![]() |
Pemerintah akhirnya memutuskan polemik sengketa empat pulau Aceh masuk wilayah Sumatera Utara. Pemerintah memutuskan empat pulau tersebut sah milik Aceh. Foto/Tangkapan Layar |
Jakarta – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, secara resmi menetapkan empat pulau sengketa—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—sebagai bagian dari wilayah administratif Provinsi Aceh. Pengumuman tersebut disampaikan langsung dari Istana Negara pada Selasa, 17 Juni 2025, dan menandai babak baru dalam penyelesaian sengketa wilayah melalui pendekatan yang mengedepankan keadilan historis dan keberlanjutan ekologis.
Keputusan ini mendapat respons positif dari berbagai kalangan, termasuk akademisi Universitas Nasional, Mochdar Soleman. Dalam keterangan persnya pada Rabu (18/6/2025), Mochdar menilai bahwa keputusan Presiden Prabowo mencerminkan pertimbangan menyeluruh terhadap hak-hak masyarakat lokal, sekaligus berpijak pada kajian historis dan ekologis yang komprehensif.
“Keputusan ini tidak hanya bersandar pada aspek administratif, tetapi juga mengakui keberadaan masyarakat lokal yang selama ini hidup dan menggantungkan kehidupannya dari sumber daya di wilayah tersebut,” ujar Mochdar.
Ia menyoroti bahwa pijakan keputusan ini antara lain mengacu pada dokumen penting seperti Surat Keputusan Bersama Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara tahun 1992. Menurutnya, hal ini menunjukkan komitmen pemerintah pusat dalam menyelesaikan konflik wilayah berdasarkan rekam jejak sejarah dan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan ruang hidup.
Lebih jauh, Mochdar menilai penetapan empat pulau ini sebagai bagian dari Aceh merupakan implementasi dari otonomi relatif yang menghormati hak daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Ini merupakan bukti bahwa pemerintah pusat tidak alergi terhadap koreksi terhadap ketidakadilan historis. Sebaliknya, ini justru memperkuat relasi antara pemerintah pusat dan daerah yang lebih adil dan berimbang,” jelasnya.
Kendati demikian, Mochdar mengingatkan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada bagaimana pengelolaan wilayah tersebut dilakukan ke depan. Ia menekankan perlunya melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam proses perencanaan dan pengelolaan, guna menghindari eksploitasi sumber daya yang berlebihan.
“Empat pulau ini memiliki potensi ekologis dan ekonomi yang besar, namun juga rentan. Pengelolaan yang tidak bijak justru dapat merusak daya dukung lingkungan serta merugikan masyarakat lokal,” ungkapnya.
Ia pun menegaskan bahwa pulau-pulau tersebut bukan sekadar garis batas geografis, melainkan ruang hidup yang memiliki nilai ekologis, budaya, dan sosial yang tinggi. “Pulau-pulau ini harus dilihat sebagai ruang kehidupan yang perlu dikelola dengan bijaksana dan berkelanjutan,” tutup Mochdar.
Keputusan Presiden Prabowo ini diharapkan dapat menjadi model penyelesaian sengketa wilayah lainnya di Indonesia—yakni penyelesaian yang tidak hanya adil secara administratif, tetapi juga berlandaskan pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Dengan pendekatan yang mengedepankan nilai historis, partisipatif, dan ekologis, langkah ini mencerminkan arah baru dalam tata kelola wilayah yang inklusif dan berkeadilan sosial.[]
loading...
Post a Comment