Banda Aceh - Pemerintah Aceh diminta mengevaluasi izin pekerbunan Kelapa Sawit di Aceh, pasalnya kehadiran perusahaan Kelapa Sawit telah mengganggu habitat gajah hingga timbulnya konflik satwa-manusia di Bireuen, Bener Meriah, Aceh Timu dan Aceh Selatan.
“Karena habitat gajah terganggu, maka konflik satwa-manusia sering terjadi, salah satu masalah karena izin perusahaan Kelapa Sawit yang dikeluarkan pemerintah tanpa mempertimbangkan koridor satwa,” kata anggota WWF Aceh, Chik Rini yang dikutip joss.today di Desa Alu Limeng, Kecamatan Jeumpa, Bireuen, Aceh pada simulasi mitigasi bencana konflik Satwa-Manusia, Rabu (2/12/12015) kemarin.
Menurut dia, pihaknya telah melatih sebanyak seratus petani, enam puluh Polisi Hutan, kelompok masyarakat dari enam Desa di Kabupaten Bireuen, dan Aceh Timur. “Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan untuk penanggulangan bencana konflik satwa-manusia, karena intensitas konflik satwan-manusia semakin tinggi di Aceh,” tegas dia.
Lanjut dia, timbulnya korban jiwa dari pihak manusia dan gajah karena konflik satwa-manusia yang tidak tertangani dengan baik, karena itu pihaknya bersama Forum DAS Krueng Peusanga (FDKP) dan Aceh Green Comunity (AGC) Bireuen hadir memberikan pelatihan dan pendidikan tentang cara pengusiran gajah secara efektif, mudah, dan efesien.
“Setelah kita berikan materi selama satu hari, hari ini kita langsung mempraktekkan cara penggiringan gajah yang aman bagi manusian dan gajah dengan menggunakan meriam karbit yang kita desain bagi warga,” tambah dia.
Menurut dia, pemerintah hari ini harus fokus menata kembali koridor satwa sebagai solusi jangka panjang penanggulangan konflik satwa-manusia di Aceh. kata dia, sebelumnya pihaknya telah melatih kelompok masyarakat di Pintu Rime Gayo, Bener Meriah untuk penanganan konflik satwa-manusia, program tersebut berhasil karena kekompakan masyarakat setempat mengusir gajah dengan cara yang diajarkan WWF Aceh.
“Konflik satwa-manusian terjadi karena kebijakan pemerintah puluhan tahun silam yang salah, dimana memberikan izin perkebunan bagi perusahaan tanpa melihat koridor satwa, gajah dan manusia sama-sama membutuhkan tempat dan ruang, karena itu pemerintah harus berkaca dari kesalahan masa lalu,” tegas dia.
Sementara Ketua Forum DAS Krueng Peusangan (FDKP) Suhaimi Hamid menambahkan, simulasi mitigasi bencana konflik satwa-manusia agar bermafaat bagi masyarakat yang tinggal dikawasan rawan konflik satwa-manusia.
“Kegiatan semacam ini seharusnya dilakukan pemerintah, namun anehnya pemerintah Kabupaten Bireuen, jangankan membuat program, menghadiri acara yang dilaksanakan teman-teman CSO sendiri tidak mau, sebenarnya dinas kehutanan peka tidak terhadap konflik satwa-manusia di Sarah Sirong, Pulo Harapan, Alue Limeng dan kawasan lainnya, atau mereka bangga karena konflik satwa-manusia ditangani CSO akibat ulah mereka yang merekomendasikan izin perkebunan hingga merusak koridor satwa,” kata Suhaimi mempertanyakan.(Rill)
“Karena habitat gajah terganggu, maka konflik satwa-manusia sering terjadi, salah satu masalah karena izin perusahaan Kelapa Sawit yang dikeluarkan pemerintah tanpa mempertimbangkan koridor satwa,” kata anggota WWF Aceh, Chik Rini yang dikutip joss.today di Desa Alu Limeng, Kecamatan Jeumpa, Bireuen, Aceh pada simulasi mitigasi bencana konflik Satwa-Manusia, Rabu (2/12/12015) kemarin.
Menurut dia, pihaknya telah melatih sebanyak seratus petani, enam puluh Polisi Hutan, kelompok masyarakat dari enam Desa di Kabupaten Bireuen, dan Aceh Timur. “Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan untuk penanggulangan bencana konflik satwa-manusia, karena intensitas konflik satwan-manusia semakin tinggi di Aceh,” tegas dia.
Lanjut dia, timbulnya korban jiwa dari pihak manusia dan gajah karena konflik satwa-manusia yang tidak tertangani dengan baik, karena itu pihaknya bersama Forum DAS Krueng Peusanga (FDKP) dan Aceh Green Comunity (AGC) Bireuen hadir memberikan pelatihan dan pendidikan tentang cara pengusiran gajah secara efektif, mudah, dan efesien.
“Setelah kita berikan materi selama satu hari, hari ini kita langsung mempraktekkan cara penggiringan gajah yang aman bagi manusian dan gajah dengan menggunakan meriam karbit yang kita desain bagi warga,” tambah dia.
Menurut dia, pemerintah hari ini harus fokus menata kembali koridor satwa sebagai solusi jangka panjang penanggulangan konflik satwa-manusia di Aceh. kata dia, sebelumnya pihaknya telah melatih kelompok masyarakat di Pintu Rime Gayo, Bener Meriah untuk penanganan konflik satwa-manusia, program tersebut berhasil karena kekompakan masyarakat setempat mengusir gajah dengan cara yang diajarkan WWF Aceh.
“Konflik satwa-manusian terjadi karena kebijakan pemerintah puluhan tahun silam yang salah, dimana memberikan izin perkebunan bagi perusahaan tanpa melihat koridor satwa, gajah dan manusia sama-sama membutuhkan tempat dan ruang, karena itu pemerintah harus berkaca dari kesalahan masa lalu,” tegas dia.
Sementara Ketua Forum DAS Krueng Peusangan (FDKP) Suhaimi Hamid menambahkan, simulasi mitigasi bencana konflik satwa-manusia agar bermafaat bagi masyarakat yang tinggal dikawasan rawan konflik satwa-manusia.
“Kegiatan semacam ini seharusnya dilakukan pemerintah, namun anehnya pemerintah Kabupaten Bireuen, jangankan membuat program, menghadiri acara yang dilaksanakan teman-teman CSO sendiri tidak mau, sebenarnya dinas kehutanan peka tidak terhadap konflik satwa-manusia di Sarah Sirong, Pulo Harapan, Alue Limeng dan kawasan lainnya, atau mereka bangga karena konflik satwa-manusia ditangani CSO akibat ulah mereka yang merekomendasikan izin perkebunan hingga merusak koridor satwa,” kata Suhaimi mempertanyakan.(Rill)
loading...
Post a Comment