Stockholm - Berlarut-larutnya persoalan bendera dan lambang Aceh, membuat Koordinator GAM, Bakhtiar Abdullah angkat bicara. Dalam siaran persnya yang dikirimkan kepada The Globe Journal, Kamis (3/12/2015) dia menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh sibuk pada urusan yang tidak penting.
GAM sejauh ini bisa tetap bertahan merupakan bentuk dukungan nyata dari rakyat Aceh. Baik moral maupun material. Untuk itu tidak ada alasan bagi GAM untuk tidak memperjuangkan semua butir-butir MoU Helsinki. Dalam hal kerja-kerja demikian, dibutuhkan langkah bijak dan strategis.
Dia menyayangkan bahwa persoalan bendera Aceh tidak kunjung selesai. Padahal persoalan itu bisa selesai bilasaja eksponen GAM yang sudah masuk dalam jajaran Pemerintah Indonesia mau mengubah cara kerja dengan bentuk yang demokratis. Bila saja itu dilakuakn dari dulu, maka persoalan bendera dari dulu sudah tuntas.
“Masalah bendera dan lambang dalam konteks damai, yang sampai hari ini masih tidak selesai selesai juga. Kalau kita mau merubah semua cara kerja kita dengan mekanisme demokratis yaitu dengan menerima masukan dan aspirasi dari rakyat Aceh, maka hal itu telah lama bisa kita tuntaskan,” katanya.
Akibat dari berlarut-larut pada hal yang tidak penting tersebut, Pemerintah Aceh dan DPRA malah abai pada persoalan yang lebih penting seperti KKR, penuntasan pelanggaran HAM, kesejahteraan rakyat, penyantunan anak yatim dan korban konflik dan lainnya.
“Akibat dari berlarut larutnya persoalan yang tak penting itu, tambahnya, maka hal-hal lain yang lebih penting seperti kesejahteraan rakyat, KKR, HAM dan yang lain-lain terabaikan begitu saja, malah lepas dari fokus. Belum lagi dalam hal menyantuni anak yatim, korban konflik dan kaum dhu’afa yang masih jauh dari apa seharusnya kita buat. Kalau masalah yang utama ini tidak kita laksanakan sesegera mungkin, maka jangan harap Aceh bisa bangkit untuk maju walau Aceh mempunyai kekayaan yang berlimpah-ruah,” terangnya.
GAM Harus Bersatu
Dalam kesempatan tersebut, mantan juru runding dari pihak GAM itu juga mengatakan, Aceh tidak akan pernah bisa diperbaiki, bila secara internal masih bercerai-berai. GAM harus kembali solid seperti sediakala, agar bisa menjadi perisai bagi bangsa Aceh untuk memperjuangkan butir-butir MoU Helsinki.
“Perjuangan ini tidak akan pernah berhasil kalau dikalangan kita sendiri masih cerai berai dan bermusuh-musuhan sesama kita lebih dari musuh nenek moyang kita dulu. Karena itu GAM WAJIB utuh dan solid sebagai sebuah organisasi politik yang masih exis dan harus bisa menjadi perisai bangsa Aceh untuk memperjuangkan kelanjutan semua butir-butir MoU Helsinki sehingga selesai,” kata Bakhtiar.
Bakhtiar mengatakan, peluang yang sudah digenggam kali ini tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Untuk itu pihak GAM jangan lupa daratan. Niat baik harus ditanamkan dalam hati.
GAM harus mengubah pola pikirnya. Semua pihak harus didekati baik elemen sipil, mahasiswa, tokoh masyarakat maupun ulama. Nasehat dan wejangan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan oleh GAM dalam rangka membangun Aceh di masa damai. [TGJ]
GAM sejauh ini bisa tetap bertahan merupakan bentuk dukungan nyata dari rakyat Aceh. Baik moral maupun material. Untuk itu tidak ada alasan bagi GAM untuk tidak memperjuangkan semua butir-butir MoU Helsinki. Dalam hal kerja-kerja demikian, dibutuhkan langkah bijak dan strategis.
Dia menyayangkan bahwa persoalan bendera Aceh tidak kunjung selesai. Padahal persoalan itu bisa selesai bilasaja eksponen GAM yang sudah masuk dalam jajaran Pemerintah Indonesia mau mengubah cara kerja dengan bentuk yang demokratis. Bila saja itu dilakuakn dari dulu, maka persoalan bendera dari dulu sudah tuntas.
“Masalah bendera dan lambang dalam konteks damai, yang sampai hari ini masih tidak selesai selesai juga. Kalau kita mau merubah semua cara kerja kita dengan mekanisme demokratis yaitu dengan menerima masukan dan aspirasi dari rakyat Aceh, maka hal itu telah lama bisa kita tuntaskan,” katanya.
Akibat dari berlarut-larut pada hal yang tidak penting tersebut, Pemerintah Aceh dan DPRA malah abai pada persoalan yang lebih penting seperti KKR, penuntasan pelanggaran HAM, kesejahteraan rakyat, penyantunan anak yatim dan korban konflik dan lainnya.
“Akibat dari berlarut larutnya persoalan yang tak penting itu, tambahnya, maka hal-hal lain yang lebih penting seperti kesejahteraan rakyat, KKR, HAM dan yang lain-lain terabaikan begitu saja, malah lepas dari fokus. Belum lagi dalam hal menyantuni anak yatim, korban konflik dan kaum dhu’afa yang masih jauh dari apa seharusnya kita buat. Kalau masalah yang utama ini tidak kita laksanakan sesegera mungkin, maka jangan harap Aceh bisa bangkit untuk maju walau Aceh mempunyai kekayaan yang berlimpah-ruah,” terangnya.
GAM Harus Bersatu
Dalam kesempatan tersebut, mantan juru runding dari pihak GAM itu juga mengatakan, Aceh tidak akan pernah bisa diperbaiki, bila secara internal masih bercerai-berai. GAM harus kembali solid seperti sediakala, agar bisa menjadi perisai bagi bangsa Aceh untuk memperjuangkan butir-butir MoU Helsinki.
“Perjuangan ini tidak akan pernah berhasil kalau dikalangan kita sendiri masih cerai berai dan bermusuh-musuhan sesama kita lebih dari musuh nenek moyang kita dulu. Karena itu GAM WAJIB utuh dan solid sebagai sebuah organisasi politik yang masih exis dan harus bisa menjadi perisai bangsa Aceh untuk memperjuangkan kelanjutan semua butir-butir MoU Helsinki sehingga selesai,” kata Bakhtiar.
Bakhtiar mengatakan, peluang yang sudah digenggam kali ini tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Untuk itu pihak GAM jangan lupa daratan. Niat baik harus ditanamkan dalam hati.
GAM harus mengubah pola pikirnya. Semua pihak harus didekati baik elemen sipil, mahasiswa, tokoh masyarakat maupun ulama. Nasehat dan wejangan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan oleh GAM dalam rangka membangun Aceh di masa damai. [TGJ]
loading...
Post a Comment