Banda Aceh - Komnas HAM meminta Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merevisi qanun. Hal ini disampaikan pihak Komnas HAM setelah mencermati peristiwa penangkapan dan penjatuhan hukuman 85 kali cambuk oleh Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh, kepada MT (24) dan MH (20), yang didasarkan atas orientasi dan aktivitas seksual sebagai gay.
"Perlu dilakukan review terhadap qanun agar sesuai dengan semangat nilai hak asasi manusia yang tercermin dalam UUD 1945, " ujar Wakil Ketua Eksternal/Pelapor Khusus Pemenuhan Kelompok Minoritas Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron, dalam keterangan yang diterima JawaPos.com, Selasa (23/5).
MT dan MH dinilai terbukti melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Qanun Nomor 7 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun adalah Peraturan Daerah di Aceh.
Ia menjelaskan, UUD 1945 mengatur secara lengkap hak asasi manusia, baik sipil, politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya yang juga diatur dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara khusus menurutnya, Pasal 28I (2) UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit, bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
"Komnas HAM berpandangan hal ini juga meliputi bebas diskriminasi atas dasar orientasi seksual ataupun identitas jender apapun," ujarnya.
Dikatakannya, Indonesia telah mengesahkan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU Nomor 5 Tahun 1998.
Untuk itu, ia berpendapat, bahwa penangkapan dan penghukuman cambuk tersebut, bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945, UU 39/1999 tentang HAM, Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Keji, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU Nomor 5 Tahun 1998.
Qanun, lanjut dia, juga bertentangan dengan hak atas privasi yang dinyatakan dalam Pasal 28 G (1), di dalam undang-undang tersebut.
Menurutnya, hak atas privasi memang tidak bersifat absolut. Namun demikian, penangkapan dan proses hukum yang dilakukan terhadap MT dan MH yang merupakan dua manusia dewasa, dinilai menyentuh aspek yang paling intim dari kehidupan privat, dan dipandang merupakan intervensi terlalu jauh, serta melanggar hak atas privasi mereka.
Ia menambahkan, keputusan Mahkaman Syariat itu juga melanggar UU nomor 5 Tahun 1998, khususnya pasal 16 yang menyatakan bahwa negara harus mencegah perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
"Pelaksanaan hukuman cambuk di muka publik yang akan dilaksanakan juga bertentangan dengan konvensi ini. Proses hukum tersebut memberikan bukti bahwa qanun yang berlaku, tidak sesuai dengan semangat hak asasi manusia yang sudah dijamin dalam UU," tukasnya.
Karena tak sesuai, menurutnya tak hanya qonun nya yang direview, namun ia juga meminta, Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam melakukan moratorium terhadap implementasi qanun yang tidak sesuai semangat hak asasi manusia.
"Pemerintah Provinsi Nangro Aceh Darussalam (harus) melakukan upaya-upaya untuk mengadopsi nilai-nilai HAM dalam kebijakan dan implementasinya," pungkasnya. (Jawapos/JPG)
"Perlu dilakukan review terhadap qanun agar sesuai dengan semangat nilai hak asasi manusia yang tercermin dalam UUD 1945, " ujar Wakil Ketua Eksternal/Pelapor Khusus Pemenuhan Kelompok Minoritas Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron, dalam keterangan yang diterima JawaPos.com, Selasa (23/5).
MT dan MH dinilai terbukti melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Qanun Nomor 7 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun adalah Peraturan Daerah di Aceh.
Ia menjelaskan, UUD 1945 mengatur secara lengkap hak asasi manusia, baik sipil, politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya yang juga diatur dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara khusus menurutnya, Pasal 28I (2) UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit, bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
"Komnas HAM berpandangan hal ini juga meliputi bebas diskriminasi atas dasar orientasi seksual ataupun identitas jender apapun," ujarnya.
Dikatakannya, Indonesia telah mengesahkan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU Nomor 5 Tahun 1998.
Untuk itu, ia berpendapat, bahwa penangkapan dan penghukuman cambuk tersebut, bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945, UU 39/1999 tentang HAM, Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Keji, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia melalui UU Nomor 5 Tahun 1998.
Qanun, lanjut dia, juga bertentangan dengan hak atas privasi yang dinyatakan dalam Pasal 28 G (1), di dalam undang-undang tersebut.
Menurutnya, hak atas privasi memang tidak bersifat absolut. Namun demikian, penangkapan dan proses hukum yang dilakukan terhadap MT dan MH yang merupakan dua manusia dewasa, dinilai menyentuh aspek yang paling intim dari kehidupan privat, dan dipandang merupakan intervensi terlalu jauh, serta melanggar hak atas privasi mereka.
Ia menambahkan, keputusan Mahkaman Syariat itu juga melanggar UU nomor 5 Tahun 1998, khususnya pasal 16 yang menyatakan bahwa negara harus mencegah perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
"Pelaksanaan hukuman cambuk di muka publik yang akan dilaksanakan juga bertentangan dengan konvensi ini. Proses hukum tersebut memberikan bukti bahwa qanun yang berlaku, tidak sesuai dengan semangat hak asasi manusia yang sudah dijamin dalam UU," tukasnya.
Karena tak sesuai, menurutnya tak hanya qonun nya yang direview, namun ia juga meminta, Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam melakukan moratorium terhadap implementasi qanun yang tidak sesuai semangat hak asasi manusia.
"Pemerintah Provinsi Nangro Aceh Darussalam (harus) melakukan upaya-upaya untuk mengadopsi nilai-nilai HAM dalam kebijakan dan implementasinya," pungkasnya. (Jawapos/JPG)
loading...
Post a Comment