Rahmad /Antara Foto |
Lhokseumawe - Kepolisian Resort Lhokseumawe mengungkap kasus pencabulan terhadap 15 santri laki-laki di bawah umur di sebuah pesantren. Pencabulan diduga dilakukan oleh AI (45) pemimpin pesantren dan MY (26) adalah guru pengajian.
Kedua tersangka terancam hukuman cambuk 90 kali karena dijerat dengan Qanun No 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, Namun menurut Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, Muhammad AR, kedua tersangka seharusnya dijerat dengan pasal berlapis termasuk dipenjara.
Muhammad beralasan para tersangka bisa mencari "mangsa" lain setelah menjalani hukuman cambuk dan bebas.
"Kalau hanya cambuk tidak adil, tapi harus tindakan berlapis. Karena kalau pakai hukum cambuk setelah itu bebas, dia tidak malu lagi setelah itu cari mangsa lain," ujar Muhammad dihubungi jurnalis, Kamis (11/7/2019).
Menurut Muhammad, kejadian pencabulan di pesantren tersebut terjadi karena tidak ada pengawasan dari pihak luar. Pimpinan dan guru pesantren, kata dia, secara pribadi atau lembaga harus diawasi.
"Pengawasnya bisa dari Dinas Syariat Islam atau Majelis Permusyawaratan Ulama," tutur Muhammad.
Selama ini, lanjut dia, banyak kasus pelecehan seksual terhadap santri karena tidak ada pengawasan. "Sebenarnya bisa mengawasi setidaknya satu kali dalam sepekan harus menjumpai anak-anak, apakah ada masalah atau tidak.
Atau mereka yang punya masalah dibawa ke psikolog," tutup Muhammad.
Kepala Kepolisian Resort Lhokseumawe AKBP Ari Lasta Irawan menuturkan kedua tersangka diduga melakukan pelecehan seksual terhadap para santri saat mengajar mengaji. Sementara ini baru lima santri yang telah melapor ke kepolisian.
Dari hasil pengembangan, kepolisian mengungkapkan ada korban 10 santri lain. Sehingga total korban 15 santri laki-laki, semua berusia di bawah 14 tahun.
"Sementara yang sudah dilakukan pemeriksaan ada lima santri yang menjadi korban. Total semua santri yang mendapat perlakuan cabul dari pelaku berjumlah 15 orang," kata Ari Lasta kepada Beritagar.id, Kamis (11/7).
Menurut Ari Lasta, pelecehan seksual diduga terjadi sejak September 2018 hingga kedua tersangka ditangkap beberapa hari lalu.
Tersangka AI (45) melakukan pelecehan seksual terhadap korban R sebanyak lima kali, L sebanyak tujuh Kali, D sebanyak tiga kali, T lima kali, dan A tiga 3 kali. Sementara MY (26) melakukan pelecehan seksual terhadap korban R sebanyak dua kali.
Ari Lasta menyebutkan, pengungkapan kasus tersebut berawal dari laporan orang tua korban yang masuk kepada kepolisian pada Sabtu, 29 Juni 2019. Dari keterangan awal yang didapat oleh penyidik, korban R menyebut pelecehan seksual terhadapnya dilakukan oleh MY, guru mengajinya di pesantren.
"Kasus ini langsung dikembangkan dengan melakukan pemeriksaan kepada korban yang masih anak-anak dengan memperhatikan psikologisnya serta melakukan gelar perkara hingga akhirnya kedua tersangka ditangkap dan ditahan," kata Ari Lasta.
Kedua tersangka dikenakan pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dengan ancaman hukuman cambuk paling lama 90 kali atau denda paling banyak 900 gram emas murni atau penjara paling lama 90 bulan.
Hukuman untuk kasus pelecehan seksual di Aceh diatur dalam Qanun No 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat pada Bagian Keenam tentang Pelecehan Seksual.
Ada dua pasal yang mengatur hukuman pelaku pelecehan seksual. Pertama, Pasal 46 berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah pelecehan seksual, diancam dengan 'uqubat ta’zir cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali atau denda paling banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan".
Sementara Pasal 47 khusus mengatur pelecehan seksual terhadap anak-anak. "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam dengan 'uqubat ta’zir cambuk paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan," bunyi pasal tersebut.
Di Aceh, perbuatan tindak pidana atau jarimah yang hukumannya terdapat dalam Qanun Jinayat maka pelaku dijerat dengan Qanun Jinayat. Sementara bagi non-muslim, diperkenankan untuk memilih dijerat dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun Qanun Jinayat.
Tindak pidana yang diatur dalam Qanun Jinayat adalah khamar (minum minuman memabukkan), maisir (perjudian), khalwat (berduaan dengan pasangan tidak sah), ikhtilath (bermesraan dengan pasangan tidak sah), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh orang lain zina tanpa bukti), liwath (sesama jenis laki-laki), dan musahaqah (sesama jenis perempuan).
Kedua tersangka terancam hukuman cambuk 90 kali karena dijerat dengan Qanun No 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, Namun menurut Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, Muhammad AR, kedua tersangka seharusnya dijerat dengan pasal berlapis termasuk dipenjara.
Muhammad beralasan para tersangka bisa mencari "mangsa" lain setelah menjalani hukuman cambuk dan bebas.
"Kalau hanya cambuk tidak adil, tapi harus tindakan berlapis. Karena kalau pakai hukum cambuk setelah itu bebas, dia tidak malu lagi setelah itu cari mangsa lain," ujar Muhammad dihubungi jurnalis, Kamis (11/7/2019).
Menurut Muhammad, kejadian pencabulan di pesantren tersebut terjadi karena tidak ada pengawasan dari pihak luar. Pimpinan dan guru pesantren, kata dia, secara pribadi atau lembaga harus diawasi.
"Pengawasnya bisa dari Dinas Syariat Islam atau Majelis Permusyawaratan Ulama," tutur Muhammad.
Selama ini, lanjut dia, banyak kasus pelecehan seksual terhadap santri karena tidak ada pengawasan. "Sebenarnya bisa mengawasi setidaknya satu kali dalam sepekan harus menjumpai anak-anak, apakah ada masalah atau tidak.
Atau mereka yang punya masalah dibawa ke psikolog," tutup Muhammad.
Kepala Kepolisian Resort Lhokseumawe AKBP Ari Lasta Irawan menuturkan kedua tersangka diduga melakukan pelecehan seksual terhadap para santri saat mengajar mengaji. Sementara ini baru lima santri yang telah melapor ke kepolisian.
Dari hasil pengembangan, kepolisian mengungkapkan ada korban 10 santri lain. Sehingga total korban 15 santri laki-laki, semua berusia di bawah 14 tahun.
"Sementara yang sudah dilakukan pemeriksaan ada lima santri yang menjadi korban. Total semua santri yang mendapat perlakuan cabul dari pelaku berjumlah 15 orang," kata Ari Lasta kepada Beritagar.id, Kamis (11/7).
Menurut Ari Lasta, pelecehan seksual diduga terjadi sejak September 2018 hingga kedua tersangka ditangkap beberapa hari lalu.
Tersangka AI (45) melakukan pelecehan seksual terhadap korban R sebanyak lima kali, L sebanyak tujuh Kali, D sebanyak tiga kali, T lima kali, dan A tiga 3 kali. Sementara MY (26) melakukan pelecehan seksual terhadap korban R sebanyak dua kali.
Ari Lasta menyebutkan, pengungkapan kasus tersebut berawal dari laporan orang tua korban yang masuk kepada kepolisian pada Sabtu, 29 Juni 2019. Dari keterangan awal yang didapat oleh penyidik, korban R menyebut pelecehan seksual terhadapnya dilakukan oleh MY, guru mengajinya di pesantren.
"Kasus ini langsung dikembangkan dengan melakukan pemeriksaan kepada korban yang masih anak-anak dengan memperhatikan psikologisnya serta melakukan gelar perkara hingga akhirnya kedua tersangka ditangkap dan ditahan," kata Ari Lasta.
Kedua tersangka dikenakan pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dengan ancaman hukuman cambuk paling lama 90 kali atau denda paling banyak 900 gram emas murni atau penjara paling lama 90 bulan.
Hukuman untuk kasus pelecehan seksual di Aceh diatur dalam Qanun No 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat pada Bagian Keenam tentang Pelecehan Seksual.
Ada dua pasal yang mengatur hukuman pelaku pelecehan seksual. Pertama, Pasal 46 berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah pelecehan seksual, diancam dengan 'uqubat ta’zir cambuk paling banyak 45 (empat puluh lima) kali atau denda paling banyak 450 (empat ratus lima puluh) gram emas murni atau penjara paling lama 45 (empat puluh lima) bulan".
Sementara Pasal 47 khusus mengatur pelecehan seksual terhadap anak-anak. "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam dengan 'uqubat ta’zir cambuk paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan," bunyi pasal tersebut.
Di Aceh, perbuatan tindak pidana atau jarimah yang hukumannya terdapat dalam Qanun Jinayat maka pelaku dijerat dengan Qanun Jinayat. Sementara bagi non-muslim, diperkenankan untuk memilih dijerat dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun Qanun Jinayat.
Tindak pidana yang diatur dalam Qanun Jinayat adalah khamar (minum minuman memabukkan), maisir (perjudian), khalwat (berduaan dengan pasangan tidak sah), ikhtilath (bermesraan dengan pasangan tidak sah), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh orang lain zina tanpa bukti), liwath (sesama jenis laki-laki), dan musahaqah (sesama jenis perempuan).
Sumber: beritagar.id
loading...
Post a Comment