StatusAceh.Net - Entah apa yang terjadi pada para politisi di tanah air. Ada kesan kuat, banyak politisi dewasa ini yang jauh dari sosok negarawan. Alih-alih memikirkan program pembangunan yang kontekstual dan berbuat nyata untuk rakyat, para politisi tampaknya lebih senang beradu sindiran, bahkan makian.
Kau jual, aku beli. Sikap inilah yang kini banyak diperlihatkan para politisi. Begitu ada politisi melontarkan terminologi yang dirasa menyindir dirinya, maka reaksi serangan balik pun spontan dilontarkan. Ketika ada pihak yang melontarkan terminologi politisi sontoloyo, dan yang yang terbaru politisi genderuwo, maka spontan para politisi dari kubu pesaing pun segera merespons.
Yang terjadi kini adalah saling tuding. Ada pihak yang dengan berpuisi menuding bahwa genderuwo ada di istana. Sementara pihak lawan politik membalas dengan menyebutkan genderuwo ada di Senayan, di Hambalang, dan lain sebagainya. Ada yang bilang politisi cenderung hanya menakut-nakuti rakyat dan sekadar melontarkan kritik yang serem-serem tanpa dasar, pihak lawan dengan cepat merespons dengan kritik yang tak kalah menohok.
Kesabaran Makin Tipis
Bersikap kritis dan melontarkan kritik demi kebaikan sebetulnya adalah hal yang biasa dalam kehidupan berpolitik. Dalam kehidupan berdemokrasi, menyampaikan pendapat--meski berbeda dengan status quo--adalah hal yang biasa. Tetapi yang menjadi masalah ketika yang terlontar bukan kritik yang membangun, melainkan caci-maki yang sama sekali tidak berbasis data yang akurat.
Dua kubu yang tahun 2019 bersaing dalam Pilpres, kini ada indikasi sama-sama suka berkeluh-kesah. Saling sindir, saling tuduh dan saling kecam adalah hal yang makin lama makin biasa dilakukan kedua belah pihak. Tidak ada diskusi yang produktif dan terhormat yang dilakukan dalam forum yang menjunjung tinggi keadaban.
Kau jual, aku beli. Sikap inilah yang kini banyak diperlihatkan para politisi. Begitu ada politisi melontarkan terminologi yang dirasa menyindir dirinya, maka reaksi serangan balik pun spontan dilontarkan. Ketika ada pihak yang melontarkan terminologi politisi sontoloyo, dan yang yang terbaru politisi genderuwo, maka spontan para politisi dari kubu pesaing pun segera merespons.
Yang terjadi kini adalah saling tuding. Ada pihak yang dengan berpuisi menuding bahwa genderuwo ada di istana. Sementara pihak lawan politik membalas dengan menyebutkan genderuwo ada di Senayan, di Hambalang, dan lain sebagainya. Ada yang bilang politisi cenderung hanya menakut-nakuti rakyat dan sekadar melontarkan kritik yang serem-serem tanpa dasar, pihak lawan dengan cepat merespons dengan kritik yang tak kalah menohok.
Kesabaran Makin Tipis
Bersikap kritis dan melontarkan kritik demi kebaikan sebetulnya adalah hal yang biasa dalam kehidupan berpolitik. Dalam kehidupan berdemokrasi, menyampaikan pendapat--meski berbeda dengan status quo--adalah hal yang biasa. Tetapi yang menjadi masalah ketika yang terlontar bukan kritik yang membangun, melainkan caci-maki yang sama sekali tidak berbasis data yang akurat.
Dua kubu yang tahun 2019 bersaing dalam Pilpres, kini ada indikasi sama-sama suka berkeluh-kesah. Saling sindir, saling tuduh dan saling kecam adalah hal yang makin lama makin biasa dilakukan kedua belah pihak. Tidak ada diskusi yang produktif dan terhormat yang dilakukan dalam forum yang menjunjung tinggi keadaban.
Baca Selanjunya
loading...
Post a Comment