Ilustrasi |
Makasar - Nasib nahas menimpa Akbar Daeng Ampuh, 32. Dia sudah satu bulan menjadi napi kasus pembunuhan yang divonis 10 tahun penjara. Selama ditahan dalam ruang isolasi Lapas Kelas I Makassar, tangan dan kakinya dibelenggu menggunakan rantai.
Di ruang isolasi itulah, Ampuh ditemukan meninggal dunia, Senin, 22 Oktober, sekitar pukul 08.00 Wita. Petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Makassar yang mengantar makanan, pertama kali menemukannya. Ampuh tergeletak dan tak bernyawa lagi.
Petugas itu langsung melaporkan kejadian tersebut kepada pimpinannya dan melaporkannya kepada pihak kepolisian. Sementara keluarga korban mengaku hanya mendapat kabar dari tetangga yang baru saja menjenguk di Lapas.
"Tetangga yang dari membesuk bilang, ke lapas ko liat anakmu meninggal ki," kata Sangkir Daeng Katti, 50, ayah kandung Ampuh di halaman Lapas, sebagaimana diberitakan FAJAR (Jawa Pos Group), Selasa (23/10).
Dalam keadaan menangis, Sangkir mengatakan, sudah satu bulan ia tak diperbolehkan menemui anak kelima dari delapan bersaudara itu. "Terakhir di Polrestabes ji," ujarnya sembari mengusap air matanya.
Ia baru mendapat informasi kemarin soal kedua tangan dan kaki Ampuh dirantai. Begitu pun kabarnya anaknya meninggal dunia. "Putus asa ini anakku kasihan karena dirantai terus, kayak dipasung," tuturnya.
Sangkir sendiri ingin ada kejelasan lebih. Sebab, ia belum yakin jika anaknya bunuh diri. "Kami ingin ada kepastian. Pemeriksaan lebih lanjut," tandasnya.
Kepala Lapas Kelas I Makassar Budi Sarwono mengakui bahwa Ampuh selama mendekam di penjara tangan dan kakinya diborgol. Alasannya, ia punya pengaruh kuat terhadap napi lainnya. "Dia juga kerap melawan petugas. Dan itu sengaja kita lakukan untuk memudahkan pemantauan," ujarnya.
Pelanggaran Ampuh, menurut Budi, cukup banyak. Jumat, 19 Januari 2018, Ampuh kedapatan berpesta sabu di dalam ruang tahanan. Petugas menemukan 10 saset sabu-sabu.
Lainnya, dia berhasil meloloskan alat komunikasi telepon ke dalam lapas. Ternyata belakangan dia diketahui menjadi otak pembakaran rumah di Jalan Tinumbu, 6 Agustus 2018.
Kasus pembakaran yang ia rencanakan itu menewaskan enam orang. Yakni, Fahri alias Desta; Sanusi, 70; Bondeng, 65; Musdalifa, 40; Ijas, 5; Namira, 21. Semuanya satu keluarga.
"Sejak kembali dari pemeriksaan di Mapolrestabes Makassar, terhitung 25 September, kita langsung masukkan dia ke dalam ruang isolasi. Jadi itu sebenarnya ruang tahanan tipikor," ujar Budi.
Terkait rantai yang mengikat tangan dan kaki napi yang sedang menjalani hukuman 10 tahun penjara itu, lanjutnya, punya keleluasaan bergerak. "Rantainya cukup panjang. Lebih dari setengah meter. Panjanglah," imbuhnya.
Budi menambahkan, di ruang isolasi itu Ampuh tak sendirian. Ia ditahan bersama seorang napi lainnya, Irwan Idris alias Iwan Lili, 22. "Kita borgol juga," ungkapnya.
Hubungan kedua napi ini, kata Budi, tidak baik. "Tidak begitu baik (hubungannya) sejak kasus itu. Lili takut sama dia (Ampuh)," tandasnya.
Tewasnya Ampuh kini didalami pihak kepolisian. Polisi sudah melakukan olah TKP, mengamankan alat bukti, dan memeriksa sejumlah saksi. Petugas dan Lili. "Dugaan sementara korban (Ampuh) bunuh diri," kata Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, Kompol Wirdhanto Wicaksono di Lapas.
Katanya, di tubuh korban ditemukan bekas luka di bagian leher. "Belum ada tanda-tanda kekerasan di sekujur tubuh korban. Hanya bekas luka di bagian leher. Itu saja," ujar Wirdhanto.
Jenazah korban dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk menjalani visum. "Untuk tindakan otopsi, kami menunggu persetujuan dari keluarga korban," tandasnya. | Jawa Pos
Di ruang isolasi itulah, Ampuh ditemukan meninggal dunia, Senin, 22 Oktober, sekitar pukul 08.00 Wita. Petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Makassar yang mengantar makanan, pertama kali menemukannya. Ampuh tergeletak dan tak bernyawa lagi.
Petugas itu langsung melaporkan kejadian tersebut kepada pimpinannya dan melaporkannya kepada pihak kepolisian. Sementara keluarga korban mengaku hanya mendapat kabar dari tetangga yang baru saja menjenguk di Lapas.
"Tetangga yang dari membesuk bilang, ke lapas ko liat anakmu meninggal ki," kata Sangkir Daeng Katti, 50, ayah kandung Ampuh di halaman Lapas, sebagaimana diberitakan FAJAR (Jawa Pos Group), Selasa (23/10).
Dalam keadaan menangis, Sangkir mengatakan, sudah satu bulan ia tak diperbolehkan menemui anak kelima dari delapan bersaudara itu. "Terakhir di Polrestabes ji," ujarnya sembari mengusap air matanya.
Ia baru mendapat informasi kemarin soal kedua tangan dan kaki Ampuh dirantai. Begitu pun kabarnya anaknya meninggal dunia. "Putus asa ini anakku kasihan karena dirantai terus, kayak dipasung," tuturnya.
Sangkir sendiri ingin ada kejelasan lebih. Sebab, ia belum yakin jika anaknya bunuh diri. "Kami ingin ada kepastian. Pemeriksaan lebih lanjut," tandasnya.
Kepala Lapas Kelas I Makassar Budi Sarwono mengakui bahwa Ampuh selama mendekam di penjara tangan dan kakinya diborgol. Alasannya, ia punya pengaruh kuat terhadap napi lainnya. "Dia juga kerap melawan petugas. Dan itu sengaja kita lakukan untuk memudahkan pemantauan," ujarnya.
Pelanggaran Ampuh, menurut Budi, cukup banyak. Jumat, 19 Januari 2018, Ampuh kedapatan berpesta sabu di dalam ruang tahanan. Petugas menemukan 10 saset sabu-sabu.
Lainnya, dia berhasil meloloskan alat komunikasi telepon ke dalam lapas. Ternyata belakangan dia diketahui menjadi otak pembakaran rumah di Jalan Tinumbu, 6 Agustus 2018.
Kasus pembakaran yang ia rencanakan itu menewaskan enam orang. Yakni, Fahri alias Desta; Sanusi, 70; Bondeng, 65; Musdalifa, 40; Ijas, 5; Namira, 21. Semuanya satu keluarga.
"Sejak kembali dari pemeriksaan di Mapolrestabes Makassar, terhitung 25 September, kita langsung masukkan dia ke dalam ruang isolasi. Jadi itu sebenarnya ruang tahanan tipikor," ujar Budi.
Terkait rantai yang mengikat tangan dan kaki napi yang sedang menjalani hukuman 10 tahun penjara itu, lanjutnya, punya keleluasaan bergerak. "Rantainya cukup panjang. Lebih dari setengah meter. Panjanglah," imbuhnya.
Budi menambahkan, di ruang isolasi itu Ampuh tak sendirian. Ia ditahan bersama seorang napi lainnya, Irwan Idris alias Iwan Lili, 22. "Kita borgol juga," ungkapnya.
Hubungan kedua napi ini, kata Budi, tidak baik. "Tidak begitu baik (hubungannya) sejak kasus itu. Lili takut sama dia (Ampuh)," tandasnya.
Tewasnya Ampuh kini didalami pihak kepolisian. Polisi sudah melakukan olah TKP, mengamankan alat bukti, dan memeriksa sejumlah saksi. Petugas dan Lili. "Dugaan sementara korban (Ampuh) bunuh diri," kata Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, Kompol Wirdhanto Wicaksono di Lapas.
Katanya, di tubuh korban ditemukan bekas luka di bagian leher. "Belum ada tanda-tanda kekerasan di sekujur tubuh korban. Hanya bekas luka di bagian leher. Itu saja," ujar Wirdhanto.
Jenazah korban dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk menjalani visum. "Untuk tindakan otopsi, kami menunggu persetujuan dari keluarga korban," tandasnya. | Jawa Pos
loading...
Post a Comment