Rumah Pahlawan Nasional Cut Nyak Meutia di Desa Masjid Pirak, Kecamatan Matang Kuli, Kabupaten Aceh Utara, Aceh. (Zulkarnaini Muchtar/Aceh) |
StatusAceh.Net - Nama Cut Meutia tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Dia salah satu pahlawan perempuan nasional asal Aceh. Selama 20 tahun, ia memimpin perjuangan melawan penjajahan Belanda di wilayahnya.
Di kala perang melawan Belanda, putri Teuku Ben Daud itu memanfaatkan rumahnya layaknya kantor untuk mengelar rapat dan mengatur strategi.
Cut Nyak Meutia, yang lebih dikenal Cut Meutia itu gugur pada 24 Oktober 1910, setelah bertempur dengan pasukan Belanda yang dipimpin Marechausée di Alue Kurieng, Aceh Utara.
Kini, replika rumah Cut Meutia yang dibangun Pemerintah yang berbentuk rumah adat Aceh menjadi satu objek wisata sejarah di Aceh Utara. Akhir pekan, warga senang berkunjung untuk menikmati suasana yang sejuk.
Awalnya, rumah itu diisi benda-benda peninggalan Cut Meutia. Namun, ketika konflik Aceh terjadi, pemerintah berinisiatif memindahkan barang-barang ke museum sejarah di Banda Aceh, agar benda-benda itu terawat dengan baik.
Rumah adat Cut Meutia yang berbentuk rumah Aceh itu memiliki dua kamar yang diapit dua seuramoe (serambi), yaitu seuramoe depan dan belakang. Di dalamnya juga ada beberapa foto Cut Meutia, beberapa foto pemimpin pasukan perang Belanda, empat rapa’i di seuramoe belakang, serta beberapa bingkai tulisan mengenai sejarah Cut Meutia dan silsilah keluarganya.
Kompleks rumah itu juga terdapat Monumen Cut Meutia, dua buah kroeng pade (tempat menyimpan padi), jeungkie (alat penumbuk beras untuk membuat tepung) khas Aceh, serta balai tempat peristirahatan.
Di depannya ada tugu dengan tinggi sekitar 30 centimeter bertulis riwayat singkat tanggal lahir dan wafat sang pahlawan. Yang membuat suasana sejuk, ada sejumlah jenis tumbuhan.
Maryani (53 tahun) bersama anaknya, Muslem (31 tahun), merawat rumah itu sejak 12 tahun lalu. Menurut Maryani, setiap hari selalu ada pengunjung, bila hari libur ini menjadi salah satu tempat favorit untuk berlibur.
Pengunjung yang datang beragam, mulai dari siswa, mahasiswa hingga warga yang membawa keluarga.
Suasana alam dengan banyak pohon yang rindang di sekililing rumah adat Aceh itu memukau para pasangan yang baru menikah untuk memilih lokasi ini sebagai latar belakang foto pranikah.
“Apa saja di sekeliling ini menjadi background foto, karena ada kroeng pade dan jeungki yang menggambarkan salah satu ciri khas Aceh,” katanya.
Sebuah balai yang terletak di kiri rumah, sering digunakan sebagai tempat diskusi dan bedah sejarah oleh mahasiswa. Pengunjung juga sering memanfaatkan balai itu tempat santai sambil menyantap makan bersama keluarga.
Salah seorang pengunjung yang ditemui, Mutia, mengatakan bahwa ia datang bersama keluarga sambil berlibur juga ingin tahu sejarah tentang salah satu pahlawan nasional perempuan.
“Selain lokasi di sini sejuk dan nyaman, di sini kita juga bisa tahu sejarah,” kata Mutia.
Lokasi objek wisata sejarah ini tidak sulit ditemui, di Desa Masjid Pirak, Kecamatan Matang Kuli, Kabupaten Aceh Utara. Sekira 15 kilometer dari jalan lintas Medan-Banda Aceh. (Viva)
Di kala perang melawan Belanda, putri Teuku Ben Daud itu memanfaatkan rumahnya layaknya kantor untuk mengelar rapat dan mengatur strategi.
Cut Nyak Meutia, yang lebih dikenal Cut Meutia itu gugur pada 24 Oktober 1910, setelah bertempur dengan pasukan Belanda yang dipimpin Marechausée di Alue Kurieng, Aceh Utara.
Kini, replika rumah Cut Meutia yang dibangun Pemerintah yang berbentuk rumah adat Aceh menjadi satu objek wisata sejarah di Aceh Utara. Akhir pekan, warga senang berkunjung untuk menikmati suasana yang sejuk.
Awalnya, rumah itu diisi benda-benda peninggalan Cut Meutia. Namun, ketika konflik Aceh terjadi, pemerintah berinisiatif memindahkan barang-barang ke museum sejarah di Banda Aceh, agar benda-benda itu terawat dengan baik.
Rumah adat Cut Meutia yang berbentuk rumah Aceh itu memiliki dua kamar yang diapit dua seuramoe (serambi), yaitu seuramoe depan dan belakang. Di dalamnya juga ada beberapa foto Cut Meutia, beberapa foto pemimpin pasukan perang Belanda, empat rapa’i di seuramoe belakang, serta beberapa bingkai tulisan mengenai sejarah Cut Meutia dan silsilah keluarganya.
Kompleks rumah itu juga terdapat Monumen Cut Meutia, dua buah kroeng pade (tempat menyimpan padi), jeungkie (alat penumbuk beras untuk membuat tepung) khas Aceh, serta balai tempat peristirahatan.
Di depannya ada tugu dengan tinggi sekitar 30 centimeter bertulis riwayat singkat tanggal lahir dan wafat sang pahlawan. Yang membuat suasana sejuk, ada sejumlah jenis tumbuhan.
Maryani (53 tahun) bersama anaknya, Muslem (31 tahun), merawat rumah itu sejak 12 tahun lalu. Menurut Maryani, setiap hari selalu ada pengunjung, bila hari libur ini menjadi salah satu tempat favorit untuk berlibur.
Pengunjung yang datang beragam, mulai dari siswa, mahasiswa hingga warga yang membawa keluarga.
Suasana alam dengan banyak pohon yang rindang di sekililing rumah adat Aceh itu memukau para pasangan yang baru menikah untuk memilih lokasi ini sebagai latar belakang foto pranikah.
“Apa saja di sekeliling ini menjadi background foto, karena ada kroeng pade dan jeungki yang menggambarkan salah satu ciri khas Aceh,” katanya.
Sebuah balai yang terletak di kiri rumah, sering digunakan sebagai tempat diskusi dan bedah sejarah oleh mahasiswa. Pengunjung juga sering memanfaatkan balai itu tempat santai sambil menyantap makan bersama keluarga.
Salah seorang pengunjung yang ditemui, Mutia, mengatakan bahwa ia datang bersama keluarga sambil berlibur juga ingin tahu sejarah tentang salah satu pahlawan nasional perempuan.
“Selain lokasi di sini sejuk dan nyaman, di sini kita juga bisa tahu sejarah,” kata Mutia.
Lokasi objek wisata sejarah ini tidak sulit ditemui, di Desa Masjid Pirak, Kecamatan Matang Kuli, Kabupaten Aceh Utara. Sekira 15 kilometer dari jalan lintas Medan-Banda Aceh. (Viva)
loading...
Post a Comment