BERBEDA dengan mayoritas anggota BPUPKI yang menginginkan Indonesia merdeka meliputi seluruh negeri Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Timor Portugis, dan Papua, Hatta adalah kekecualian. Menurutnya Indonesia cukup meliputi negeri Hindia Belanda saja. Adapun Papua – yang di sebut-sebut kaya dan punya ikatan sejarah dengan Nusantara – tidaklah masuk dalam keluarga besar Republik Indonesia..
“Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945 yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.
Menurut Hatta memasukan Papua yang secara etnis berbeda dapat menimbulkan prasangka bagi dunia luar. Bertolak dari hukum internasional yang berlaku, tuntutan atas wilayah ini akan memberi kesan Indonesia memiliki nafsu imperialistis. Kecuali rakyat Papua sendiri yang menginginkan untuk bergabung, Hatta tidak menolak.
“Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi (kepulauan) Salomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ketengah laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang begitu luas?,” tanya Hatta kepada hadirin sidang.
Hatta juga menentang pandangan Yamin yang bersikukuh mengatakan Papua bagian dari Indonesia sejak zaman kerajaan Nusantara. Yamin secara panjang lebar menguraikan pendapatnya soal Papua lewat analisis historis, politik, dan geopolitik. Bagi Hatta, semua itu omong kosong.
“Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang mengatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia, ” kata Hatta.
Ketimbang Papua, Hatta lebih cenderung mempertimbangkan Malaya dan Borneo Utara. Pasalnya, rakyat di kedua wilayah ini - yang kini menjadi negeri Malaysia – sama-sama beretnis serumpun Melayu seperti halnya Indonesia. Oleh karena itu, Hatta mempertahankan usulannya agar wilayah Indonesia terdiri dari Hindia Belanda dan Malaya minus Papua.
Akhir kata dalam sidang, Hatta menghimbau rekan-rekannya di BPUPKI agar bersikap realistis dalam membangun bangsa dan negara. Ini menurut Hatta, penting sebagai teladan bagi generasi muda. Menghilangkan nafsu ekspansi ke luar dan mengubahnya untuk mempertahankan kedaulatan.
“Marilah kita mendidik pemuda kita, supaya semangat imperialisme meluap ke dalam, membereskan pekerjaan kita ke dalam, yang masih banyak harus diperkuat dan disempurnakan,” pungkas Hatta.
Sayangnya, gagasan Hatta harus kandas dalam pemungutan suara. Konsep kesatuan gagasan Yamin dan Sukarnolah yang diterima dengan perolehan suara terbanyak. Meski kalah dalam BPUPKI, Hatta tetap konsisten dalam pendapatnya soal Papua. Ini pun disampaikan Hatta kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Dirk Stikker, dalam sebuah perundingan pada November 1948.
Sejarawan Belanda, Pieter Drooglever mencatat, Hatta mengulangi kepada Stikker pendiriannya yang bertahun-tahun silam sudah diutarakan dalam BPUPKI, yaitu bahwa ia tidak berminat terhadap Papua, karena tidak termasuk Indonesia. Bagi Stikker, pernyataan Hatta ini merupakan ucapan penting.
“Ia segera menarik kesimpulan dari situ, bahwa wilayah ini dapat direservasi untuk Belanda,” tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Sikap Hatta tidak berubah ketika memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Oktober 1949 di Den Haag, Belanda. Hatta tampak enggan beradu klaim menghadapi Menteri Urusan Negeri Hajahan Belanda, Henricus van Maarseven yang begitu menginginkan Papua. Hatta bersedia menangguhkan status kepemilikan wilayah itu dan membicarakannya lagi setahun kemudian.
Hatta kembali pulang ke Indonesia membawa oleh-oleh pengakuan kedaulatan. Namun Papua masih jauh dari genggaman Republik - sebagaimana yang dipesankan oleh Sukarno. “Dalam keadaan semacam itu, jalan sebaiknya ialah menunda penyelesaian. Orang yang berpendirian semuanya harus tercapai 100% sekaligus, tentu tidak puas dengan cara begitu. Tapi adakah jalan untuk mencapai tuntutan itu sekarang juga?,” kata Hatta di depan Badan Pekerja KNIP, 25 November 1949 dikutip Soebandrio dalam Meluruskan Sejarah Irian Barat.
Menurut Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta, Hatta tahu mengapa Belanda ngotot mempertahankan kekuasaannya di Papua. Alih-alih meneruskan tuntutan, Hatta lebih memilih untuk menyelesaikan perundingan lewat kompromi. Misi pengakuan kedaulatan menjadi yang terpenting sedangkan masalah Irian Barat dapat diselesaikan di kemudian hari.
Bagi Hatta, revolusi telah selesai dengan memperoleh kedaulatan politik meski tanpa Papua. Seiring dengan itu, tibalah saatnya membangun negara. Namun tidak demikian halnya dengan kaum Republiken lain yang mendambakan kekuasaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Kendati sudah menjadi bagian dari Republik Indonesia, siapa nyana soal Papua malah menjadi batu sandung Indonesia dalam pergaulan internasional hingga kini. (*)
“Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945 yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.
Menurut Hatta memasukan Papua yang secara etnis berbeda dapat menimbulkan prasangka bagi dunia luar. Bertolak dari hukum internasional yang berlaku, tuntutan atas wilayah ini akan memberi kesan Indonesia memiliki nafsu imperialistis. Kecuali rakyat Papua sendiri yang menginginkan untuk bergabung, Hatta tidak menolak.
“Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi (kepulauan) Salomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ketengah laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang begitu luas?,” tanya Hatta kepada hadirin sidang.
Hatta juga menentang pandangan Yamin yang bersikukuh mengatakan Papua bagian dari Indonesia sejak zaman kerajaan Nusantara. Yamin secara panjang lebar menguraikan pendapatnya soal Papua lewat analisis historis, politik, dan geopolitik. Bagi Hatta, semua itu omong kosong.
“Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang mengatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia, ” kata Hatta.
Ketimbang Papua, Hatta lebih cenderung mempertimbangkan Malaya dan Borneo Utara. Pasalnya, rakyat di kedua wilayah ini - yang kini menjadi negeri Malaysia – sama-sama beretnis serumpun Melayu seperti halnya Indonesia. Oleh karena itu, Hatta mempertahankan usulannya agar wilayah Indonesia terdiri dari Hindia Belanda dan Malaya minus Papua.
Akhir kata dalam sidang, Hatta menghimbau rekan-rekannya di BPUPKI agar bersikap realistis dalam membangun bangsa dan negara. Ini menurut Hatta, penting sebagai teladan bagi generasi muda. Menghilangkan nafsu ekspansi ke luar dan mengubahnya untuk mempertahankan kedaulatan.
“Marilah kita mendidik pemuda kita, supaya semangat imperialisme meluap ke dalam, membereskan pekerjaan kita ke dalam, yang masih banyak harus diperkuat dan disempurnakan,” pungkas Hatta.
Sayangnya, gagasan Hatta harus kandas dalam pemungutan suara. Konsep kesatuan gagasan Yamin dan Sukarnolah yang diterima dengan perolehan suara terbanyak. Meski kalah dalam BPUPKI, Hatta tetap konsisten dalam pendapatnya soal Papua. Ini pun disampaikan Hatta kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Dirk Stikker, dalam sebuah perundingan pada November 1948.
Sejarawan Belanda, Pieter Drooglever mencatat, Hatta mengulangi kepada Stikker pendiriannya yang bertahun-tahun silam sudah diutarakan dalam BPUPKI, yaitu bahwa ia tidak berminat terhadap Papua, karena tidak termasuk Indonesia. Bagi Stikker, pernyataan Hatta ini merupakan ucapan penting.
“Ia segera menarik kesimpulan dari situ, bahwa wilayah ini dapat direservasi untuk Belanda,” tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Sikap Hatta tidak berubah ketika memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Oktober 1949 di Den Haag, Belanda. Hatta tampak enggan beradu klaim menghadapi Menteri Urusan Negeri Hajahan Belanda, Henricus van Maarseven yang begitu menginginkan Papua. Hatta bersedia menangguhkan status kepemilikan wilayah itu dan membicarakannya lagi setahun kemudian.
Hatta kembali pulang ke Indonesia membawa oleh-oleh pengakuan kedaulatan. Namun Papua masih jauh dari genggaman Republik - sebagaimana yang dipesankan oleh Sukarno. “Dalam keadaan semacam itu, jalan sebaiknya ialah menunda penyelesaian. Orang yang berpendirian semuanya harus tercapai 100% sekaligus, tentu tidak puas dengan cara begitu. Tapi adakah jalan untuk mencapai tuntutan itu sekarang juga?,” kata Hatta di depan Badan Pekerja KNIP, 25 November 1949 dikutip Soebandrio dalam Meluruskan Sejarah Irian Barat.
Menurut Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta, Hatta tahu mengapa Belanda ngotot mempertahankan kekuasaannya di Papua. Alih-alih meneruskan tuntutan, Hatta lebih memilih untuk menyelesaikan perundingan lewat kompromi. Misi pengakuan kedaulatan menjadi yang terpenting sedangkan masalah Irian Barat dapat diselesaikan di kemudian hari.
Bagi Hatta, revolusi telah selesai dengan memperoleh kedaulatan politik meski tanpa Papua. Seiring dengan itu, tibalah saatnya membangun negara. Namun tidak demikian halnya dengan kaum Republiken lain yang mendambakan kekuasaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Kendati sudah menjadi bagian dari Republik Indonesia, siapa nyana soal Papua malah menjadi batu sandung Indonesia dalam pergaulan internasional hingga kini. (*)
Sumber: Historia.id
loading...
Post a Comment