Banda Aceh - Seharusnya, banyak identitas Aceh yang dapat diterapkan sebagai ornamen di Gedung atau Istana Wali Nanggroe yang saat ini sedang dalam tahap penyelesaian atau sentuhan akhir (finishing touch).
Pemikiran itu dilontarkan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), H Badruzzaman Ismail SH MHum saat ditanya Serambi, Jumat (4/12) sore menanggapi liputan eksklusif Serambi Indonesia berjudul “Ini Istana Wali Rp 100 M” tapi minim motif Aceh, sebagaimana dipublikasi Kamis (3/12).
Sebelumnya, Gubernur Zaini Abdullah menyebut Meuligoe Wali Nanggroe yang sekilas mirip Gedung Putih (Guest House) itu sangat minim motif atau ornamen Acehnya.
Menanggapi hal itu, Badruzzaman berpendapat, meski mungkin arsitektur gedung WN itu bergaya Eropa, tapi seharusnya ada identitas Aceh yang melekat di sana. Bisa berupa motif atau simbol yang biasa digunakan di Aceh secara umum.
Simbol itu, lanjut Badruzzaman, bisa ditempatkan pada lingkungan Gedung Wali Nanggroe secara keseluruhan, baik itu pada gedung utama, pintu gerbang, maupun ruang-ruang tertentu, bahkan di bagian luar gedung. Ini bertujuan agar Lembaga WN yang disebut-sebut sebagai pemersatu adat mendapat hati di masyarakat. “Pendeknya, bangunan ini harus benar-benar mewakili rasa kebersamaan semua suku yang ada di Aceh,” kata Badruzzaman.
Dia contohkan, di daerah-daerah lain, simbol adat atau suku tetap sebagai kebanggaan masyarakatnya dan banyak digunakan pada ornamen gedung. “Mengenai teknisnya saya tidak tahu, itu urusan arsitek. Ini kan biayanya besar. Jadi, bukan mustahil bisa diterapkan motif Aceh sebagai ornamen gedung itu. Dengan demikian, barulah ada kesan pencerminan dari pembinaan adat dan pemersatu masyarakat,” kata Badruzzaman yang selama wawancara berlangsung selalu menyebut gedung, bukan meuligoe, apalagi istana, untuk bangunan mewah yang akan ditempati Wali Nanggroe Aceh itu.
Dia sebutkan, Aceh terdiri atas belasan suku dengan beragam simbol adat. Ada Gayo, Kluet, Singkil, Alas, Simeulue, Tamiang, dan adat lainnya. Ini bisa dijadikan salah satu kekayaan intelektual yang bisa diterapkan pada gedung WN.
Ia contohkan, di Gayo ada kerawang, di pesisir ada rencong, pinto Aceh, dan simbol lainnya. “Selama ini memang banyak masyarakat yang menyampaikan aspirasi kepada saya terkait pembangunan gedung itu. Saya hanya bisa menjawab, akan berupaya menyampaikan usulan mereka. Pandangan masyarakat atau pemerhati adat budaya cenderung ingin bangunan itu kental ciri Acehnya. Banyak celah untuk bisa menampilkan ciri itu, misalnya di setiap ruangan, bahkan saat mulai masuk ke kompleks Gedung Wali Nanggroe,” katanya.
Dengan demikian, lanjut Badruzzaman, masyarakat akan merasa ada hubungan kebersamaan dan rasa memiliki terhadap sesuatu simbol meski berasal dari khazanah di luar adat mereka.
Badruzzaman tak terlalu mempermasalahkan mengenai bentuk gedung yang ala Eropa asalkan ada sentuhan etnisitas keacehan.
Perlu regulasi
Ia usulkan, selain Gedung WN, Pemerintah Aceh pun--dalam hal ini eksekutif--melalui bidang terkait, termasuk dewan, perlu membuat suatu gebrakan berupa regulasi mengenai hal ini.
Bisa saja dibuat sebuah peraturan yang mengharuskan bangunan pemerintah yang akan dibangun harus punya ciri khas Aceh, seperti halnya di Minangkabau.
Dengan demikian, kata Badruzzaman, Aceh secara keseluruhan makin kuat identitas dan adat budayanya. Ciri seperti ini merupakan kekayaan dan aset sejarah yang tak ternilai harganya.
Pemikiran itu dilontarkan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), H Badruzzaman Ismail SH MHum saat ditanya Serambi, Jumat (4/12) sore menanggapi liputan eksklusif Serambi Indonesia berjudul “Ini Istana Wali Rp 100 M” tapi minim motif Aceh, sebagaimana dipublikasi Kamis (3/12).
Sebelumnya, Gubernur Zaini Abdullah menyebut Meuligoe Wali Nanggroe yang sekilas mirip Gedung Putih (Guest House) itu sangat minim motif atau ornamen Acehnya.
Menanggapi hal itu, Badruzzaman berpendapat, meski mungkin arsitektur gedung WN itu bergaya Eropa, tapi seharusnya ada identitas Aceh yang melekat di sana. Bisa berupa motif atau simbol yang biasa digunakan di Aceh secara umum.
Simbol itu, lanjut Badruzzaman, bisa ditempatkan pada lingkungan Gedung Wali Nanggroe secara keseluruhan, baik itu pada gedung utama, pintu gerbang, maupun ruang-ruang tertentu, bahkan di bagian luar gedung. Ini bertujuan agar Lembaga WN yang disebut-sebut sebagai pemersatu adat mendapat hati di masyarakat. “Pendeknya, bangunan ini harus benar-benar mewakili rasa kebersamaan semua suku yang ada di Aceh,” kata Badruzzaman.
Dia contohkan, di daerah-daerah lain, simbol adat atau suku tetap sebagai kebanggaan masyarakatnya dan banyak digunakan pada ornamen gedung. “Mengenai teknisnya saya tidak tahu, itu urusan arsitek. Ini kan biayanya besar. Jadi, bukan mustahil bisa diterapkan motif Aceh sebagai ornamen gedung itu. Dengan demikian, barulah ada kesan pencerminan dari pembinaan adat dan pemersatu masyarakat,” kata Badruzzaman yang selama wawancara berlangsung selalu menyebut gedung, bukan meuligoe, apalagi istana, untuk bangunan mewah yang akan ditempati Wali Nanggroe Aceh itu.
Dia sebutkan, Aceh terdiri atas belasan suku dengan beragam simbol adat. Ada Gayo, Kluet, Singkil, Alas, Simeulue, Tamiang, dan adat lainnya. Ini bisa dijadikan salah satu kekayaan intelektual yang bisa diterapkan pada gedung WN.
Ia contohkan, di Gayo ada kerawang, di pesisir ada rencong, pinto Aceh, dan simbol lainnya. “Selama ini memang banyak masyarakat yang menyampaikan aspirasi kepada saya terkait pembangunan gedung itu. Saya hanya bisa menjawab, akan berupaya menyampaikan usulan mereka. Pandangan masyarakat atau pemerhati adat budaya cenderung ingin bangunan itu kental ciri Acehnya. Banyak celah untuk bisa menampilkan ciri itu, misalnya di setiap ruangan, bahkan saat mulai masuk ke kompleks Gedung Wali Nanggroe,” katanya.
Dengan demikian, lanjut Badruzzaman, masyarakat akan merasa ada hubungan kebersamaan dan rasa memiliki terhadap sesuatu simbol meski berasal dari khazanah di luar adat mereka.
Badruzzaman tak terlalu mempermasalahkan mengenai bentuk gedung yang ala Eropa asalkan ada sentuhan etnisitas keacehan.
Perlu regulasi
Ia usulkan, selain Gedung WN, Pemerintah Aceh pun--dalam hal ini eksekutif--melalui bidang terkait, termasuk dewan, perlu membuat suatu gebrakan berupa regulasi mengenai hal ini.
Bisa saja dibuat sebuah peraturan yang mengharuskan bangunan pemerintah yang akan dibangun harus punya ciri khas Aceh, seperti halnya di Minangkabau.
Dengan demikian, kata Badruzzaman, Aceh secara keseluruhan makin kuat identitas dan adat budayanya. Ciri seperti ini merupakan kekayaan dan aset sejarah yang tak ternilai harganya.
Sumber: serambinews
loading...
Post a Comment