Jakarta - Mahkamah Agung (MA) memutuskan sengketa Pilkada Aceh diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan harus diadili dengan UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada. Namun, menurut Yusril Ihza Mahendra, kewenangan MK dalam mengadili bukan berkaitan dengan lex specialis.
"Sudah ada putusan MK yang menyatakan bahwa MK berwenang mengadili sengketa pilkada di Aceh. Ini hanya mengenai kewenangan mengadili apakah kewenangan MA atau kewenangan MK, bukan berkaitan dengan lex specialis," ujarnya saat berbincang dengan detikcom, Selasa (21/3/2017).
Dia menambahkan penggunaan asas hukum lex posterior derogat legi priori sudah tepat untuk mengesampingkan undang-undang yang lama. Namun MK memiliki kewenangan sendiri untuk mengadili tanpa harus ditentukan hukum mana yang akan digunakan.
"Kalau dengan asas hukum lex specialis derogat legi generali, terserah MK untuk mengadili berdasarkan UU Pilkada atau UU yang berlaku di Aceh. Karena ada putusan MK tahun 2016 bahwa MK berwenang untuk mengadili sengketa pilkada di Aceh," jelasnya.
Kasus ini bermula saat Said Syamsul Bahri-M Nafis Manaf menggugat Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Barat. Said-Nafis tidak terima atas keputusan KIP Kabupaten Aceh Barat Daya per 23 Februari 2017. Gugatan dilayangkan ke Mahkamah Agung. Namun apa kata MA?
"Menyatakan keberatan hasil pemilihan yang diajukan oleh Said Syamsul Bahri-M Nafis Manaf tidak dapat diterima," kata majelis hakim, sebagaimana dilansir website MA, Senin (20/3).
Putusan itu diadili oleh hakim agung Yulius, hakim agung Yosran, dan hakim agung Irfan Fachrudin.
"Sesuai asas hukum lex posterior derogat legi priori, undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama. Maka dalam kasus ini yang harus digunakan adalah UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bukan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang UU Pemerintahan Aceh," ujar majelis hakim dalam sidang pada 13 Maret 2017. .(Detik.com)
loading...
Post a Comment