Sekitar pukul 6.00 sore Hasan
Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki yang dipimpin M. Daud Husin telah
menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka berangkat menuju Gunung Seulimeun.
“Itu adalah malam pertama di
tanahairku setelah selama 25 tahun aku tinggal di pengasingan di Amerika
Serikat,” tulis Hasan Tiro dalam bukunya The Price of Freedom: The Unfinished
Diary of Tengku Hasan Di Tiro yang diterbitkan tahun 1984.
Itu adalah kunjungan rahasia
dengan misi tunggal memerdekakan Aceh.
“Tak ada seorang pun di negeri
ini yang mengetahui kedatanganku,” tulis Hasan Tiro.
“Aku sudah lama memutuskan bahwa
Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4 Desember
dengan alasan simbolis dan historis. Itu adalah hari dimana Belanda menembak
dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera,
Tengku Cik Mat di Tiro dalam
pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat
bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat,
dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera.”
Maka begitulah, di Bukit Cokan
dia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di
Tiro dan para leluhurnya. Dan tanggal 4 Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu
pun dibacakan.
“Kami, rakyat Aceh, Sumatera,
menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah
kami akan tanahair kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan
independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau
Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai
Negara yang Berdaulat sejak dunia diciptakan…”
Anak kedua pasangan Tengku
Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di Tiro 25 September 1925. Dia
memperoleh gelar doktor di bidang hukum internasional dari Colombia University.
Di negeri itu ia menikah dengan Dora seorang wanita Amerika Serikat keturunan
Yahudi.
Di masa-masa itu pula Hasan Tiro
pernah bekerja di KBRI dan membangun jaringan bisnis di bidang petrokimia,
pengapalan, penerbangan, dan manufaktur hingga ke Eropa dan Afrika. Hasan Tiro
juga menjelaskan hal ini dalam bukunya The Price of Freedom.
Pandangan politiknya mulai
berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia di masa Perdana Menteri Ali
Sastroamidjo (1953-1955) mengejar pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Hasan Tiro memprotes tindakan itu. Bulan
September 1954 dia mengirimkan sepucuk surat kepada sang perdana menteri
Kecewa dengan sikap pemerintah
Indonesia, Hasan Tiro kemudian meninggalkan KBRI. Dia bergabung dengan DI/TII
Aceh yang dideklarasikan mantan Gubernur Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh
tanggal 20 September 1953 sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang
dideklrasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Tasikmalaya,
7 Agustus 1949.
Di DI/TII Aceh Hasan Tiro
menjabat sebagai menteri luar negeri, dan karena jaringannya yang dianggap luas
di Amerika Serikat dia pun mendapat tugas tambahan sebagai “dutabesar” di PBB.
Setidaknya ada beberapa sebab
praktis yang ikut mendorong pemberontakan DI/TII yang secara bersamaan terjadi
di tiga propinsi, Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Pertama berkaitan dengan
rasionalisasi tentara. Banyak tentara dan laskar rakyat yang ikut berjuang
dalam perang revolusi tidak dapat diakomodasi sebagai tentara reguler. Kedua,
pemberontakan ini juga merupakan ekspresi kekecewaan terhadap hubungan
pemerintahan Sukarno yang ketika itu semakin dekat dengan kubu komunis.
Di tahun 1961 Daud Beureuh
mengubah Aceh menjadi Republik Islam Aceh (RIA). Tetapi di saat bersamaan,
gerakannya mulai melemah setelah SM Kartosoewirjo dilumpuhkah. Adapun Kahar
Muzakar dinyatakan tewas dalam sebuah pertempuran di belantara Sulawesi tahun
1965.
Adalah Panglima Kodam I/Iskandar
Muda, Kolonel M. Jassin, yang berhasil meyakinkan Daud Beureuh untuk kembali
bergabung dengan Republik Indonesia. Tanggal 9 Mei 1962 Daud Beureuh ditemani
antara lain komandan pasukannya yang setia, Tengku Ilyas Leube, pun turun
gunung. Bulan Desember perdamaian dirumuskan dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat
Aceh.
setelah pemberontakan DI/TII
melemah, Hasan Tiro ikut melunak. Pertengahan 1974 dia kembali ke Aceh. Dalam
pertemuan dengan gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad, Hasan Tiro meminta agar
perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan tambang gas di Arun.
Tapi Muzakkir Walad tak dapat
memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc., sebuah perusahaan dari California,
Amerika Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde Baru Soeharto sebagai
kontraktor pembangunan pabrik gas Arun.
Hasan Tiro kembali kecewa.
Baginya, ini adalah bukti bahwa janji otonomi daerah dan hak daerah mengelola
sumber alam hanya bohong belaka.
Kekecewaannya pun semakin
bertambah setelah syariat Islam yang dibicarakan dalam konsep “Prinsipil
Bijaksana” antara Daud Beureuh dan pemerintah pusat tak kunjung dilaksanakan.
Hasan Tiro kembali menggalang
kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari tangan Daud Beureuh yang saat itu
sudah turun dari panggung politik Aceh. Dia menghubungi tokoh penting mantan
anggota DI/TII seperti Teungku Ilyas Leube, yang dikenal sebagai salah satu
pengikut setia Daud Beureueh. Juga Daud Paneuk.
Tak lama manuver Hasan Tiro
tercium oleh tentara. Operasi militer disiapkan untuk menangkapnya. Tetapi Tiro
berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika Serikat.
Sebelum meninggalkan Aceh dia
berjanji akan kembali datang untuk menyusun kekuatan yang jauh lebih besar. Dan
begitulah, akhirnya kaki Hasan Tiro kembali menginjak Aceh di pagi hari, 30
Oktober 1976.
Perjalanan Hidup
Hasan Tiro adalah Anak kedua
pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di Tiro 25 September
1925.
Hasan Tiro awalnya adalah seorang
yang sangat nasionalis. Jauh sebelum mengobarkan perang total dengan Indonesia.
Karena jenius, Hasan Tiro direkomendasikan Teungku Daud Beureueh kepada Perdana
Menteri Indonesia waktu itu, Syafruddin Prawiranegara, untuk kuliah di UII.
Hasan Tiro diterima di Fakultas Hukum dan tamat tahun 1949
.
Di universitas ini namanya
tercatat sebagai pendiri Pustaka UII bersama Kahar Muzakkar, tokoh Sulawesi
Selatan yang kelak menggerakkan pemberontakan DI/TII bersama Daud Beureueh dan
Imam Kartosuwiryo (1953-1962)
.
Lulus dari UII, ia kemudian
mendapat beasiswa dari pemerintah Indoensia untuk melanjutkan pendidikanya ke
Amerika Serikat. Ia mengambil jurusan Ilmu Hukum International di Universitas
Columbia. Setelah menyelesaikan program doktor ia masih sempat bekerja di KBRI
di Amerika.
Pada tahun 1953, Aceh diguncang
pemberontakan Darul Islam, yang dipimpin langsung oleh Teungku Daud Beureueh,
Aceh melawan Jakarta, karena Soekarno dianggap ingkar janji
.
Dan Pandangan politiknya mulai berbalik
180 derajat ketika pemerintah Indonesia di masa Perdana Menteri Ali
Sastroamidjo (1953-1955) mengejar pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
(DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Menurut salah satu surat kabar di New York
bahwa sekitar 92 warga sipil di Pulot, Cot Jeumpa Leupung, Aceh Besar, dibantai
serdadu republik pada 26 Februari 1954.
Ini ekses akibat ditembaknya
belasan prajurit Indonesia oleh mujahidin DI/TII Aceh dua pekan sebelumnya.
Karena para mujahid sudah menghilang dari kawasan itu, maka warga sipillah yang
dijejerkan di pinggir laut, lalu ditembak mati. Hanya satu yang tersisa hidup.
Ia pula yang membeberkan pembantaian sadis itu kepada Acha, wartawan Harian
Peristiwa. Asahi Simbun, Washington Post, dan New York Times ikut melansir berita
tersebut
.
Dari kota “melting pot” New York,
spontan ia layangkan surat pada 1 September 1954 kepada Perdana Menteri
Indonesia Ali Sastroamidjojo. Ia desak Indonesia untuk segera minta maaf dan
mengakui bahwa pembantaian warga sipil tersebut merupakan genosida (pembantaian
etnis Aceh). Para pelaku dimintanya agar dihukum berat
.
Menurut Hasan Tiro persoalan yang
dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali
Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Menurutnya jika Ali
Sastroamidjojo mengambil keputusan untuk menyelesaikan pertikaian politik
tersebut dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka keamanan dan
ketentraman akan meliputi seluruh tanah air Indonesia pada saat itu
.
Oleh karena itu, demi kepentingan
rakyat Indonesia Hasan Tiro menganjurkan Ali Sastroamidjojo mengambil tindakan:
Pertama, Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah,
rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Kedua,
Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan.
Ketiga, Berunding dengan Teungku
Muhammad Daud Beureuh, S.M. Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar.
Jika sampai pada tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian
pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Ali Sastroamidjojo, maka untuk
menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban
keganasan agresi yang Ali Sastroamidjojo kobarkan, Maka Hasan Tiro dan
putera-puteri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:
Pertama, Kami akan membuka dengan
resmi perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia,
termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam.
Kedua, Kami akan memajukan kepada
General Assembly PBB yang akan datang segala atas kekejaman, pembunuhan,
penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah
dilakukan oleh regime Komunis–Fasis Ali Sastroamidjojo terhadap rakyat Aceh.
Biarlah forum Internasional
mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia
sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan
komite ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi saksi.
Ketiga, Kami akan menuntut regime
Ali Sastroamidjojo di muka PBB atas kejahatan genoside yang sedang Ali
Sastroamidjojo lakukan terhadap suku bangsa Aceh.
Keempat, Kami akan membawa ke
hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan
regime Ali Sastroamidjojo terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
Kelima, Kami akan mengusahakan
pengakuan dunia Internasional terhadap Republik Islam Indonesia, yang sekarang
de facto menguasai Aceh sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan
dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
Keenam, Kami akan mengusahakan
pembaikotan diplomasi dan ekonomi internasional terhadap regime Ali
Sastroamidjojo dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB, Amerika Serikat
dan “Colombo Plan”.
Ketujuh, Kami akan mengusahakan
bantuan moral dan materi buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya
menghapus regime teroris Ali Sastroamidjojo dari Indonesia.
Setelah lewat 20 September 1954
anjuran-anjuran Hasan Tiro tidak diindahkan. Ali Sastroamidjojo kemudian
mengirimkan delegasinya ke PBB untuk membuat serangkaian fitnah-fitnah keji
kepada Hasan Tiro, diantaranya menyatakan bahwa Hasan Tiro mendapat sokongan
dari golongan bukan Indonesia dan ancaman bahwa setiap campur tangan untuk
membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya merupakan
perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia.
Hasan Tiro berjuang keras di New
York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum PBB dengan tujuan supaya
kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan nasib sendiri (self
determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan
.
Selain itu Pemerintah mencabut
Paspor diplomatik Hasan Tiro supaya Hasan Tiro diusir dari Amerika akibatnya 27
September 1954 Hasan Tiro ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Tetapi karena
bantuan beberapa orang senator, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk tetap di
Amerika Serikat. Sejak itu kita tahu dia menjadi pengkritik keras Soekarno
.
Pada 1958, Hasan menulis buku
penting di New York berjudul Demokrasi untuk Indonesia. Dia mengusulkan negara
federal untuk Indonesia, melawan konsep negara persatuan versi Soekarno.
Dia mengkritik pedas sistem
negara kesatuan, yang menguntungkan etnis besar Jawa, dan cuma mendukung apa
yang disebutnya“demokrasi primitive”. Baginya, Indonesia terlalu luas untuk
diatur secara sentralistik dari Jakarta. Pada tahun 1958, Hasan Tiro menuangkan
pemikiran dalam buku berjudul
“Demokrasi untuk Indonesia”. Di
situ ia tawarkan federasi sebagai bentuk Pemerintah Indonesia, tujuannya agar
hubungan daerah dan pusat tidak timpang
.
Hasan lalu melompat ke ide yang
lebih radikal, dia menggeser pemikirannya ke nasionalisme Aceh. Pada 1965,
pamfletnya “Masa Depan Politik Dunia Melayu” menolak ide Republik
Indonesia.
Kata Hasan, Indonesia tak lain
dari proyek “kolonialisme Jawa”, dan warisan tak sah perang kolonial Belanda.
Dengan kata lain, dia menyangkal penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada
Indonesia pada 1949. Baginya, hak merdeka harus dikembalikan kepada bangsa-bangsa
seperti Aceh atau Sunda, yang sudah berdaulat sebelum Indonesia lahir
.
Sejak itu dia menjelajahi
sejarah, menulis sekian pamflet tentang nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang
lain, “Atjeh Bak Mata Donja” (Aceh di
Mata Dunia) ditulis dalam bahasa Aceh pada 1968, dia menguraikan problem
absennya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia
mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menegasi segala upaya integrasi dengan
republik
.
Hasan mengkaji lima editorial The
New York Times sepanjang April–Juli 1873, fase pertama Perang Aceh melawan
Belanda. Dia menggali kembali
patriotisme Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas kesultanan Aceh saat
berperang melawan Belanda. Perang menentukan ini, kata Hasan, hanya mungkin
dikobarkan karena semua pahlawan Aceh tahu “bagaimana mati” sebagai manusia
terhormat
.
Ada dua dokumen penting yang dia
dapat di Markas PBB yang membulatkan tekadnya untuk memisahkan Aceh dari
Indonesia. Dokumen itu berupa Resolusi PBB tentang Hak untuk Menentukan Nasib
Sendiri (Right to Self Determination). Dokumen lainnya, berupa resolusi bahwa
negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain
.
Ia menilai, Perang Belanda
terhadap Aceh tidak menyebabkan Aceh takluk dan dikuasai sepenuhnya oleh
Belanda. Selain itu, Belanda tak berdasar menyerahkan Aceh–melalui Konferensi
Meja Bundar 1949–kepada Indonesia (Jawa), mengingat Belanda tak berkuasa penuh
atas Aceh, malah lari meninggalkan Aceh, setelah tentara Jepang diundang ulama
masuk Aceh
.
Ditambah alasan-alasan sejarah,
etnosentris, dan penguasaan ekonomi oleh Jakarta atas Aceh, membuat Hasan Tiro
punya banyak alasan menyambung perjuangan kakek buyutnya, Tgk Chik Di Tiro,
untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Ia mengimajinasikan sebuah negara/kerajaan
sambungan (succesor state). Untuk itu, Aceh harus mandiri dari Indonesia.
.
Kamp militer di Libya
Hasan paham, Aceh tak mudah
diarak ke jalan merdeka. Satu-satunya cara adalah mencari pengakuan
internasional, dan berjuang dengan tema hak menentukan nasib sendiri. Hasan
melakukan lobi internasional, dan terus berkampanye tentang “dekolonisasi”
Indonesia. Pada masa 1980-1990an, dia bergandengan dengan gerakan separatis
lain, seperti Timor Timur (Fretilin) dan Republik Maluku Selatan (RMS).
Pada 1980an, ketika gerakannya
dipukul secara militer, Hasan membangun kembali gerakan bersenjatanya di luar
Aceh. Pada 1986, dia memilih Libya sebagai kamp pelatihan militer.
Selama
empat tahun kemudian, diamelatih hampir 800 pemuda Aceh. Tak hanya
ketrampilan militer, tapi juga danideologi keAcehan. Selama di
Libya,Hasan terlibat intensif dalam gerakan anti-imperialisme. Selama
tahun-tahun itudia ditunjuk selaku Ketua Komite Politik World Mathabah,
satu organisasi revolusionerberbasis di Tripoli. Wadah itu didirikan
pemimpin Libya Muamar Khadafi, untuk suatu proyek melawan hegemoni
Amerika.Dalam bahasa politik, inilah front menentang imperialisme,
rasisme, zionismedan fasisme.
DOM (Daerah Operasi Militer)
Pemerintahan Orde Baru segera mengantisipasi gerakan ini.
Berbagai aksi militer dilancarkan. Aceh kemudian di jadikan ladang Daerah
Operasi Militer (DOM). Akibatnya tindak kekerasan/penyiksaan, penangkapan tanpa
prosedur, penculikan, pelecehan seksual dan pemerkosaan, penghilangan nyawa
manusia dan praktek-praktek pelanggaran hukum dan HAM lainnya berlangsung
hampir setiap saat
.
Selama berlangsungnya Operasi
Militer sejak 1989 hingga 1998 mencapai 30.000 nyawa. Sungguh malapetaka
peradaban yang hanya bisa terjadi dalam masyarakat primitif.
Maka orang yang wajib
bertanggungjawab atas pembantaian-pembantaian tersebut dan segera disidangkan
ke masjlis Umum PBB atas nama penjahat perang adalah…
Pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto,
isu “Aceh merdeka” kembali menjadi sorotan dunia. pada 25 Januari 1999 Hasan
Tiro menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir tahun 2002, Hasan Tiro menandatangani
deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra. |Tulisan Diambil Dari Situs Kabaraceh.E-Berita.Net
|
loading...
Post a Comment