StatusAceh.Net - Organisasi HAM KontraS menyatakan, pemerintah Indonesia belum serius memenuhi Kesepakatan Helsinki. Menurut Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, prosesnya jalan di tempat meski sudah belasan tahun.
"Kalau bicara progres, sampai sekarang bisa dibilang stagnan,” ungkap Fatia kepada VOA.
MoU Helsinki ini ditandatangani pada 15 Agustus 2005 sebagai kesepakatan damai pemerintah Indonesia dan GAM. Kesepakatan berisi 71 butir itu mencangkup sejumlah topik, antara lain pembangunan ekonomi, bendera dan lambang Aceh, serta pengungkapan pelanggaran HAM.
Terkait isu HAM, MoU Helsinki poin 1.4.5 menyatakan bahwa “Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh”. Namun menurut Fatia, Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) Aceh yang bertugas mengumpulkan fakta hanya diberi kewenangan terbatas. "KKR Aceh legitimasinya kayak setengah-setengah. Karena dia tidak bisa dapat anggaran dana dari pemerintah, karena tidak ada legitimasi berdasarkan UU. Jadi dia cuma berdiri dan bisa berdiri di Aceh secara resmi karena memang ada qanun yang menjelaskan soal KKR Aceh, tapi secara nasional kelembagaan nya itu tidak ada” tambahnya.
Di sisi lain, penyelidikan-penyelidikan terpisah yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum dapat ditindaklanjuti.
Peristiwa-peristiwa yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM di antaranya adalah Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh, Tragedi Jambo Keupok, dan Rumoh Geudong. Namun laporan-laporan itu kini terhenti di Kejaksaan Agung. "Tidak akan bisa berjalan dengan mulus kalau misalnya di tahapan selanjutnya—seperti Kejaksaan Agung—itu tidak melakukan penyidikan. Sekarang masalahnya Kejaksaan Agung nya bolak balik berkas terus sama Komnas HAM,” tambahnya.
"Kalau bicara progres, sampai sekarang bisa dibilang stagnan,” ungkap Fatia kepada VOA.
MoU Helsinki ini ditandatangani pada 15 Agustus 2005 sebagai kesepakatan damai pemerintah Indonesia dan GAM. Kesepakatan berisi 71 butir itu mencangkup sejumlah topik, antara lain pembangunan ekonomi, bendera dan lambang Aceh, serta pengungkapan pelanggaran HAM.
Terkait isu HAM, MoU Helsinki poin 1.4.5 menyatakan bahwa “Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh”. Namun menurut Fatia, Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) Aceh yang bertugas mengumpulkan fakta hanya diberi kewenangan terbatas. "KKR Aceh legitimasinya kayak setengah-setengah. Karena dia tidak bisa dapat anggaran dana dari pemerintah, karena tidak ada legitimasi berdasarkan UU. Jadi dia cuma berdiri dan bisa berdiri di Aceh secara resmi karena memang ada qanun yang menjelaskan soal KKR Aceh, tapi secara nasional kelembagaan nya itu tidak ada” tambahnya.
Di sisi lain, penyelidikan-penyelidikan terpisah yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum dapat ditindaklanjuti.
Peristiwa-peristiwa yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM di antaranya adalah Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh, Tragedi Jambo Keupok, dan Rumoh Geudong. Namun laporan-laporan itu kini terhenti di Kejaksaan Agung. "Tidak akan bisa berjalan dengan mulus kalau misalnya di tahapan selanjutnya—seperti Kejaksaan Agung—itu tidak melakukan penyidikan. Sekarang masalahnya Kejaksaan Agung nya bolak balik berkas terus sama Komnas HAM,” tambahnya.
loading...
Post a Comment