Jakarta - Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY mengunggah tulisan berjudul 'Dari Duka Kita Bangkit'. SBY menceritakan pengalaman pemerintahannya saat menangani gempa serta tsunami Aceh dan Nias beberapa tahun lalu.
Tulisan tersebut diunggah SBY di akun Facebook resminya, Selasa (2/10/2018). Isi tulisan itu menceritakan masa-masa sulit pemerintah SBY kala menangani bencana alam, khususnya di Aceh dan Nias. Cerita dimulai saat SBY berada di Jayapura, Papua, 26 Desember 2004.
Dalam tulisannya, SBY mengenang bagaimana rapat darurat kabinet terbatas di Jayapura saat tsunami melanda Aceh. SBY kala itu mengambil keputusan tegas.
Lebih jauh, Ketua Umum Partai Demokrat itu juga menceritakan kesedihan istrinya, Ani Yudhoyono, saat gempa Aceh terjadi. SBY juga bercerita tentang keadaan ekonomi negara ketika tsunami menerjang Aceh dalam tulisan itu.
"Esok harinya, 28 Desember 2004, saya sudah mendarat di Banda Aceh. Keadaan lebih menyedihkan lagi. Sepertinya semuanya rata dengan tanah. Kecuali sejumlah masjid, termasuk Masjid Baiturrahman," tutur SBY.
Berikut ini tulisan lengkap SBY, 'Dari Duka Kita Bangkit':
DARI DUKA KITA BANGKIT
10 Tahun Tsunami Aceh dan Nias
Oleh
Susilo Bambang Yudhoyono
"Ya Allah, musibah apa ini ... ," ucap saya lirih.
Hal ini saya ucapkan di Wisma Gubernur Papua, Jayapura, tanggal 26 Desember 2004, ketika berita yang saya terima tentang gempa bumi di Aceh bertambah buruk dari jam ke jam. Dino Patti Djalal dan Andi Mallarangeng, dua juru bicara Presiden, yang terus "meng-update" perkembangan situasi di Aceh ikut pula cemas. Istri tercinta yang mendampingi saya saat itu nampak makin sedih. Matanya mulai berkaca-kaca.
Komunikasi yang dilakukan oleh para Menteri dan Staf Khusus yang mendampingi saya memang amat tidak lancar. Mereka nampak frustrasi. Belakangan baru tahu bahwa telekomunikasi di seluruh Aceh lumpuh total. Tetapi, yang membuat pikiran saya semakin tegang adalah setiap berita yang masuk jumlah korban gempa terus meningkat dengan tajam. Pertama belasan, kemudian puluhan, ratusan dan bahkan ribuan. Waktu itu saya benar-benar belum mengetahui bahwa yang terjadi ternyata bukan hanya gempa bumi, tetapi juga tsunami yang amat dahsyat.
Selama jam-jam yang menegangkan itu saya tetap memelihara komunikasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat itu berada di Jakarta. Intinya, nampaknya ini bukan bencana alam biasa. Sesuatu yang besar. Kita harus siap menghadapi hal yang paling buruk. Kita harus dapat bertindak dengan cepat namun sekaligus tepat.
Oleh karena itu, meskipun malam harinya saya tetap menghadiri perayaan Natal bersama umat Kristiani yang ada di Jayapura yang sudah lama dipersiapkan, saya meminta acara itu dipersingkat dan saya mengajak hadirin untuk berdoa atas keselamatan saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana alam di Aceh.
Tulisan tersebut diunggah SBY di akun Facebook resminya, Selasa (2/10/2018). Isi tulisan itu menceritakan masa-masa sulit pemerintah SBY kala menangani bencana alam, khususnya di Aceh dan Nias. Cerita dimulai saat SBY berada di Jayapura, Papua, 26 Desember 2004.
Dalam tulisannya, SBY mengenang bagaimana rapat darurat kabinet terbatas di Jayapura saat tsunami melanda Aceh. SBY kala itu mengambil keputusan tegas.
Lebih jauh, Ketua Umum Partai Demokrat itu juga menceritakan kesedihan istrinya, Ani Yudhoyono, saat gempa Aceh terjadi. SBY juga bercerita tentang keadaan ekonomi negara ketika tsunami menerjang Aceh dalam tulisan itu.
"Esok harinya, 28 Desember 2004, saya sudah mendarat di Banda Aceh. Keadaan lebih menyedihkan lagi. Sepertinya semuanya rata dengan tanah. Kecuali sejumlah masjid, termasuk Masjid Baiturrahman," tutur SBY.
Berikut ini tulisan lengkap SBY, 'Dari Duka Kita Bangkit':
DARI DUKA KITA BANGKIT
10 Tahun Tsunami Aceh dan Nias
Oleh
Susilo Bambang Yudhoyono
"Ya Allah, musibah apa ini ... ," ucap saya lirih.
Hal ini saya ucapkan di Wisma Gubernur Papua, Jayapura, tanggal 26 Desember 2004, ketika berita yang saya terima tentang gempa bumi di Aceh bertambah buruk dari jam ke jam. Dino Patti Djalal dan Andi Mallarangeng, dua juru bicara Presiden, yang terus "meng-update" perkembangan situasi di Aceh ikut pula cemas. Istri tercinta yang mendampingi saya saat itu nampak makin sedih. Matanya mulai berkaca-kaca.
Komunikasi yang dilakukan oleh para Menteri dan Staf Khusus yang mendampingi saya memang amat tidak lancar. Mereka nampak frustrasi. Belakangan baru tahu bahwa telekomunikasi di seluruh Aceh lumpuh total. Tetapi, yang membuat pikiran saya semakin tegang adalah setiap berita yang masuk jumlah korban gempa terus meningkat dengan tajam. Pertama belasan, kemudian puluhan, ratusan dan bahkan ribuan. Waktu itu saya benar-benar belum mengetahui bahwa yang terjadi ternyata bukan hanya gempa bumi, tetapi juga tsunami yang amat dahsyat.
Selama jam-jam yang menegangkan itu saya tetap memelihara komunikasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang saat itu berada di Jakarta. Intinya, nampaknya ini bukan bencana alam biasa. Sesuatu yang besar. Kita harus siap menghadapi hal yang paling buruk. Kita harus dapat bertindak dengan cepat namun sekaligus tepat.
Oleh karena itu, meskipun malam harinya saya tetap menghadiri perayaan Natal bersama umat Kristiani yang ada di Jayapura yang sudah lama dipersiapkan, saya meminta acara itu dipersingkat dan saya mengajak hadirin untuk berdoa atas keselamatan saudara-saudara kita yang sedang tertimpa bencana alam di Aceh.
loading...
Post a Comment