StatusAceh.Net - Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) meminta lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini sedang melakukan ‘bersih-bersih’ di Aceh, juga mengusut kasus dugaan penyelewengan dana yang disebut-sebut diperuntukan untuk eks kombatan GAM sebesar Rp 650 miliar dari APBA tahun anggaran 2013.
Permintaan itu disampaikan karena Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh yang selama ini menanggani kasus itu terkesan lambat. Untuk itu, MaTA mendorong Kejati mau meminta supervisi dari KPK agar kasus itu segera memperoleh kepastian hukum. “Tujuan supervisi agar kasus ini dapat titik terang,” kata Koordinator MaTA, Alfian, kepada Serambi, Rabu (11/7).
Alfian memiliki alasan kuat kenapa kasus itu harus disupervisi. Dia mengatakan uang sebesar Rp 650 miliar yang diperuntukan untuk pemberdayaan eks kombatan dikelola oleh 11 Satuan Perangkat Kerja Aceh (SKPA) dan programnya menyebar hampir di seluruh kabupaten/kota. Selain itu, MaTA menilai selama ini Kejati sendiri mengalami kendala dalam pengungkapan kasus sehingga dianggap perlu mengandeng KPK.
“Ini menjadi momentum, di mana KPK lagi bersih-bersih di Aceh. Apalagi publik Aceh sudah lama bertanya-tanya terhadap pengelolaan keuangan Rp 650 miliar tersebut, bagaimana kepastian hukumnya? Jadi kami merasa Kejati Aceh perlu meminta supervisi ke KPK,” ulas aktivis antikorupsi ini.
Alfian mengungkapkan bahwa MaTA sangat mendukung apabila Kejati Aceh meminta supervisi ke KPK. Sehingga kasus dana eks kombatan ini bisa cepat terselesaikan dan bisa terbuka ke publik, dan siapa saja yang bermain dalam pengelolaan anggaran yang bersumber dari dana otonomi khusus (otsus) ini.
Bahkan MaTA sendiri sudah pernah meminta KPK untuk melakukan audit investigasi terhadap dana Otsus sejak tahun 2008 sampai semester pertama di tahun 2018. Ini perlu dilakukan KPK, mengingat Aceh selalu mendapat bantuan keuangan dalam jumlah besar dari Pemerintah Pusat tetapi tidak berbekas pada pembangunan.
Seperti diketahui, kasus ini mencuat dalam debat calon gubernur/wakil gubernur Aceh dalam Pilkada 2017 lalu. Kala itu, pengelolaan dana disoalkan oleh calon gubernur (cagub) nomor 2, Zakaria Saman (Apa Karya) kepada cagub nomor 4, dr Zaini Abdullah.
Kemudian pada 24 Januari 2017, LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh melaporkan kasus itu ke Kejati Aceh. Setahun telah berlalu, tapi kasus tersebut belum juga selesai.
Terpisah, pihak Kejati Aceh mengakui jika penanganan kasus dugaan penyelewengan dana yang disebut-sebut diperuntukan untuk eks kombatan GAM sebesar Rp 650 miliar agak lamban.
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Aceh, T Rahmatsyah SH MH, mengatakan, saat ini mereka masih bekerja mengumpulkan data-data dan keterangan terkait kasus tersebut. Meski demikian, pihaknya menyambut baik jika KPK mau membantu penanganan kasus tersebut.
“Memang Kejati sedang mengumpulkan data-data dan keterangan (terhadap kasus dugaan penyelewengan dana Rp 650 miliar), namun terdapat kendala internal dan eksternal. Tapi baik juga kalau KPK mau membantu menyelesaikan kasus ini,” kata Rahmatsyah saat dikonfirmasi Serambi, kemarin.
Rahmatsyah mengungkapkan ada sejumlah kesulitan yang dihadapi pihaknya sehingga perkara itu lambat sampai ke meja hijau. Seperti tersebarnya kegiatan-kegiatan pemberdayaan eks kombatan di 23 kabupaten kota di Aceh. Kemudian, Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dari setiap kegiatan berada di sebelas SKPA.
Belum adanya audit internal yang bisa dijadikan sandaran untuk bukti awal tapi masih bersifat pentunjuk, lanjut Rahmatsyah, juga menjadi hambatan penyidik untuk menyelesaikan kasus itu. Belum lagi karena kurangnya personel satgas di Kejati Aceh. “Kekuatan satgas di Kejati Aceh banyak yang sudah promosi dan hingga kini belum ada pengganti,” ujarnya.
Selain itu, Kejati saat ini juga sedang fokus menyelesaikan tunggakan-tunggakan kasus korupsi. Seperti kasus dugaan korupsi perencanaan pembangunan Kanwil Kemenag Aceh tahun 2015, kasus dugaan korupsi pada Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue (PDKS) tahun 2002-2012, serta kasus pengadaan alat kesehatan CT Scan dan Kardiologi di RSUZA Banda Aceh tahun 2008.
“Jadi kekuatan satgas sudah berkurang, tapi beban yang kita hadapi masih besar. Tapi kita tetap siap, meskipun anggaran minim sekali. Kita saat ini sedang bekerja. Lamban memang, tapi karena beberapa faktor tadi, baik di internal maupun di eksternal. Tapi bagus juga kalau KPK mau membantu Kejati,” pungkas Rahmatsyah.(mas)
Sumber: serambinews.com
Permintaan itu disampaikan karena Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh yang selama ini menanggani kasus itu terkesan lambat. Untuk itu, MaTA mendorong Kejati mau meminta supervisi dari KPK agar kasus itu segera memperoleh kepastian hukum. “Tujuan supervisi agar kasus ini dapat titik terang,” kata Koordinator MaTA, Alfian, kepada Serambi, Rabu (11/7).
Alfian memiliki alasan kuat kenapa kasus itu harus disupervisi. Dia mengatakan uang sebesar Rp 650 miliar yang diperuntukan untuk pemberdayaan eks kombatan dikelola oleh 11 Satuan Perangkat Kerja Aceh (SKPA) dan programnya menyebar hampir di seluruh kabupaten/kota. Selain itu, MaTA menilai selama ini Kejati sendiri mengalami kendala dalam pengungkapan kasus sehingga dianggap perlu mengandeng KPK.
“Ini menjadi momentum, di mana KPK lagi bersih-bersih di Aceh. Apalagi publik Aceh sudah lama bertanya-tanya terhadap pengelolaan keuangan Rp 650 miliar tersebut, bagaimana kepastian hukumnya? Jadi kami merasa Kejati Aceh perlu meminta supervisi ke KPK,” ulas aktivis antikorupsi ini.
Alfian mengungkapkan bahwa MaTA sangat mendukung apabila Kejati Aceh meminta supervisi ke KPK. Sehingga kasus dana eks kombatan ini bisa cepat terselesaikan dan bisa terbuka ke publik, dan siapa saja yang bermain dalam pengelolaan anggaran yang bersumber dari dana otonomi khusus (otsus) ini.
Bahkan MaTA sendiri sudah pernah meminta KPK untuk melakukan audit investigasi terhadap dana Otsus sejak tahun 2008 sampai semester pertama di tahun 2018. Ini perlu dilakukan KPK, mengingat Aceh selalu mendapat bantuan keuangan dalam jumlah besar dari Pemerintah Pusat tetapi tidak berbekas pada pembangunan.
Seperti diketahui, kasus ini mencuat dalam debat calon gubernur/wakil gubernur Aceh dalam Pilkada 2017 lalu. Kala itu, pengelolaan dana disoalkan oleh calon gubernur (cagub) nomor 2, Zakaria Saman (Apa Karya) kepada cagub nomor 4, dr Zaini Abdullah.
Kemudian pada 24 Januari 2017, LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh melaporkan kasus itu ke Kejati Aceh. Setahun telah berlalu, tapi kasus tersebut belum juga selesai.
Terpisah, pihak Kejati Aceh mengakui jika penanganan kasus dugaan penyelewengan dana yang disebut-sebut diperuntukan untuk eks kombatan GAM sebesar Rp 650 miliar agak lamban.
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Aceh, T Rahmatsyah SH MH, mengatakan, saat ini mereka masih bekerja mengumpulkan data-data dan keterangan terkait kasus tersebut. Meski demikian, pihaknya menyambut baik jika KPK mau membantu penanganan kasus tersebut.
“Memang Kejati sedang mengumpulkan data-data dan keterangan (terhadap kasus dugaan penyelewengan dana Rp 650 miliar), namun terdapat kendala internal dan eksternal. Tapi baik juga kalau KPK mau membantu menyelesaikan kasus ini,” kata Rahmatsyah saat dikonfirmasi Serambi, kemarin.
Rahmatsyah mengungkapkan ada sejumlah kesulitan yang dihadapi pihaknya sehingga perkara itu lambat sampai ke meja hijau. Seperti tersebarnya kegiatan-kegiatan pemberdayaan eks kombatan di 23 kabupaten kota di Aceh. Kemudian, Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dari setiap kegiatan berada di sebelas SKPA.
Belum adanya audit internal yang bisa dijadikan sandaran untuk bukti awal tapi masih bersifat pentunjuk, lanjut Rahmatsyah, juga menjadi hambatan penyidik untuk menyelesaikan kasus itu. Belum lagi karena kurangnya personel satgas di Kejati Aceh. “Kekuatan satgas di Kejati Aceh banyak yang sudah promosi dan hingga kini belum ada pengganti,” ujarnya.
Selain itu, Kejati saat ini juga sedang fokus menyelesaikan tunggakan-tunggakan kasus korupsi. Seperti kasus dugaan korupsi perencanaan pembangunan Kanwil Kemenag Aceh tahun 2015, kasus dugaan korupsi pada Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue (PDKS) tahun 2002-2012, serta kasus pengadaan alat kesehatan CT Scan dan Kardiologi di RSUZA Banda Aceh tahun 2008.
“Jadi kekuatan satgas sudah berkurang, tapi beban yang kita hadapi masih besar. Tapi kita tetap siap, meskipun anggaran minim sekali. Kita saat ini sedang bekerja. Lamban memang, tapi karena beberapa faktor tadi, baik di internal maupun di eksternal. Tapi bagus juga kalau KPK mau membantu Kejati,” pungkas Rahmatsyah.(mas)
Sumber: serambinews.com
loading...
Post a Comment