pertama ketika perang terjadi adalah kebenaran.”
Peneliti Human Rights Watch Indonesia, Andreas Harsono, mengutip kalimat bersayap tersebut dari senator AS, Hiram Warren Johnson, pada awal abad 20 yang masih relevan hingga kini sekalipun dunia telah berkembang jauh.
Dalam peristiwa di Tembagapura belakangan ini, yang disebut Harsono sebagai “konflik dengan intensitas rendah,” informasi yang mendekati kebenaran amatlah sulit ketika kerja serius wartawan dan peneliti dihambat oleh lorong kegelapan yang panjang.
Harsono bekerja di sebuah lembaga nirlaba yang menyentuh isu Papua secara serius setidaknya sejak 1998, tahun politik yang panas ketika rezim Soeharto lengser, saat sejumlah kawasan di Indonesia tersuruk dalam kekerasan komunal dan tuntutan pemisahan diri, termasuk di Papua.
Ia bilang, untuk mengabarkan peristiwa konflik di Papua, “kita harus menembus lapisan propaganda, pelintiran informasi, dan pembelaan dari warga sendiri.”
Menurutnya, aparat keamanan perlu menyetir opini publik untuk melancarkan operasi militer; sedangkan Tentara Pembebasan Nasional – Organisasi Papua Merdeka perlu membela diri.
“Kedua belah pihak memelintir (informasi) tapi tidak imbang. Pelintiran dari pihak aparat jauh lebih besar daripada pihak Papua. Wartawan Indonesia celakanya gampang sekali termakan spin dari polisi,” katanya.
Sejumlah laporan dari tempat kerja Harsono sangat sering merekam pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Dari kekerasan negara terhadap warga sipil lewat pembakaran kampung dan pengusiran, dari pembungkaman aksi politik damai hingga pemenjaraan politik, dari penembakan-penembakan sporadis terhadap pemuda Papua hingga pembatasan kebebasan pers. Bahkan topik Papua selalu jadi poin pembahasan dalam setiap laporan tahunan Human Rights Watch mengenai kondisi masalah HAM di Indonesia.
Salah satu laporan Human Rights Watch soal restriksi pers bebas di Papua menyimpulkan bahwa wartawan-wartawan di Papua, terutama yang beretnis Papua, menghadapi “hambatan serius” saat menyentuh masalah sensitif.
“Meliput korupsi dan perampasan lahan bisa menjadi hal berbahaya di mana pun di Indonesia, tetapi wartawan nasional dan lokal yang kami wawancarai mengatakan bahaya itu menguat di Papua … Wartawan di Papua mengalami gangguan, intimidasi, dan kekerasan sewaktu-waktu dari aparat, anggota masyarakat, dan pasukan pro kemerdekaan,” tulis laporan itu.
Harsono mengatakan situasi di Tembagapura, lokasi tambang emas PT Freeport Indonesia, serta informasi buram terkait Papua, bermula dari penyerahan kekuasaan wilayah paling timur itu ke Indonesia pada 1963. Pada 1969, Papua resmi dalam wilayah Indonesia sesudah digelar satu jajak pendapat, yang diabsahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kekerasan mengikuti upaya politik dan ekonomi atas wilayah Papua. Sejak 1961 saat orang Papua berupaya membangun legitimasi dan otonomi atas kemerdekaannya, Indonesia melakukan operasi militer guna mengikis tuntutan rakyat Papua. Operasi ini dibangun dengan tiga tahap: infiltrasi, serangan terbuka, dan konsolidasi. Organisasi Papua Merdeka, kelompok gerilyawan yang terpencar dan berkekuatan minim hingga sekarang, terbentuk guna menuntut kemerdekaan Bangsa Papua Barat.
Pada 1967, Freeport mendapatkan tanda tangan kontrak tambang dengan Indonesia. Pada 1970-an, OPM terbentuk di Timika, bersamaan dengan operasi tambang salah satu penyumbang pajak terbesar bagi pemerintah Indonesia itu berjalan.
Sepanjang 1963 hingga sekarang, ada banyak warga sipil yang terbunuh dan mengungsi. Beberapa pemuka Papua yang terbunuh termasuk musikus grup Mambesak dan antropolog Arnold Ap pada awal 1980-an, serta Ketua Presidium Dewan Papua Theys Eluay pada 2001.
Peneliti Human Rights Watch Indonesia, Andreas Harsono, mengutip kalimat bersayap tersebut dari senator AS, Hiram Warren Johnson, pada awal abad 20 yang masih relevan hingga kini sekalipun dunia telah berkembang jauh.
Dalam peristiwa di Tembagapura belakangan ini, yang disebut Harsono sebagai “konflik dengan intensitas rendah,” informasi yang mendekati kebenaran amatlah sulit ketika kerja serius wartawan dan peneliti dihambat oleh lorong kegelapan yang panjang.
Harsono bekerja di sebuah lembaga nirlaba yang menyentuh isu Papua secara serius setidaknya sejak 1998, tahun politik yang panas ketika rezim Soeharto lengser, saat sejumlah kawasan di Indonesia tersuruk dalam kekerasan komunal dan tuntutan pemisahan diri, termasuk di Papua.
Ia bilang, untuk mengabarkan peristiwa konflik di Papua, “kita harus menembus lapisan propaganda, pelintiran informasi, dan pembelaan dari warga sendiri.”
Menurutnya, aparat keamanan perlu menyetir opini publik untuk melancarkan operasi militer; sedangkan Tentara Pembebasan Nasional – Organisasi Papua Merdeka perlu membela diri.
“Kedua belah pihak memelintir (informasi) tapi tidak imbang. Pelintiran dari pihak aparat jauh lebih besar daripada pihak Papua. Wartawan Indonesia celakanya gampang sekali termakan spin dari polisi,” katanya.
Sejumlah laporan dari tempat kerja Harsono sangat sering merekam pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Dari kekerasan negara terhadap warga sipil lewat pembakaran kampung dan pengusiran, dari pembungkaman aksi politik damai hingga pemenjaraan politik, dari penembakan-penembakan sporadis terhadap pemuda Papua hingga pembatasan kebebasan pers. Bahkan topik Papua selalu jadi poin pembahasan dalam setiap laporan tahunan Human Rights Watch mengenai kondisi masalah HAM di Indonesia.
Salah satu laporan Human Rights Watch soal restriksi pers bebas di Papua menyimpulkan bahwa wartawan-wartawan di Papua, terutama yang beretnis Papua, menghadapi “hambatan serius” saat menyentuh masalah sensitif.
“Meliput korupsi dan perampasan lahan bisa menjadi hal berbahaya di mana pun di Indonesia, tetapi wartawan nasional dan lokal yang kami wawancarai mengatakan bahaya itu menguat di Papua … Wartawan di Papua mengalami gangguan, intimidasi, dan kekerasan sewaktu-waktu dari aparat, anggota masyarakat, dan pasukan pro kemerdekaan,” tulis laporan itu.
Harsono mengatakan situasi di Tembagapura, lokasi tambang emas PT Freeport Indonesia, serta informasi buram terkait Papua, bermula dari penyerahan kekuasaan wilayah paling timur itu ke Indonesia pada 1963. Pada 1969, Papua resmi dalam wilayah Indonesia sesudah digelar satu jajak pendapat, yang diabsahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kekerasan mengikuti upaya politik dan ekonomi atas wilayah Papua. Sejak 1961 saat orang Papua berupaya membangun legitimasi dan otonomi atas kemerdekaannya, Indonesia melakukan operasi militer guna mengikis tuntutan rakyat Papua. Operasi ini dibangun dengan tiga tahap: infiltrasi, serangan terbuka, dan konsolidasi. Organisasi Papua Merdeka, kelompok gerilyawan yang terpencar dan berkekuatan minim hingga sekarang, terbentuk guna menuntut kemerdekaan Bangsa Papua Barat.
Pada 1967, Freeport mendapatkan tanda tangan kontrak tambang dengan Indonesia. Pada 1970-an, OPM terbentuk di Timika, bersamaan dengan operasi tambang salah satu penyumbang pajak terbesar bagi pemerintah Indonesia itu berjalan.
Sepanjang 1963 hingga sekarang, ada banyak warga sipil yang terbunuh dan mengungsi. Beberapa pemuka Papua yang terbunuh termasuk musikus grup Mambesak dan antropolog Arnold Ap pada awal 1980-an, serta Ketua Presidium Dewan Papua Theys Eluay pada 2001.
BACA SELANJUTNYA
loading...
Post a Comment