StatusAceh - Pengacara hak asasi manusia yang mengajukan gugatan dan mendampingi 11 warga desa Aceh dalam menuntut perusahaan minyak dan gas raksasa ExxonMobil selama lebih 20 tahun, memuji para warga desa atas "keberanian luar biasa untuk mempertaruhkan nyawa dalam mengungkap kisah mereka."
ExxonMobil sepakat memberikan ganti rugi kepada 11 penggugat yang telah siap diberangkatkan untuk memberikan kesaksian di Pengadilan Distrik Columbia, Washington DC, pada awal Juni ini. Jumlah ganti rugi tidak disebutkan demi keselamatan mereka.
Agnieszka Fryszman, kuasa hukum warga desa itu, masih ingat betul saat pertama kali ia mendengar cerita kekerasan yang dialami penduduk desa ini.
Cerita ini "membuat kami semua marah. Mereka diperlakukan dengan sangat buruk. Sangat tidak adil. Saya tidak tahu apakah ada orang yang mendengar cerita-cerita seperti itu dan tidak merasa sangat marah atas apa yang menimpa mereka," kata Agnieszka.
Di antara cerita kekerasan yang menimpa warga desa itu, ada satu yang terus melekat dalam benaknya: kisah seorang ibu yang menyaksikan anaknya ditembak.
Ketika itu, Agnieszka baru memiliki putra pertamanya.
"Saya baru punya anak pertama ketika kasus ini kami mulai. Sekarang anak saya sudah lulus perguruan tinggi… Saat itu, ketika mendengar cerita seorang ibu yang anaknya disakiti…sangat menyedihkan," cerita pakar HAM di Firma Hukum Cohen Milstein yang berkantor di Washington DC.
"Cerita ini benar-benar melekat pada saya," tambahnya, membayangkan apa yang dirasakan sang ibu.
Ia pertama kali mendengar kasus-kasus kekerasan itu dari pengacara HAM lain, Terry Collingsworth, yang mengajukan gugatan pada Juni 2001. Terry bertemu langsung dengan warga desa tersebut di Aceh.
Saat itu konflik Aceh - antara Gerakan Aceh Merdeka, GAM dan tentara Indonesia - tengah memanas.
ExxonMobil mengontrak sekitar 1.000 tentara untuk mengamankan operasional mereka di seputar Arun, ladang gas yang pernah disebut sebagai "permata dalam mahkota perusahaan."
Berdasarkan dokumen pengadilan, pada Februari 2001, dari sekitar 5.000 tentara yang dikerahkan ke Aceh, 1.000 di antaranya dipekerjakan untuk ExxonMobil.
Menanggapi penyelesaian kasus ini, juru bicara ExxonMobil, Todd Spitler, dalam pernyataan tertulis kepada BBC menyatakan perusahaan itu "mengutuk pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk apapun, termasuk tindakan yang dituduhkan dalam kasus ini terhadap militer Indonesia."
Spitler juga menyatakan "tidak ada tuduhan bahwa karyawan kami secara langsung menyakiti salah satu dari para penggugat dan bahwa penyelesaian ini merupakan penutup bagi semua pihak."
Kasus kekerasan di Aceh ini bukan dugaan pelanggaran HAM pertama yang ditangani Agnieszka maupun Terry.
Terry banyak menangani kasus-kasus menyangkut pelanggaran hak buruh, terutama yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar, termasuk buruh anak.
Sementara Agnieszka banyak terlibat dalam kasus-kasus besar lain termasuk tersangka teror yang dijebloskan ke Guantanamo, kasus-kasus berat perdagangan manusia, serta kasus pekerja paksa, secara pro bono. Ia mengatakan sempat pula membantu kasus pelaut Indonesia yang mengalami masalah di AS.
Ibu yang diceritakan Agnieszka dalam kasus di Aceh, mirip dengan cerita yang tertulis dalam dokumen pengadilan, sebagai Jane Doe VI.
Pengalaman ibu itu terjadi pada seputar bulan Juli tahun 2000.
Ketika itu, ibu tersebut tengah berjalan dengan tiga anaknya bersama ribuan penduduk lain menuju Poin A, salah satu lokasi dalam kompleks Arun, tempat operasional ExxonMobil di Aceh Utara.
Dokumen internal dan email ExxonMobil menyebutkan bahwa ketika ribuan penduduk desa mencari perlindungan di Poin A, tentara melepaskan tembakan peringatan untuk membubarkan penduduk.
Jane Doe VI dan tiga anaknya tengah berjalan, ketika sejumlah tentara keluar, menembak dan memukul putranya, John Doe III.
Baca Selanjutnya di Sumber
loading...
Post a Comment