![]() |
Kelapa Sawit. Merdeka.com |
Aceh Timur - Sejak 2016, karyawan perusahaan sawit di Gampong Damar Siput, Kecamatan Rantau Selamat, Kabupaten Aceh Timur, tidak menerima gaji penuh. Selama ini, pihak perusahaan mencicil gaji mereka.
Setiap bulan, gaji mereka dicicil antara Rp 500.000 hingga Rp 800.000. Tidak mencukupi Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Kondisi ini diceritakan Mukhtar, karyawan perusahaan sawit saat menggelar aksi unjuk rasa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rabu (2/10). Dia menyampaikan, lebih dari 100 karyawan perusahaan tersebut, sudah 15 bulan tidak menerima gaji penuh.
"Sejak 2016 lalu gaji kami dicicil sampai sekarang. Cicilannya antara Rp 500.000 hingga Rp 800.000 per bulan," kata Mukhtar.
Persoalan yang membelit karyawan perusahaan sawit ini tidak hanya soal gaji yang dicicil. Sampai sekarang ini, mereka hanya diupah Rp1,9 Jura. Jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Aceh sebesar Rp 2,9 juta per bulan. Perusahaan sawit di Aceh Timur ini melanggar ketetapan yang telah diatur dalam standar pengupahan di Serambi Makkah.
"Gaji kami juga masih di bawah UMP, hanya Rp1,9 juta perbulan," jelasnya.
Sejumlah upaya telah mereka lakukan untuk memperjuangkan hak mereka sebagai kaum pekerja. Mukhtar mengaku sudah pernah beberapa kali melakukan mediasi dengan pihak perusahaan. Mereka juga sudah melaporkan ke Dinas Tenaga Kerja Dan Mobilitas Penduduk Aceh.
Namun sampai sekarang belum ada jalan keluar. Seluruh karyawan masih menerima gaji dengan dicicil. Termasuk masih digaji di bawah UMP yang telah ditetapkan oleh pemerintah Aceh.
"Bahkan ada yang cerai gara-gara gaji dicicil di sana," ungkapnya.
Begitu juga soal BPJS Kesehatan. Seluruh karyawan rutin membayar kepada perusahaan. Namun perusahaan diduga tidak menyetor ke kantor BPJS Kesehatan. Persoalan ini sudah pernah dilaporkan kepada pihak kepolisian. Namun lagi-lagi belum ada penyelesaian.
"Soal iuran BPJS Kesehatan, sudah pernah kami laporkan polisi di sana (Aceh Timur)," ungkapnya.
Sekretaris Aliansi Buruh Aceh (ABA), Habibi Inseun membenarkan ada buruh perkebunan sawit di Aceh Timur belum membayar gaji karyawannya. Persoalan ini perlu segera dicari solusi oleh pemerintah, agar kaum pekerja tidak dirugikan dengan skema membayar gaji secara cicil.
"Kami sudah tau soal itu (karyawan digaji secara cicil), kita sudah berupaya dan menyampaikan ke pihak terkiat," imbuhnya.
Dia berharap pemerintah dan anggota DPRA yang baru dilantik bisa terjun langsung ke lokasi. Agar bisa melihat fakta di lapangan peneritaan yang diterima oleh kaum pekerja.
"Dewan kali ini harus sering-sering turun ke lapangan," pintanya.
Ketua DPRA sementara dari Partai Aceh, Dahlan Jamaluddin berjanji akan berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh. Termasuk mempertanyakan sejauhmana pengawasan terhadap perusahaan yang ada di seluruh Aceh.
"Tenaga pengawas itu cukup penting, ini agar seluruh kebutuhan dan hak-hak buruh terpenuhi," ungkapnya.
Informasi yang diperolehnya, tenaga pengawas tenaga kerja di daerah cukup terbatas. Bahkan ada daerah yang belum memilikinya dan ini tidak sehat dalam iklim ketenagakerjaan.
"Sulit mengawasi tenaga pengawas di daerah itu hanya satu orang dan bahkan ada yang tidak memiliki tenaga pengawas," imbuhnya.
Sementara itu Bardan Saidi, anggota DPRA dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengaku prihatin era sekarang masih ada buruh 15 bulan tak menerima gaji penuh.
"Mohon izin pak ketua, kita harus memanggil Dinas Tenaga Kerja Dan Mobilitas Penduduk Aceh untuk mempertanyakan persoalan itu," katanya.
Bardan Saidi juga menyoroti soal pekerja asing di Aceh. Sebaiknya pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh pekerja di Aceh, tidak perlu diserahkan kepada pekerja asing. Harus dimaksimalkan tenaga kerja lokal pada sektor pekerjaan yang bisa dikerjakan. Pekerja asing hanya diberikan pada pekerjaan yang spesifik.
"Kita bukan menolak pekerja asing. Tetapi jangan sampai tenaga cleaning service pun diberikan kepada pekerja asing," tutupnya.| Merdeka.com
Setiap bulan, gaji mereka dicicil antara Rp 500.000 hingga Rp 800.000. Tidak mencukupi Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Kondisi ini diceritakan Mukhtar, karyawan perusahaan sawit saat menggelar aksi unjuk rasa di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rabu (2/10). Dia menyampaikan, lebih dari 100 karyawan perusahaan tersebut, sudah 15 bulan tidak menerima gaji penuh.
"Sejak 2016 lalu gaji kami dicicil sampai sekarang. Cicilannya antara Rp 500.000 hingga Rp 800.000 per bulan," kata Mukhtar.
Persoalan yang membelit karyawan perusahaan sawit ini tidak hanya soal gaji yang dicicil. Sampai sekarang ini, mereka hanya diupah Rp1,9 Jura. Jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Aceh sebesar Rp 2,9 juta per bulan. Perusahaan sawit di Aceh Timur ini melanggar ketetapan yang telah diatur dalam standar pengupahan di Serambi Makkah.
"Gaji kami juga masih di bawah UMP, hanya Rp1,9 juta perbulan," jelasnya.
Sejumlah upaya telah mereka lakukan untuk memperjuangkan hak mereka sebagai kaum pekerja. Mukhtar mengaku sudah pernah beberapa kali melakukan mediasi dengan pihak perusahaan. Mereka juga sudah melaporkan ke Dinas Tenaga Kerja Dan Mobilitas Penduduk Aceh.
Namun sampai sekarang belum ada jalan keluar. Seluruh karyawan masih menerima gaji dengan dicicil. Termasuk masih digaji di bawah UMP yang telah ditetapkan oleh pemerintah Aceh.
"Bahkan ada yang cerai gara-gara gaji dicicil di sana," ungkapnya.
Begitu juga soal BPJS Kesehatan. Seluruh karyawan rutin membayar kepada perusahaan. Namun perusahaan diduga tidak menyetor ke kantor BPJS Kesehatan. Persoalan ini sudah pernah dilaporkan kepada pihak kepolisian. Namun lagi-lagi belum ada penyelesaian.
"Soal iuran BPJS Kesehatan, sudah pernah kami laporkan polisi di sana (Aceh Timur)," ungkapnya.
Sekretaris Aliansi Buruh Aceh (ABA), Habibi Inseun membenarkan ada buruh perkebunan sawit di Aceh Timur belum membayar gaji karyawannya. Persoalan ini perlu segera dicari solusi oleh pemerintah, agar kaum pekerja tidak dirugikan dengan skema membayar gaji secara cicil.
"Kami sudah tau soal itu (karyawan digaji secara cicil), kita sudah berupaya dan menyampaikan ke pihak terkiat," imbuhnya.
Dia berharap pemerintah dan anggota DPRA yang baru dilantik bisa terjun langsung ke lokasi. Agar bisa melihat fakta di lapangan peneritaan yang diterima oleh kaum pekerja.
"Dewan kali ini harus sering-sering turun ke lapangan," pintanya.
Ketua DPRA sementara dari Partai Aceh, Dahlan Jamaluddin berjanji akan berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh. Termasuk mempertanyakan sejauhmana pengawasan terhadap perusahaan yang ada di seluruh Aceh.
"Tenaga pengawas itu cukup penting, ini agar seluruh kebutuhan dan hak-hak buruh terpenuhi," ungkapnya.
Informasi yang diperolehnya, tenaga pengawas tenaga kerja di daerah cukup terbatas. Bahkan ada daerah yang belum memilikinya dan ini tidak sehat dalam iklim ketenagakerjaan.
"Sulit mengawasi tenaga pengawas di daerah itu hanya satu orang dan bahkan ada yang tidak memiliki tenaga pengawas," imbuhnya.
Sementara itu Bardan Saidi, anggota DPRA dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengaku prihatin era sekarang masih ada buruh 15 bulan tak menerima gaji penuh.
"Mohon izin pak ketua, kita harus memanggil Dinas Tenaga Kerja Dan Mobilitas Penduduk Aceh untuk mempertanyakan persoalan itu," katanya.
Bardan Saidi juga menyoroti soal pekerja asing di Aceh. Sebaiknya pekerjaan yang bisa dikerjakan oleh pekerja di Aceh, tidak perlu diserahkan kepada pekerja asing. Harus dimaksimalkan tenaga kerja lokal pada sektor pekerjaan yang bisa dikerjakan. Pekerja asing hanya diberikan pada pekerjaan yang spesifik.
"Kita bukan menolak pekerja asing. Tetapi jangan sampai tenaga cleaning service pun diberikan kepada pekerja asing," tutupnya.| Merdeka.com
loading...
Post a Comment