Raja Ampat. ©2016 merdeka.com/juven |
StatusAceh.Net - Hamparan pasir putih di pantai dikelilingi lautan berwarna biru jernih dan pulau-pulau kecil yang serupa jamur hijau muncul dari dalam laut menjadi ciri khas kawasan wisata Raja Ampat di Papua.
Raja Ampat saat ini kian dikenal dunia sebagai daerah tujuan wisata favorit. Namun di balik itu semua, masih ada masalah yang menghantui: warga lokal merasa masih dibekap kemiskinan.
"Sungguh menakjubkan. Kami sudah mengunjungi jutaan pulau di dunia dan menurut saya ini (Raja Ampat) adalah salah satu yang terbaik," ujar turis Kanada bernama Angelika Redweik-Leung saat memandangi kepulauan Pianemo di Raja Ampat, seperti dilansir laman Channel News Asia, Jumat (22/9).
Pemerintah tampak cukup serius menggarap kawasan wisata di Raja Ampat dengan menggenjot pembangunan hotel, restoran, dan pelabuhan-pelabuhan baru di sekitar kawasan yang terbentang seluas 67 kilometer persegi dengan 1.500 pulau dan 1.400 jenis ikan serta 600 koral itu.
Namun hanya berjarak sekitar dua jam dari Raja Ampat, tepatnya di Waisai, penduduk di sana masih tinggal di gubuk-gubuk minim listrik dan air bersih. Tak hanya itu, SMA terdekat di sekitar Waisai jaraknya lumayan jauh.
Warga di Waisai mengungkapkan kepada kantor berita AFP, mereka tidak melihat ada perbaikan dalam kehidupan meski jumlah wisatawan terus meningkat. Menurut pemerintah, diperkirakan ada sekitar 15 ribu turis yang datang ke Raja Ampat saban tahun belakangan ini. Pada 2010 wisatawan ke Raja Ampat hanya kurang dari 5000 orang saja.
"Mereka melukai hati warga pribumi. Mereka mengambil tanah, air, dan hutan kami. Kami merasa dikhianati," kata Paul Mayor, kepala suku Byak Betew di Raja Ampat.
"Itu tanah kami, laut kami, yang sekarang jadi tujuan wisata kelas dunia, tapi kami tidak mendapat apa-apa dari banyaknya turis yang datang," kata dia.
Paul juga kemudian menyoroti gagalnya pemerintah melindungi ekosistem di Raja Ampat ketika terjadi peristiwa kapal pesiar asing menabrak terumbu karang di sana pada Maret lalu.
Pemerintahan Joko Widodo kini berusaha menggenjot pembangunan di Papua, namun banyak warga lokal merasa mereka belum merasakan dampaknya.
"Selama ini belum ada perubahan," kata Ariel Fakdawer, kepala desa Saukabu di Raja Ampat kepada AFP.
"Festival tahunan di Raja Ampat misalnya, menarik ribuan turis tapi kami tidak dapat apa-apa. Kami masih miskin saja, sedangkan panitia festival dan orang luar dapat untung," ungkapnya. | Merdeka.com
Raja Ampat saat ini kian dikenal dunia sebagai daerah tujuan wisata favorit. Namun di balik itu semua, masih ada masalah yang menghantui: warga lokal merasa masih dibekap kemiskinan.
"Sungguh menakjubkan. Kami sudah mengunjungi jutaan pulau di dunia dan menurut saya ini (Raja Ampat) adalah salah satu yang terbaik," ujar turis Kanada bernama Angelika Redweik-Leung saat memandangi kepulauan Pianemo di Raja Ampat, seperti dilansir laman Channel News Asia, Jumat (22/9).
Pemerintah tampak cukup serius menggarap kawasan wisata di Raja Ampat dengan menggenjot pembangunan hotel, restoran, dan pelabuhan-pelabuhan baru di sekitar kawasan yang terbentang seluas 67 kilometer persegi dengan 1.500 pulau dan 1.400 jenis ikan serta 600 koral itu.
Namun hanya berjarak sekitar dua jam dari Raja Ampat, tepatnya di Waisai, penduduk di sana masih tinggal di gubuk-gubuk minim listrik dan air bersih. Tak hanya itu, SMA terdekat di sekitar Waisai jaraknya lumayan jauh.
Warga di Waisai mengungkapkan kepada kantor berita AFP, mereka tidak melihat ada perbaikan dalam kehidupan meski jumlah wisatawan terus meningkat. Menurut pemerintah, diperkirakan ada sekitar 15 ribu turis yang datang ke Raja Ampat saban tahun belakangan ini. Pada 2010 wisatawan ke Raja Ampat hanya kurang dari 5000 orang saja.
"Mereka melukai hati warga pribumi. Mereka mengambil tanah, air, dan hutan kami. Kami merasa dikhianati," kata Paul Mayor, kepala suku Byak Betew di Raja Ampat.
"Itu tanah kami, laut kami, yang sekarang jadi tujuan wisata kelas dunia, tapi kami tidak mendapat apa-apa dari banyaknya turis yang datang," kata dia.
Paul juga kemudian menyoroti gagalnya pemerintah melindungi ekosistem di Raja Ampat ketika terjadi peristiwa kapal pesiar asing menabrak terumbu karang di sana pada Maret lalu.
Pemerintahan Joko Widodo kini berusaha menggenjot pembangunan di Papua, namun banyak warga lokal merasa mereka belum merasakan dampaknya.
"Selama ini belum ada perubahan," kata Ariel Fakdawer, kepala desa Saukabu di Raja Ampat kepada AFP.
"Festival tahunan di Raja Ampat misalnya, menarik ribuan turis tapi kami tidak dapat apa-apa. Kami masih miskin saja, sedangkan panitia festival dan orang luar dapat untung," ungkapnya. | Merdeka.com
loading...
Post a Comment