Banda Aceh - Langkah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh memesan 4 unit pesawat Nurtanio (N219) menuai kritik. Sebab, kemiskinan di Aceh masih tinggi hingga Pemprov Aceh pernah rugi terkait pembelian pesawat.
Penandatanganan kesepakatan antara Pemprov Aceh dengan PT DI oleh Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah dan Dirut PT DI Elfien Goentoro dilakukan di kantor PT DI, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (9/12). Sebanyak 4 unit pesawat karya anak bangsa tersebut diharapkan bisa mengudara 2022.
Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan pemerintah Aceh memang tengah membutuhkan pesawat perintis untuk memperbanyak sarana transportasi udara antar pulau. Mengingat saat ini frekuensi penerbangan udara di Aceh masih minim.
"Saat ini Aceh hanya punya 5 bandara (perintis) yang mana dalam satu pekan frekuensinya hanya 2 penerbangan. Kita ingin meningkatkan itu, sehingga konektivitas (udara) antar wilayah jadi prioritas," kata Nova disela-sela MoU di kantor PT DI, Kota Bandung.
Ombudsman Perwakilan Aceh mengkritik pembelian pesawat tersebut. Karena, saat ini angka kemiskinan di Tanah Rencong masih sangat tinggi.
"Pembelian pesawat tersebut menurut saya adalah sesuatu yang kontraproduktif dengan fakta yang ada. Angka kemiskinan Aceh masih nomor satu di Sumatera," kata Kepala Ombudsman Perwakilan Aceh Taqwaddin kepada wartawan, Rabu (11/12/2019).
Taqwaddin mengaku belum mengetahui anggaran yang diplotkan untuk pembelian pesawat sudah mendapat persetujuan dari DPR Aceh atau belum. Dia menyarankan pihak legislatif tidak menyetujui rencana pembelian pesawat tersebut.
"Seharusnya rakyat miskin yang jumlahnya 15,32% harus terlebih dahulu disejahterakan agar mereka juga nantinya bisa naik pesawat. Jika yang miskin dan pengangguran tidak diberdayakan, maka kesannya pesawat ini dibeli dengan maksud digunakan oleh PNS, yang notabene akan makin memperbesar belanja pegawai," bebernya.
Kritik juga datang dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh Bardan Sahidi. Pembelian pesawat itu disebut belum pernah dibahas dengan pihak legislatif.
"Masyarakat Aceh belum butuh pesawat sekarang. Sekarang yang dibutuhkan peningkatan kualitas hidup masyarakat Aceh, pemenuhan kebutuhan dasar, penurunan angka stunting dan gizi buruk. Itu dia yang dibutuhkan masyarakat Aceh," kata Bardan saat dimintai konfirmasi detikcom, Rabu (11/12).
Menurut Bardan, pembelian pesawat tersebut tidak pernah dibahas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) Tahun 2017-2022. DPR Aceh juga tidak pernah diberitahu terkait pembelian pesawat N219.
"Gimana mau kita berikan dukungan atau menolak kalau tidak ada dalam dokumen. Artinya pemerintah ini nggak ngerti apa yang harus dikerjakan," jelas anggota DPRA dari Fraksi PKS ini.
LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) juga menolak rencana Pemprov Aceh memesan 4 unit pesawat itu. Tanah Rencong punya pengalaman buruk dalam hal pembelian burung besi.
Koordinator MaTA, Alfian, mengatakan pengadaan pesawat tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan kesejahteraan rakyat Aceh, melainkan hanya kebutuhan elite. Aceh pernah mengalami pengalaman buruk serta keuangan Serambi Mekah mengalami kerugian dalam kebijakan pengadaan pesawat sebelumnya.
Pesawat yang dibeli dulu adalah Selawah NAD, pesawat NAA di Aceh Utara, dan pengadaan helikopter MI-2. Dana untuk pengadaan helikopter MI-2 ini dikorupsi oleh Gubernur Aceh kala itu.
"Pada saat itu narasi yang mereka bangun juga untuk kelancaran ekonomi rakyat dan memudahkan akses untuk daerah yang jauh. Faktanya tidak jalan dan keuangan daerah habis dengan sia-sia," kata Alfian kepada wartawan, Rabu (11/12/2019).
Alfian menyebutkan Pemerintah Aceh saat ini memiliki 4 unit pesawat yang parkir di hanggar Lanud Sultan Iskandar Muda. Burung besi tersebut adalah hibah dari Yayasan Leuser Internasional (YLI). Pada 2018, Pemprov mengalokasikan anggaran Rp 1,5 miliar untuk perawatan tiga unit pesawat.
"Pertanyaannya, kenapa pesawat tersebut tidak difungsikan? Padahal kalau skema anggaran lebih hemat," jelas Alfian. | Detik.com
Penandatanganan kesepakatan antara Pemprov Aceh dengan PT DI oleh Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah dan Dirut PT DI Elfien Goentoro dilakukan di kantor PT DI, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (9/12). Sebanyak 4 unit pesawat karya anak bangsa tersebut diharapkan bisa mengudara 2022.
Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan pemerintah Aceh memang tengah membutuhkan pesawat perintis untuk memperbanyak sarana transportasi udara antar pulau. Mengingat saat ini frekuensi penerbangan udara di Aceh masih minim.
"Saat ini Aceh hanya punya 5 bandara (perintis) yang mana dalam satu pekan frekuensinya hanya 2 penerbangan. Kita ingin meningkatkan itu, sehingga konektivitas (udara) antar wilayah jadi prioritas," kata Nova disela-sela MoU di kantor PT DI, Kota Bandung.
Ombudsman Perwakilan Aceh mengkritik pembelian pesawat tersebut. Karena, saat ini angka kemiskinan di Tanah Rencong masih sangat tinggi.
"Pembelian pesawat tersebut menurut saya adalah sesuatu yang kontraproduktif dengan fakta yang ada. Angka kemiskinan Aceh masih nomor satu di Sumatera," kata Kepala Ombudsman Perwakilan Aceh Taqwaddin kepada wartawan, Rabu (11/12/2019).
Taqwaddin mengaku belum mengetahui anggaran yang diplotkan untuk pembelian pesawat sudah mendapat persetujuan dari DPR Aceh atau belum. Dia menyarankan pihak legislatif tidak menyetujui rencana pembelian pesawat tersebut.
"Seharusnya rakyat miskin yang jumlahnya 15,32% harus terlebih dahulu disejahterakan agar mereka juga nantinya bisa naik pesawat. Jika yang miskin dan pengangguran tidak diberdayakan, maka kesannya pesawat ini dibeli dengan maksud digunakan oleh PNS, yang notabene akan makin memperbesar belanja pegawai," bebernya.
Kritik juga datang dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh Bardan Sahidi. Pembelian pesawat itu disebut belum pernah dibahas dengan pihak legislatif.
"Masyarakat Aceh belum butuh pesawat sekarang. Sekarang yang dibutuhkan peningkatan kualitas hidup masyarakat Aceh, pemenuhan kebutuhan dasar, penurunan angka stunting dan gizi buruk. Itu dia yang dibutuhkan masyarakat Aceh," kata Bardan saat dimintai konfirmasi detikcom, Rabu (11/12).
Menurut Bardan, pembelian pesawat tersebut tidak pernah dibahas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) Tahun 2017-2022. DPR Aceh juga tidak pernah diberitahu terkait pembelian pesawat N219.
"Gimana mau kita berikan dukungan atau menolak kalau tidak ada dalam dokumen. Artinya pemerintah ini nggak ngerti apa yang harus dikerjakan," jelas anggota DPRA dari Fraksi PKS ini.
LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) juga menolak rencana Pemprov Aceh memesan 4 unit pesawat itu. Tanah Rencong punya pengalaman buruk dalam hal pembelian burung besi.
Koordinator MaTA, Alfian, mengatakan pengadaan pesawat tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan kesejahteraan rakyat Aceh, melainkan hanya kebutuhan elite. Aceh pernah mengalami pengalaman buruk serta keuangan Serambi Mekah mengalami kerugian dalam kebijakan pengadaan pesawat sebelumnya.
Pesawat yang dibeli dulu adalah Selawah NAD, pesawat NAA di Aceh Utara, dan pengadaan helikopter MI-2. Dana untuk pengadaan helikopter MI-2 ini dikorupsi oleh Gubernur Aceh kala itu.
"Pada saat itu narasi yang mereka bangun juga untuk kelancaran ekonomi rakyat dan memudahkan akses untuk daerah yang jauh. Faktanya tidak jalan dan keuangan daerah habis dengan sia-sia," kata Alfian kepada wartawan, Rabu (11/12/2019).
Alfian menyebutkan Pemerintah Aceh saat ini memiliki 4 unit pesawat yang parkir di hanggar Lanud Sultan Iskandar Muda. Burung besi tersebut adalah hibah dari Yayasan Leuser Internasional (YLI). Pada 2018, Pemprov mengalokasikan anggaran Rp 1,5 miliar untuk perawatan tiga unit pesawat.
"Pertanyaannya, kenapa pesawat tersebut tidak difungsikan? Padahal kalau skema anggaran lebih hemat," jelas Alfian. | Detik.com
loading...
Post a Comment