![]() |
Soeharto beserta Ibu Tien di Bandara Sentani, Jayapura; 27 September 1969. FOTO/gahetna.nl |
StatusAceh.Net - “Dan apa yang dinamakan Indonesia, Saudara-saudara? Yang dinamakan Indonesia ialah segenap kepulauan antara Sabang dan Merauke. Yang dinamakan Indonesia ialah apa yang dulu dikenal sebagai perkataan Hindia-Belanda.”
Demikian pidato Presiden Sukarno di hadapan taruna-taruna Akademi Militer Nasional di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Irian Barat adalah masalah krusial bagi pemerintahan Sukarno. Tanpa Irian Barat, Indonesia belumlah Indonesia.
Saat Sukarno berpidato, sudah 11 tahun Indonesia menempuh diplomasi untuk merebut Irian Barat dari penguasaan Belanda. Pada titik itu Sukarno sudah habis kesabaran.
Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 negosiasi soal posisi Irian Barat adalah yang paling alot. Karenanya, untuk mencegah deadlock, KMB memutuskan bahwa status politik Irian Barat akan dirundingkan lagi dalam jangka waktu setahun setelah tanggal pengakuan kedaulatan. Namun, lewat setahun Belanda selalu mangkir.
“Inilah pembohongan besar-besaran, kecurangan gede-gedean yang dijalankan oleh pihak Belanda,” kata Sukarno dalam pidato yang kemudian diterbitkan dengan judul Kibarkanlah Sang Merah Putih di Irian Barat! itu.
Disebut dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid V (SNI V, 2008, hlm. 436-440), selama 11 tahun itu Indonesia telah mengusahakan penyelesaian bilateral dengan Belanda. Namun, karena Belanda tak mengindahkannya, Indonesia membawa persoalan Irian Barat ke forum PBB pada 1954, 1955, 1957, dan 1960.
Usaha diplomasi itu selalu berakhir dengan pengabaian dan kebuntuan hingga bikin Sukarno muntab. “Di dalam PBB pun tiada hasil sama sekali. Malahan di dalam PBB itu ada pihak yang berkata: Menyetujui Belanda menguasai Irian Barat,” kata Sukarno.
Pidato itu kemudian ditutup dengan apa yang kini dikenal sebagai Tri Komando Rakyat alias Trikora. Intinya, gagalkan pembentukan “negara boneka Papua” dan kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat. Itu sekaligus penanda dimulainya kampanye militer merebut Irian Barat dari penguasaan Belanda.
Demikian pidato Presiden Sukarno di hadapan taruna-taruna Akademi Militer Nasional di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Irian Barat adalah masalah krusial bagi pemerintahan Sukarno. Tanpa Irian Barat, Indonesia belumlah Indonesia.
Saat Sukarno berpidato, sudah 11 tahun Indonesia menempuh diplomasi untuk merebut Irian Barat dari penguasaan Belanda. Pada titik itu Sukarno sudah habis kesabaran.
Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 negosiasi soal posisi Irian Barat adalah yang paling alot. Karenanya, untuk mencegah deadlock, KMB memutuskan bahwa status politik Irian Barat akan dirundingkan lagi dalam jangka waktu setahun setelah tanggal pengakuan kedaulatan. Namun, lewat setahun Belanda selalu mangkir.
“Inilah pembohongan besar-besaran, kecurangan gede-gedean yang dijalankan oleh pihak Belanda,” kata Sukarno dalam pidato yang kemudian diterbitkan dengan judul Kibarkanlah Sang Merah Putih di Irian Barat! itu.
Disebut dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid V (SNI V, 2008, hlm. 436-440), selama 11 tahun itu Indonesia telah mengusahakan penyelesaian bilateral dengan Belanda. Namun, karena Belanda tak mengindahkannya, Indonesia membawa persoalan Irian Barat ke forum PBB pada 1954, 1955, 1957, dan 1960.
Usaha diplomasi itu selalu berakhir dengan pengabaian dan kebuntuan hingga bikin Sukarno muntab. “Di dalam PBB pun tiada hasil sama sekali. Malahan di dalam PBB itu ada pihak yang berkata: Menyetujui Belanda menguasai Irian Barat,” kata Sukarno.
Pidato itu kemudian ditutup dengan apa yang kini dikenal sebagai Tri Komando Rakyat alias Trikora. Intinya, gagalkan pembentukan “negara boneka Papua” dan kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat. Itu sekaligus penanda dimulainya kampanye militer merebut Irian Barat dari penguasaan Belanda.
loading...
Post a Comment