BAIS dan BIN mengalami kebekuan komunikasi dengan Kemhan sejak Ryamizard Ryacudu menjabat. (Dok. kemhan.go.id) |
Jakarta - Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) periode 2011-2013, Laksda TNI AL (Purn) Soleman B. Ponto, menyatakan telah terjadi keterputusan komunikasi antara lembaga yang pernah ia pimpin dengan Kementerian Pertahanan. Ketiadaan koordinasi ini ditengarai menjadi salah satu alasan Kemhan membentuk badan intelijen sendiri.
"(Badan Intelijen Pertahanan) itu tidak perlu. Tugas Kemhan satu: membuat kebijakan pertahanan negara. Bahan (penyusunan kebijakan) didapat dan dianalisis dari data BAIS, BIN, dari mana-mana. Persoalannya, ada putus hubungan antara Kemhan dengan BAIS dan BIN," kata Ponto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (14/6).
Ponto berujar, kala dia menjabat sebagai Atase Pertahanan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda, ia pun menyuplai informasi untuk Kemhan. Demikian pula saat ia menjadi Kepala BAIS –badan intelijen kemiliteran di bawah komando Markas Besar Tentara Nasional Indonesia.
Oleh sebab itu Ponto menganggap Badan Intelijen Pertahanan yang tengah dibentuk Kemhan sesungguhnya sama sekali tak dibutuhkan.
"Tugas Kemhan bukan operasional. Sementara operasi intelijen –yang butuh anggaran besar– cukup oleh BIN dan BAIS. Ancaman nonmiliter domain BIN, ancaman militer domain BAIS," ujar pria 60 tahun tersebut.
Badan Intelijen Pertahanan di bawah Kemhan, jika mewujud, disebut Ponto bakal menimbulkan gesekan bahkan tumbukan antarlembaga telik sandi, yakni dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan BAIS; juga memboroskan anggaran negara.
"Akan kacau. Kalau badan intelijen Kemhan menggelar operasi, pasti tabrakan dengan Undang-Undang, pasti tabrakan dengan BAIS dan BIN karena lingkupnya sama. Itu pasti," kata penulis buku TNI dan Perdamaian di Aceh: Catatan 880 Hari Pra dan Pasca-MoU Helsinki itu.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kemhan Laksdya Widodo mengatakan Badan Intelijen Pertahanan di bawah kementeriannya bertugas mengumpulkan berbagai data dan informasi secara komprehensif terkait seluruh sumber daya pertahanan dan keamanan negara, termasuk sumber daya pendukungnya seperti pangan dan energi.
Sementara mantan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kemhan Letjen (Purn) Syarifudin Tippe menyatakan Badan Intelijen Pertahanan akan memayungi segala ancaman yang berasal dari unsur militer maupun nonmiliter.
"Pertahanan itu luas, dan ada ruang kosong yang tak terjamah intelijen TNI, yaitu nonmiliter. Di situlah tugas Badan Intelijen Pertahanan," kata Tippe.
Badan Intelijen Pertahanan, ujar mantan Pangdam II/Sriwijaya itu, nantinya juga akan membantu intelijen militer.
Namun justru persinggungan atau kesamaan cakupan itulah yang dikhawatirkan menimbulkan tumpang tindih bahkan bentrok antarbadan intelijen.
"Kemhan berdasarkan UU Pertahanan Negara mestinya mengurus kebijakan negara saja, sementara urusan operasional dibagi habis kepada lembaga terkait lain, termasuk TNI. Tapi Kemhan yang sekarang juga ingin memegang operasional –membuat badan intelijen, menerapkan bela negara. Itu akan tabrakan," ujar Ponto.
Punya intelijen
Ucapan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang berkali-kali mengklaim Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan kementerian pertahanan tanpa badan intelijen, disebut Ponto sama sekali tak tepat.
"Kementerian Pertahanan tanpa intelijen itu tak mungkin. Bagaimana membuat kebijakan strategis tanpa informasi intelijen?" ujar Ponto menirukan ucapan Ryamizard yang dikutip berbagai media pekan lalu.
Padahal, kata Ponto, "Keliru kalau Menteri bilang Kemhan tidak punya intelijen. Ada intel di Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Kemhan. Di situ tugas intelijennya hanya menganalisa karena Menhan membuat kebijakan, bukan operasional."
Ada empat direktorat jenderal di Kemhan yang menurut Ponto turut ia bidani kelahirannya, yakni Strategi Pertahanan (strahan), Potensi Pertahanan (pothan), Perencanaan Pertahanan (renhan), dan Kekuatan Pertahanan (kuathan).
Ditjen Strahan, ujar Ponto, bertugas mengidentifikasi ancaman. Selanjutnya Ditjen Pothan melihat potensi pertahanan yang dimiliki. Dengan demikian Ditjen Renhan dapat merancang kekuatan menghadapi ancaman tersebut, dan Ditjen Kuathan merumuskan detail kebijakan untuk membina kekuatan pertahanan.
Orang-orang yang ditempatkan di Ditjen Strahan sejak awal berdirinya tahun 2002, punya latar belakang atau paling tidak memiliki kualifikasi intelijen, tak peduli sipil atau militer. Namun Kemhan kemudian melakukan reorganisasi di Ditjen Strahan pada 2012.
"Personel Strahan diganti dengan mereka yang tidak berkualifikasi intelijen. Akibatnya fungsi intelijen di Strahan tak lagi berjalan, suplai informasi ke Kemhan mulai terkendala, hingga kini muncul ide membuat Badan Intelijen Pertahanan," kata Ponto.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan tertanggal 29 Desember 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertahanan, salah satu tugas Ditjen Strahan ialah merumuskan strategi pertahanan negara, antara lain kebijakan dan analisis strategis, kerja sama internasional, dan hukum strategi pertahanan.
Analisis strategis tersebut menjadi inti kerja intelijen di Ditjen Strahan, yang menurut Ponto kini tak lagi berfungsi. Sejak reorganisasi Strahan itu pula, ujar Ponto, hubungan BAIS TNI dengan Kemhan memburuk.
"Waktu menjabat Kepala BAIS, saya tak bisa komunikasi dengan Strahan. Informasi dari kami (BAIS) pun tidak diperlakukan layaknya info intelijen. Ada info rahasia, tapi muncul ke publik. Padahal intel bersifat rahasia," ujar Ponto.
Selain itu, kata Ponto, dua kali surat Panglima TNI ke Kemhan tak digubris. Kala itu para mantan Kepala BAIS menyampaikan ke Panglima TNI keberatan dengan rencana Kemhan menarik Atase Pertahanan ke struktur mereka.
"Atase Pertahanan mau diambil Kemhan, ingin pegang operasional diplomasi pertahanan. Padahal diplomasi luar negeri mestinya hanya satu pintu, lewat Menteri Luar Negeri," ucap Ponto.
Lelaki kelahiran Sangir-Tahuna, Sulawesi Utara itu menilai, Kemhan banyak berubah dan mengalami kebekuan komunikasi dengan BAIS TNI, sejak dipimpin oleh Ryamizard.
"Dulu waktu Purnomo Yusgiantoro (Menhan) dan Sjafrie Sjamsoeddin (Wakil Menhan), Kemhan tidak terlalu (ingin pegang kendali) operasional. Baru sekarang," ujar Ponto.
Untuk menghindari tabrakan antarbadan intelijen, kata Ponto, Kemhan mestinya mengembalikan fungsi Ditjen Strahan seperti semula ketimbang mendirikan badan intelijen baru.
Secara terpisah, Mayor Jenderal Paryanto selaku Kepala Badan Instalasi Strategis Nasional (Bainstranas) –satuan kerja di Kemhan yang bakal bertransformasi menjadi Badan Intelijen Pertahanan– berkata bahwa intelijen pertahanan memang bukan untuk tujuan operasional.
"Untuk analisis strategis, kami tidak pakai tentara. Intelijen tak sama dengan operasional. Intelijen strategis bukan tentara. Sebagian memang tentara, tapi lebih banyak sipil," kata Paryanto.
Ada perbedaan antara fungsi sipil dan militer dalam intelijen. "Misal, keputusan soal perang ada di Kemhan, bukan militer. Jika perang, maka TNI yang bertugas memenangkan pertempuran. Jadi perang bukan soal militer. Militer sebagian kecil darinya," ujar Paryanto.
Itu pula, menurut Paryanto, yang membedakan Badan Intelijen Pertahanan dengan BAIS. "BAIS tidak membuat kebijakan pertahanan terkait hidup-mati suatu negara."
Apapun, ada satu hal lagi yang tak menyenangkan buat BAIS dari pendirian Badan Intelijen Pertahanan, yakni imbasnya pada pemangkasan anggaran bagi TNI.
"Operasi intelijen butuh dana besar. Belum lagi soal pendidikan intelijen, ujungnya duit lagi. Sebab selama ini TNI mendidik untuk BAIS TNI, dan BIN untuk BIN, nah anggota Badan Intelijen Negara dididik siapa?" ujar Ponto.
Kembali ke era Menhakam/Pangab
Intensi Kemhan untuk mengurus soal operasional dengan mendirikan Badan Intelijen Negara pun menggelar program bela negara, di mata Ponto seperti hendak mengembalikan kementerian itu kala pemimpinnya merangkap jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Menhankam/Pangab memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan sekaligus mengimplementasikannya selaku penyelenggara operasional. Wewenang rangkap itu berakhir sejak pemberlakuan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang memisahkan wewenang antara membuat kebijakan dan menyelenggarakan.
Dengan demikian Menhan hanya membuat kebijakan, sedangkan operasionalnya dilakukan oleh Panglima TNI.
"Hal ini juga berlaku dalam menghadapi ancaman nonmiliter. Menhan hanya membuat kebijakan, sedangkan operasionalnya oleh lembaga atau kementerian terkait sesuai bentuk ancaman," ujar Ponto.
Rincian tugas Menhan berdasarkan UU Pertahanan Negara ialah memimpin Departemen Pertahanan, membantu Presiden merumuskan kebijakan umum pertahanan negara; menetapkan kebijakan tentang penyelenggaraan pertahanan negara berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan Presiden; menyusun buku putih pertahanan serta menetapkan kebijakan kerja sama bilateral, regional, dan internasional di bidangnya.
Menhan juga merumuskan kebijakan umum penggunaan kekuatan TNI dan komponen pertahanan lainnya; menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan TNI dan komponen kekuatan pertahanan lainnya; juga bekerja sama dengan pimpinan departemen dan instansi pemerintah lainnya serta menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan.
Menanggapi ucapan Ryamizard bahwa kementerian pertahanan khususnya di negara-negara besar memiliki badan intelijen sendiri, Ponto berkata Kemhan Indonesia berbeda dengan di Amerika Serikat dan Australia.
"Kementerian Pertahanan di sana langsung membawahi angkatan bersenjata, sama seperti dulu pada era Menhankam/Pangab di Indonesia yang membawahi BAIS. Tapi di Indonesia kemudian dipisah, Menhan sendiri, Panglima TNI sendiri, dan BAIS ikut Panglima TNI sebagai penyelenggara operasi intelijen," ujar Ponto.
Penulis buku Jangan Lepas Papua: Mencermati Pelaksanaan Operasi Militer di Papua itu mencontohkan perbedaan lain antara Kemhan Indonesia dan Australia.
"Di Australia, ancaman militer merupakan ranah Kemhan, sedangkan nonmiliter ranah Kementerian Dalam Negeri. Di sini keduanya di bawah Kemhan," kata Ponto.
Bagaimanapun, Ponto nyaris yakin pemerintah tak bakal menolak permintaan Kemhan membentuk badan intelijen sendiri.
"Pemerintah tak akan bilang tidak setuju. Tapi perlu ditilik kembali aturan yang ada, didiskusikan dengan Kemhan tugas dia sesungguhnya apa," ujar Ponto.
Ia berharap tidak ada keributan yang tak perlu antara badan intelijen yang saat ini sudah ada, dengan Kemhan. Ponto sama sekali tak ingin melihat kehancuran Kemhan dan badan intelijen Indonesia akibat saling 'berperang'.(CNN)
"(Badan Intelijen Pertahanan) itu tidak perlu. Tugas Kemhan satu: membuat kebijakan pertahanan negara. Bahan (penyusunan kebijakan) didapat dan dianalisis dari data BAIS, BIN, dari mana-mana. Persoalannya, ada putus hubungan antara Kemhan dengan BAIS dan BIN," kata Ponto kepada CNNIndonesia.com, Selasa (14/6).
Ponto berujar, kala dia menjabat sebagai Atase Pertahanan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda, ia pun menyuplai informasi untuk Kemhan. Demikian pula saat ia menjadi Kepala BAIS –badan intelijen kemiliteran di bawah komando Markas Besar Tentara Nasional Indonesia.
Oleh sebab itu Ponto menganggap Badan Intelijen Pertahanan yang tengah dibentuk Kemhan sesungguhnya sama sekali tak dibutuhkan.
"Tugas Kemhan bukan operasional. Sementara operasi intelijen –yang butuh anggaran besar– cukup oleh BIN dan BAIS. Ancaman nonmiliter domain BIN, ancaman militer domain BAIS," ujar pria 60 tahun tersebut.
Badan Intelijen Pertahanan di bawah Kemhan, jika mewujud, disebut Ponto bakal menimbulkan gesekan bahkan tumbukan antarlembaga telik sandi, yakni dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan BAIS; juga memboroskan anggaran negara.
"Akan kacau. Kalau badan intelijen Kemhan menggelar operasi, pasti tabrakan dengan Undang-Undang, pasti tabrakan dengan BAIS dan BIN karena lingkupnya sama. Itu pasti," kata penulis buku TNI dan Perdamaian di Aceh: Catatan 880 Hari Pra dan Pasca-MoU Helsinki itu.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kemhan Laksdya Widodo mengatakan Badan Intelijen Pertahanan di bawah kementeriannya bertugas mengumpulkan berbagai data dan informasi secara komprehensif terkait seluruh sumber daya pertahanan dan keamanan negara, termasuk sumber daya pendukungnya seperti pangan dan energi.
Sementara mantan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kemhan Letjen (Purn) Syarifudin Tippe menyatakan Badan Intelijen Pertahanan akan memayungi segala ancaman yang berasal dari unsur militer maupun nonmiliter.
"Pertahanan itu luas, dan ada ruang kosong yang tak terjamah intelijen TNI, yaitu nonmiliter. Di situlah tugas Badan Intelijen Pertahanan," kata Tippe.
Badan Intelijen Pertahanan, ujar mantan Pangdam II/Sriwijaya itu, nantinya juga akan membantu intelijen militer.
Namun justru persinggungan atau kesamaan cakupan itulah yang dikhawatirkan menimbulkan tumpang tindih bahkan bentrok antarbadan intelijen.
"Kemhan berdasarkan UU Pertahanan Negara mestinya mengurus kebijakan negara saja, sementara urusan operasional dibagi habis kepada lembaga terkait lain, termasuk TNI. Tapi Kemhan yang sekarang juga ingin memegang operasional –membuat badan intelijen, menerapkan bela negara. Itu akan tabrakan," ujar Ponto.
Punya intelijen
Ucapan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu yang berkali-kali mengklaim Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan kementerian pertahanan tanpa badan intelijen, disebut Ponto sama sekali tak tepat.
"Kementerian Pertahanan tanpa intelijen itu tak mungkin. Bagaimana membuat kebijakan strategis tanpa informasi intelijen?" ujar Ponto menirukan ucapan Ryamizard yang dikutip berbagai media pekan lalu.
Padahal, kata Ponto, "Keliru kalau Menteri bilang Kemhan tidak punya intelijen. Ada intel di Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Kemhan. Di situ tugas intelijennya hanya menganalisa karena Menhan membuat kebijakan, bukan operasional."
Ada empat direktorat jenderal di Kemhan yang menurut Ponto turut ia bidani kelahirannya, yakni Strategi Pertahanan (strahan), Potensi Pertahanan (pothan), Perencanaan Pertahanan (renhan), dan Kekuatan Pertahanan (kuathan).
Ditjen Strahan, ujar Ponto, bertugas mengidentifikasi ancaman. Selanjutnya Ditjen Pothan melihat potensi pertahanan yang dimiliki. Dengan demikian Ditjen Renhan dapat merancang kekuatan menghadapi ancaman tersebut, dan Ditjen Kuathan merumuskan detail kebijakan untuk membina kekuatan pertahanan.
Orang-orang yang ditempatkan di Ditjen Strahan sejak awal berdirinya tahun 2002, punya latar belakang atau paling tidak memiliki kualifikasi intelijen, tak peduli sipil atau militer. Namun Kemhan kemudian melakukan reorganisasi di Ditjen Strahan pada 2012.
"Personel Strahan diganti dengan mereka yang tidak berkualifikasi intelijen. Akibatnya fungsi intelijen di Strahan tak lagi berjalan, suplai informasi ke Kemhan mulai terkendala, hingga kini muncul ide membuat Badan Intelijen Pertahanan," kata Ponto.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan tertanggal 29 Desember 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertahanan, salah satu tugas Ditjen Strahan ialah merumuskan strategi pertahanan negara, antara lain kebijakan dan analisis strategis, kerja sama internasional, dan hukum strategi pertahanan.
Analisis strategis tersebut menjadi inti kerja intelijen di Ditjen Strahan, yang menurut Ponto kini tak lagi berfungsi. Sejak reorganisasi Strahan itu pula, ujar Ponto, hubungan BAIS TNI dengan Kemhan memburuk.
"Waktu menjabat Kepala BAIS, saya tak bisa komunikasi dengan Strahan. Informasi dari kami (BAIS) pun tidak diperlakukan layaknya info intelijen. Ada info rahasia, tapi muncul ke publik. Padahal intel bersifat rahasia," ujar Ponto.
Selain itu, kata Ponto, dua kali surat Panglima TNI ke Kemhan tak digubris. Kala itu para mantan Kepala BAIS menyampaikan ke Panglima TNI keberatan dengan rencana Kemhan menarik Atase Pertahanan ke struktur mereka.
"Atase Pertahanan mau diambil Kemhan, ingin pegang operasional diplomasi pertahanan. Padahal diplomasi luar negeri mestinya hanya satu pintu, lewat Menteri Luar Negeri," ucap Ponto.
Lelaki kelahiran Sangir-Tahuna, Sulawesi Utara itu menilai, Kemhan banyak berubah dan mengalami kebekuan komunikasi dengan BAIS TNI, sejak dipimpin oleh Ryamizard.
"Dulu waktu Purnomo Yusgiantoro (Menhan) dan Sjafrie Sjamsoeddin (Wakil Menhan), Kemhan tidak terlalu (ingin pegang kendali) operasional. Baru sekarang," ujar Ponto.
Untuk menghindari tabrakan antarbadan intelijen, kata Ponto, Kemhan mestinya mengembalikan fungsi Ditjen Strahan seperti semula ketimbang mendirikan badan intelijen baru.
Secara terpisah, Mayor Jenderal Paryanto selaku Kepala Badan Instalasi Strategis Nasional (Bainstranas) –satuan kerja di Kemhan yang bakal bertransformasi menjadi Badan Intelijen Pertahanan– berkata bahwa intelijen pertahanan memang bukan untuk tujuan operasional.
"Untuk analisis strategis, kami tidak pakai tentara. Intelijen tak sama dengan operasional. Intelijen strategis bukan tentara. Sebagian memang tentara, tapi lebih banyak sipil," kata Paryanto.
Ada perbedaan antara fungsi sipil dan militer dalam intelijen. "Misal, keputusan soal perang ada di Kemhan, bukan militer. Jika perang, maka TNI yang bertugas memenangkan pertempuran. Jadi perang bukan soal militer. Militer sebagian kecil darinya," ujar Paryanto.
Itu pula, menurut Paryanto, yang membedakan Badan Intelijen Pertahanan dengan BAIS. "BAIS tidak membuat kebijakan pertahanan terkait hidup-mati suatu negara."
Apapun, ada satu hal lagi yang tak menyenangkan buat BAIS dari pendirian Badan Intelijen Pertahanan, yakni imbasnya pada pemangkasan anggaran bagi TNI.
"Operasi intelijen butuh dana besar. Belum lagi soal pendidikan intelijen, ujungnya duit lagi. Sebab selama ini TNI mendidik untuk BAIS TNI, dan BIN untuk BIN, nah anggota Badan Intelijen Negara dididik siapa?" ujar Ponto.
Kembali ke era Menhakam/Pangab
Intensi Kemhan untuk mengurus soal operasional dengan mendirikan Badan Intelijen Negara pun menggelar program bela negara, di mata Ponto seperti hendak mengembalikan kementerian itu kala pemimpinnya merangkap jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Menhankam/Pangab memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan sekaligus mengimplementasikannya selaku penyelenggara operasional. Wewenang rangkap itu berakhir sejak pemberlakuan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang memisahkan wewenang antara membuat kebijakan dan menyelenggarakan.
Dengan demikian Menhan hanya membuat kebijakan, sedangkan operasionalnya dilakukan oleh Panglima TNI.
"Hal ini juga berlaku dalam menghadapi ancaman nonmiliter. Menhan hanya membuat kebijakan, sedangkan operasionalnya oleh lembaga atau kementerian terkait sesuai bentuk ancaman," ujar Ponto.
Rincian tugas Menhan berdasarkan UU Pertahanan Negara ialah memimpin Departemen Pertahanan, membantu Presiden merumuskan kebijakan umum pertahanan negara; menetapkan kebijakan tentang penyelenggaraan pertahanan negara berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan Presiden; menyusun buku putih pertahanan serta menetapkan kebijakan kerja sama bilateral, regional, dan internasional di bidangnya.
Menhan juga merumuskan kebijakan umum penggunaan kekuatan TNI dan komponen pertahanan lainnya; menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan TNI dan komponen kekuatan pertahanan lainnya; juga bekerja sama dengan pimpinan departemen dan instansi pemerintah lainnya serta menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan.
Menanggapi ucapan Ryamizard bahwa kementerian pertahanan khususnya di negara-negara besar memiliki badan intelijen sendiri, Ponto berkata Kemhan Indonesia berbeda dengan di Amerika Serikat dan Australia.
"Kementerian Pertahanan di sana langsung membawahi angkatan bersenjata, sama seperti dulu pada era Menhankam/Pangab di Indonesia yang membawahi BAIS. Tapi di Indonesia kemudian dipisah, Menhan sendiri, Panglima TNI sendiri, dan BAIS ikut Panglima TNI sebagai penyelenggara operasi intelijen," ujar Ponto.
Penulis buku Jangan Lepas Papua: Mencermati Pelaksanaan Operasi Militer di Papua itu mencontohkan perbedaan lain antara Kemhan Indonesia dan Australia.
"Di Australia, ancaman militer merupakan ranah Kemhan, sedangkan nonmiliter ranah Kementerian Dalam Negeri. Di sini keduanya di bawah Kemhan," kata Ponto.
Bagaimanapun, Ponto nyaris yakin pemerintah tak bakal menolak permintaan Kemhan membentuk badan intelijen sendiri.
"Pemerintah tak akan bilang tidak setuju. Tapi perlu ditilik kembali aturan yang ada, didiskusikan dengan Kemhan tugas dia sesungguhnya apa," ujar Ponto.
Ia berharap tidak ada keributan yang tak perlu antara badan intelijen yang saat ini sudah ada, dengan Kemhan. Ponto sama sekali tak ingin melihat kehancuran Kemhan dan badan intelijen Indonesia akibat saling 'berperang'.(CNN)
loading...
Post a Comment