STATUSACEH.NET - Sehabis membaca keseluruhan dokumen rahasia soal "kamp konsentrasi" Uighur di Xinjiang yang pada 23 November 2019 dibocorkan Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) yang bekerja sama dengan 17 media dari 14 negara, barangkali bisa dimaklumi jika juru bicara pemerintah Xinjiang, dalam wawancara eksklusifnya dengan surat kabar Tempo Global (Huanqiu Shibao, 3/12/2019), dongkol menyebut pemberitaan tentang itu tidak hanya "memutarbalikkan hitam dan putih" (dian dao hei bai) tetapi juga "ngawur tidak memedulikan fakta yang ada" (xin kou ci huang).
Kalau pun kegeramannya itu tak bisa diterima, tetaplah sulit disangkal bahwa pemberitaan kebanyakan media-media arus utama dunia yang artikelnya disadur mentah-mentah oleh tak sedikit media kita, tampaknya memang sengaja mengutip setengah-setengah isi dokumen berbahasa Mandarin tersebut demi menonjolkan perlakuan pemerintah China terhadap orang-orang Uighur yang dimasukkan ke "kamp konsentrasi" (atau yang dokumen itu sebut "pusat pelatihan pendidikan vokasi") telah melanggar hak asasi manusia dan karenanya China harus disanksi kalau bersikeras tidak mau menutupnya.
Padahal, bila mau mengikuti apa yang diingatkan Zheng Yongnian dalam kata pengantar bukunya, China Model: Pengalaman dan Tantangan (Zhongguo Moshi: Jingyan yu Tiaozhan, 2016), kelewat menggiring diskusi terkait China ke ranah politis atau bahkan moralis, justru akan berujung pada mispersepsi –kalau bukan halusinasi.
Dan, peringatan profesor-cum-direktur East Asian Institute pada National University of Singapore itu agaknya kian berlaku jika yang dibahas adalah perihal kebijakan keagamaan negara yang sejak 1949 dipimpin partai tunggal bernama Partai Komunis China (PKC) besutan Maring alias Henk Sneevliet ini. Terlebih di tengah kondisi pola pikir tak sedikit masyarakat kita yang masih terkungkung dalam apa yang Presiden China Xi Jinping namai "mentalitas Perang Dingin" (leng zhan siwei). Dengan pandangan mandek macam itu, negara yang menjadikan komunisme sebagai ideologinya, walau bagaimana pun akan dipersepsikan selamanya anti dan ujung-ujungnya membumihanguskan segala agama.
Kalau pun kegeramannya itu tak bisa diterima, tetaplah sulit disangkal bahwa pemberitaan kebanyakan media-media arus utama dunia yang artikelnya disadur mentah-mentah oleh tak sedikit media kita, tampaknya memang sengaja mengutip setengah-setengah isi dokumen berbahasa Mandarin tersebut demi menonjolkan perlakuan pemerintah China terhadap orang-orang Uighur yang dimasukkan ke "kamp konsentrasi" (atau yang dokumen itu sebut "pusat pelatihan pendidikan vokasi") telah melanggar hak asasi manusia dan karenanya China harus disanksi kalau bersikeras tidak mau menutupnya.
Padahal, bila mau mengikuti apa yang diingatkan Zheng Yongnian dalam kata pengantar bukunya, China Model: Pengalaman dan Tantangan (Zhongguo Moshi: Jingyan yu Tiaozhan, 2016), kelewat menggiring diskusi terkait China ke ranah politis atau bahkan moralis, justru akan berujung pada mispersepsi –kalau bukan halusinasi.
Dan, peringatan profesor-cum-direktur East Asian Institute pada National University of Singapore itu agaknya kian berlaku jika yang dibahas adalah perihal kebijakan keagamaan negara yang sejak 1949 dipimpin partai tunggal bernama Partai Komunis China (PKC) besutan Maring alias Henk Sneevliet ini. Terlebih di tengah kondisi pola pikir tak sedikit masyarakat kita yang masih terkungkung dalam apa yang Presiden China Xi Jinping namai "mentalitas Perang Dingin" (leng zhan siwei). Dengan pandangan mandek macam itu, negara yang menjadikan komunisme sebagai ideologinya, walau bagaimana pun akan dipersepsikan selamanya anti dan ujung-ujungnya membumihanguskan segala agama.
loading...
Post a Comment