![]() |
Lonceng Cakra Donya (Aceh Guide |
StatusAceh.Net - Tak hanya meninggalkan simbol masjid sebagai penyiar agama Islam di Tanah Air, Laksamana Cheng Ho juga meninggalkan kenangan penting di Aceh. Kenangan Cheng Ho itu berupa lonceng Cakra Donya.
Lonceng ini sangat terkenal di daerah Aceh. Sejarah mencatat bahwa lonceng cakra donya merupakan pemberian dari Laksamana Cheng Ho, seorang pemimpin armada laut Tiongkok yang diutus oleh Kaisar Tiongkok kepada Kesultanan Samudera Pasai pada tahun 1405.
Pemberian lonceng ini dalam rangka mengikat hubungan persahabatan dan kerjasama antara dua kerajaan di negara yang berbeda. Lonceng ini berukuran 11/2 m dan lebar 1 m. Pada sekitar tahun 1524 M Kesultanan Pasai ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh Darussalam dan lonceng tersebut akhirnya diangkut ke Banda Aceh.
Nama Cakradonya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakradonya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Pada bagian atas lonceng ini terdapat tulisan aksara Tionghoa dan Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia.
Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini diletakkan di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan. Namun kini Lonceng Cakra donya telah dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam sebuah kubah di halaman museum tersebut sejak tahun 1915. Hingga kini Lonceng raksasa ini menjadi simbol atau ikon khusus Kota Aceh.
Nama Cakra donya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakra donya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang di masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Pada bagian atas lonceng ini juga terdapat tulisan aksara Tionghoa-Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia.
Keramat
Menurut G.L. Tichelman dalam buku Cakra Donya, De Indische Gids I (1939), lonceng ini dahulu pernah dianggap sebagai barang atau benda keramat oleh sebagian orang Aceh. Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini digantung di sebuah pohon di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan.
Lonceng Cakra Donya hingga akhir tahun 1915 masih digantung di pohon ba'gloendong (pohon kuda-kuda) yang letaknya di sebelah timur masjid yang disebutkan di atas. Asal usul lonceng ini tidak diketahui oleh siapa pun. Anak gentanya telah hilang dan sejak tahun 1915 tidak ada lagi seorang pun yang pernah mendengar suaranya.
Pada tanggal 2 Desember 1915, pada masa Gubernur H.N.A Swart menguasai istana kerajaan memberi perintah untuk menurunkan lonceng dari pohon ba'gloendong karena khawatir pohon tersebut patah dan lonceng akan rusak, maka lonceng itu diletakkan di tanah. Lonceng itu diturunkan oleh orang-orang Tiongkok, karena orang menganggap lonceng tersebut berhantu.
Menurut cerita, orang Tiongkok yang menurunkan lonceng tersebut sebelumnya meminum arak terlebih dahulu sampai mabuk, baru kemudian berani menurunkan lonceng itu. Setelah penurunan lonceng itu, Banda Aceh dilanda banjir besar.
Selanjutnya pada tanggal 13 Desember 1915 datanglah seorang utusan menghadap Gubernur H.N.A Swart memberitahukan bahwa banjir tersebut disebabkan peletakkan lonceng yang tidak pada tempatnya. Atas perintah Gubernur Swart lonceng tersebut kemudian digantungkan di bawah museum Aceh dan banjir pun reda saat itu.
Akan tetapi, tahun berikutnya banjir datang lagi. Maka sekali lagi utusan tersebut datang dan mengatakan bahwa peletakannya masih kurang tepat. Seharusnya lonceng tersebut diletakkan terpisah dan tertutup.
Swart pun menyetujui dan membuat bangunan khusus untuk menggantungkan lonceng tersebut. Pada tahun 1939 lonceng sultan yang telah tua ini digantungkan dengan sebuah rantai di dalam sebuah kubah dari kayu di depan Museum Aceh.
Pada lonceng ini terdapat hiasan-hiasan dengan simbol-simbol (ukiran-ukiran) dalam bentuk huruf Arab dan huruf Tiongkok. Simbol-simbol tersebut telah aus dan inskripsi dalam huruf Arab tidak dapat dibaca lagi. Diduga bahwa tuangan-tuangan lonceng itu dahulu diberi lapisan-lapisan emas.
Tanda-tanda yang bermacam-macam itu telah dipahat ke dalam besinya dan emasnya telah dimasukkan pada aluran-alurannya. Namun sekarang emasnya telah hilang dari bentuk-bentuk hurufnya dan mungkin sekali sudah diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. (netralnews.com)
Lonceng ini sangat terkenal di daerah Aceh. Sejarah mencatat bahwa lonceng cakra donya merupakan pemberian dari Laksamana Cheng Ho, seorang pemimpin armada laut Tiongkok yang diutus oleh Kaisar Tiongkok kepada Kesultanan Samudera Pasai pada tahun 1405.
Pemberian lonceng ini dalam rangka mengikat hubungan persahabatan dan kerjasama antara dua kerajaan di negara yang berbeda. Lonceng ini berukuran 11/2 m dan lebar 1 m. Pada sekitar tahun 1524 M Kesultanan Pasai ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh Darussalam dan lonceng tersebut akhirnya diangkut ke Banda Aceh.
Nama Cakradonya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakradonya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Pada bagian atas lonceng ini terdapat tulisan aksara Tionghoa dan Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia.
Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini diletakkan di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan. Namun kini Lonceng Cakra donya telah dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam sebuah kubah di halaman museum tersebut sejak tahun 1915. Hingga kini Lonceng raksasa ini menjadi simbol atau ikon khusus Kota Aceh.
Nama Cakra donya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakra donya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang di masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
Pada bagian atas lonceng ini juga terdapat tulisan aksara Tionghoa-Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia.
Keramat
Menurut G.L. Tichelman dalam buku Cakra Donya, De Indische Gids I (1939), lonceng ini dahulu pernah dianggap sebagai barang atau benda keramat oleh sebagian orang Aceh. Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini digantung di sebuah pohon di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan.
Lonceng Cakra Donya hingga akhir tahun 1915 masih digantung di pohon ba'gloendong (pohon kuda-kuda) yang letaknya di sebelah timur masjid yang disebutkan di atas. Asal usul lonceng ini tidak diketahui oleh siapa pun. Anak gentanya telah hilang dan sejak tahun 1915 tidak ada lagi seorang pun yang pernah mendengar suaranya.
Pada tanggal 2 Desember 1915, pada masa Gubernur H.N.A Swart menguasai istana kerajaan memberi perintah untuk menurunkan lonceng dari pohon ba'gloendong karena khawatir pohon tersebut patah dan lonceng akan rusak, maka lonceng itu diletakkan di tanah. Lonceng itu diturunkan oleh orang-orang Tiongkok, karena orang menganggap lonceng tersebut berhantu.
Menurut cerita, orang Tiongkok yang menurunkan lonceng tersebut sebelumnya meminum arak terlebih dahulu sampai mabuk, baru kemudian berani menurunkan lonceng itu. Setelah penurunan lonceng itu, Banda Aceh dilanda banjir besar.
Selanjutnya pada tanggal 13 Desember 1915 datanglah seorang utusan menghadap Gubernur H.N.A Swart memberitahukan bahwa banjir tersebut disebabkan peletakkan lonceng yang tidak pada tempatnya. Atas perintah Gubernur Swart lonceng tersebut kemudian digantungkan di bawah museum Aceh dan banjir pun reda saat itu.
Akan tetapi, tahun berikutnya banjir datang lagi. Maka sekali lagi utusan tersebut datang dan mengatakan bahwa peletakannya masih kurang tepat. Seharusnya lonceng tersebut diletakkan terpisah dan tertutup.
Swart pun menyetujui dan membuat bangunan khusus untuk menggantungkan lonceng tersebut. Pada tahun 1939 lonceng sultan yang telah tua ini digantungkan dengan sebuah rantai di dalam sebuah kubah dari kayu di depan Museum Aceh.
Pada lonceng ini terdapat hiasan-hiasan dengan simbol-simbol (ukiran-ukiran) dalam bentuk huruf Arab dan huruf Tiongkok. Simbol-simbol tersebut telah aus dan inskripsi dalam huruf Arab tidak dapat dibaca lagi. Diduga bahwa tuangan-tuangan lonceng itu dahulu diberi lapisan-lapisan emas.
Tanda-tanda yang bermacam-macam itu telah dipahat ke dalam besinya dan emasnya telah dimasukkan pada aluran-alurannya. Namun sekarang emasnya telah hilang dari bentuk-bentuk hurufnya dan mungkin sekali sudah diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. (netralnews.com)
loading...
Post a Comment