![]() |
Rumah Cut Nyak Dien (Foto: NU Online). |
StatusAceh.Net - Salah seorang pahlawan nasional perempuan asal Aceh, Cut Nyak Dien menjadi inspirator para perempuan di Aceh untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Di antara jejak perjuangannya, masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia bisa menelusuri rumah Cut Nyak Dien yang terletak di daerah Lampisang, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Ketika memasuki area yang sudah diresmikan menjadi cagar buday itu, masyarakat akan dihadapkan pada sebuah rumah panggung yang mempunyai luas tanah sekitar 200 meter persegi.
Bangunan yang 100 persen terbuat dari material alam berupa kayu dan daun rumbia itu terlihat kokoh meskipun sempat diterjang bencana gempa dan gelombang Tsunami dahsyat yang menerjang Aceh pada 26 Desember 2004 silam.
Aisyah (55), seorang yang sudah 13 tahun menjaga rumah Cut Nyak Dien memaparkan, Tsunami memang memporak-porandakan sebagian besar wilayah Aceh. Namun rumah bersejarah Cut Nyak Dien tersebut tetap kokoh, bahkan menjadi salah satu tempat perlindungan warga saat Tsunami Aceh.
“Tsunami menerjang dan menenggelamkan rumah ini juga, tetapi tetap kokoh karena rumah ini tidak menggunakan paku tapi pasak,” ungkap Aisyah kepada NU Online, Ahad (8/10) siang.
Di tengah melayani masyarakat yang sedang berkunjung melihat-lihat rumah Cut Nyak Dien, Aisyah yang rumahnya juga habis diterjang Tsunami ini menjelaskan, saat itu sejumlah warga naik ke rumah Cut Nyak Dien. Namun, setelah mengetahui bahwa volume air bah Tsunami terus meninggi, mereka menaiki atap.
“Sehingga yang rusak hanya bagian atap yang terbuat dari daun rumbia karena dibongkar oleh warga untuk menaiki atap,” terang Aisyah yang juga menjelaskan bahwa 100 persen rumah Cut Nyak Dien terbuat dari kayu ulin. Kayu yang dikenal kuat dan tahan rayap.
Rumah yang dikunjungi banyak masyarakat setiap tahunnya ini mempunyai sejumlah ruangan. Pintu masuk utama terdapat di sisi kanan. Warga langsung dihadapkan dengan ruangan tengah yang bisa langsung menuju serambi rumah.
Serambi rumah terdapat di sisi kanan dan sis kiri rumah. Di ruangan ini, terpampang foto-foto bersejarah perjuangan Cut Nyak Dien, Teuku Umar, dan masyarakat Aceh dalam melawan Belanda.
Masuk ke tengah bagian depan rumah, ada dua kamar khusus yang diperuntukkan bagi para dayang. Kamar dayang-dayang ini sejajar dengan dua serambi yang masing-masing mempunyai jendela di bagian depan.
Ada juga kamar untuk pembantu yang berhadapan langsung dengan ruang makan. Di ruang makan yang terdapat sejumlah kursi dan meja ini dimanfaatkan untuk memajang sejumlah senjata yangdigunakan masyarakat Aceh dalam berjuang.
Di antara senjata-senjata itu di antaranya Rencong, parang jenis singrong, parang jenis cot lantring, parang jenis ladieng, pedang, dan tombak.
Adapun kamar Cut Nyak Dien terletak di bagian belakang rumah. Terdapat ruangan khusus untuk menerima tamu yang terletak sejajar dengan kamar Cut Nyak Dien.
Namun, rumah yang nampak kokoh dengan cat mayoritas warna hitam yang membalutnya merupakan replika dari rumah asli dengan bentuk yang sama persis. Rumah Cut Nyak Dien sendiri dibakar habis oleh Belanda pada 1896 dan tidak menyisakan apapun.
“Kecuali sumur yang masih asli di bagian depan rumah karena ia terbuat dari semen,” ungkap Aisyah. Sumur ini menjulang tinggi sekitar 3 meter dari atas permukaan tanah. Menurut pengakuan Asiyah, sumur yang hingga sekarang masih ada airnya itu memiliki kedalaman 18 meter.
Selain wisatawan domestik, sejumlah wisatawan mancanegara juga sering berkunjung di rumah yang dipugar kembali pada 1981 silam ini.
“Warga Malaysia sering sekali berkunjung ke sini karena mereka ada ikatan emosional karena Sultan Pahang mempunyai istri orang Aceh,” tutur Aisyah.
Dia juga menerangkan, masyarakat Eropa dan Amerika juga sering pernah berkunjung ke rumah Cut Nyak Dien di antaranya dari negara Jerman, Belanda, Kanada, dan Amerika Serikat.
“Biasanya mereka didampingi guide masing-masing,” tandas Aisyah. Para pengunjung juga bisa menelusuri jejak sejarah dari perpustakaan yang terletak di dalam komplek rumah Cut Nyak Dien.
Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh pada 1848. Ia meninggal dalam pengasingannya di Sumedang, Jawa Barat pada 1906. Ia diasingkan oleh Belanda karena dinilai mempunyai pengaruh kuat yang bisa menggerakkan masyarakat Aceh dalam melawan Belanda. Ia dimakamkan di daerah Gunung Puyuh Sumedang. (nu.or.id)
Di antara jejak perjuangannya, masyarakat Aceh dan bangsa Indonesia bisa menelusuri rumah Cut Nyak Dien yang terletak di daerah Lampisang, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.
Ketika memasuki area yang sudah diresmikan menjadi cagar buday itu, masyarakat akan dihadapkan pada sebuah rumah panggung yang mempunyai luas tanah sekitar 200 meter persegi.
Bangunan yang 100 persen terbuat dari material alam berupa kayu dan daun rumbia itu terlihat kokoh meskipun sempat diterjang bencana gempa dan gelombang Tsunami dahsyat yang menerjang Aceh pada 26 Desember 2004 silam.
Aisyah (55), seorang yang sudah 13 tahun menjaga rumah Cut Nyak Dien memaparkan, Tsunami memang memporak-porandakan sebagian besar wilayah Aceh. Namun rumah bersejarah Cut Nyak Dien tersebut tetap kokoh, bahkan menjadi salah satu tempat perlindungan warga saat Tsunami Aceh.
“Tsunami menerjang dan menenggelamkan rumah ini juga, tetapi tetap kokoh karena rumah ini tidak menggunakan paku tapi pasak,” ungkap Aisyah kepada NU Online, Ahad (8/10) siang.
Di tengah melayani masyarakat yang sedang berkunjung melihat-lihat rumah Cut Nyak Dien, Aisyah yang rumahnya juga habis diterjang Tsunami ini menjelaskan, saat itu sejumlah warga naik ke rumah Cut Nyak Dien. Namun, setelah mengetahui bahwa volume air bah Tsunami terus meninggi, mereka menaiki atap.
“Sehingga yang rusak hanya bagian atap yang terbuat dari daun rumbia karena dibongkar oleh warga untuk menaiki atap,” terang Aisyah yang juga menjelaskan bahwa 100 persen rumah Cut Nyak Dien terbuat dari kayu ulin. Kayu yang dikenal kuat dan tahan rayap.
Rumah yang dikunjungi banyak masyarakat setiap tahunnya ini mempunyai sejumlah ruangan. Pintu masuk utama terdapat di sisi kanan. Warga langsung dihadapkan dengan ruangan tengah yang bisa langsung menuju serambi rumah.
Serambi rumah terdapat di sisi kanan dan sis kiri rumah. Di ruangan ini, terpampang foto-foto bersejarah perjuangan Cut Nyak Dien, Teuku Umar, dan masyarakat Aceh dalam melawan Belanda.
Masuk ke tengah bagian depan rumah, ada dua kamar khusus yang diperuntukkan bagi para dayang. Kamar dayang-dayang ini sejajar dengan dua serambi yang masing-masing mempunyai jendela di bagian depan.
Ada juga kamar untuk pembantu yang berhadapan langsung dengan ruang makan. Di ruang makan yang terdapat sejumlah kursi dan meja ini dimanfaatkan untuk memajang sejumlah senjata yangdigunakan masyarakat Aceh dalam berjuang.
Di antara senjata-senjata itu di antaranya Rencong, parang jenis singrong, parang jenis cot lantring, parang jenis ladieng, pedang, dan tombak.
Adapun kamar Cut Nyak Dien terletak di bagian belakang rumah. Terdapat ruangan khusus untuk menerima tamu yang terletak sejajar dengan kamar Cut Nyak Dien.
Namun, rumah yang nampak kokoh dengan cat mayoritas warna hitam yang membalutnya merupakan replika dari rumah asli dengan bentuk yang sama persis. Rumah Cut Nyak Dien sendiri dibakar habis oleh Belanda pada 1896 dan tidak menyisakan apapun.
“Kecuali sumur yang masih asli di bagian depan rumah karena ia terbuat dari semen,” ungkap Aisyah. Sumur ini menjulang tinggi sekitar 3 meter dari atas permukaan tanah. Menurut pengakuan Asiyah, sumur yang hingga sekarang masih ada airnya itu memiliki kedalaman 18 meter.
Selain wisatawan domestik, sejumlah wisatawan mancanegara juga sering berkunjung di rumah yang dipugar kembali pada 1981 silam ini.
“Warga Malaysia sering sekali berkunjung ke sini karena mereka ada ikatan emosional karena Sultan Pahang mempunyai istri orang Aceh,” tutur Aisyah.
Dia juga menerangkan, masyarakat Eropa dan Amerika juga sering pernah berkunjung ke rumah Cut Nyak Dien di antaranya dari negara Jerman, Belanda, Kanada, dan Amerika Serikat.
“Biasanya mereka didampingi guide masing-masing,” tandas Aisyah. Para pengunjung juga bisa menelusuri jejak sejarah dari perpustakaan yang terletak di dalam komplek rumah Cut Nyak Dien.
Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh pada 1848. Ia meninggal dalam pengasingannya di Sumedang, Jawa Barat pada 1906. Ia diasingkan oleh Belanda karena dinilai mempunyai pengaruh kuat yang bisa menggerakkan masyarakat Aceh dalam melawan Belanda. Ia dimakamkan di daerah Gunung Puyuh Sumedang. (nu.or.id)
loading...
Post a Comment