Banda Aceh- Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) memberhentikan Gubernur Aceh karena dinilai telah melanggar Undang-undang, khususnya pasal 56 ayat 4 UUPA dan UU No 7 tahun 2017.
“Pelanggaran terhadap UU merupakan pelangaran terhadap sumpah jabatan yang konsekuensinya bisa diberhentikan dari jabatannya, hal ini diatur dalam pasal UUPA pasal 48 ayat 2 huruf d dan f. dalam pasal 48 ayat 4 huruf a di sebutkan bahwa pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur diusulkan kepada Presiden berdasarkan Putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRA bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur di nyatakan melanggar sumpah jabatan dan tidak melaksanakan kewajiban Gubernur dan wakil Gubernur. Untuk itu, kami mendesak kepada DPRA agar menyatakan pendapat bahwa Gubernur telah melanggar sumpah jabatan karena tidak melaksanakan perintah UU,” kata Ketua YARA Safaruddin.
Menurutnya, sikap Gubernur yang mempertahankan Qanun nomor 6 tahun 2006 sangat bertolak belakang dengan Qanun nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang, kalau Gubernur bertahan dengan pelaksanaan regulasi setingkat qanun, kenapa tidak melaksanakan pengibaran bendera Bulan Bintang sebagaimana telah disahkan dalam Qanun nomor 3 tahun 2013, sedangkan posisinya Qanun bendera tidak bertentangan dengan Undang-Undang, berbeda dengan Qanun nomor 6 tahun 2006 yang bertentangan dengan UU nomor 11 tahun 2006 dan UU nomor 7 tahun 2017.
Safar menyebutkan, dalam UU nomor 11 tahun 2006, pasal 47, huruf a disebutkan, gubernur wakil gubernur, bupati wakil bupati dan wali kota wakil wali kota dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara atau golongan masyarakat lain.
“Dalam huruf menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatan. Sumpah jabatan adalah akan memenuhi kewajiban saya sebagai gubernur wakil gubernur dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segara UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat nusa dan bangsa, dalam hal menolak pelantikan KIP Aceh ini, Gubernur ingkar terhadap sumpah jabatan untuk melaksanakan UU,” katanya.
Safar juga menilai alasan Kepala Biro Hukum yang menyatakan bahwa sikap DPRA dan KPU terkesan ngawur justru Kepala Biro Hukum yang terlalu memaksakan alasannya, padalah alasan yang disampaikan tersebutlah yang ngawur. Dalam UU No 12/2011, pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dalam ayat 1 disebut hierarkinya adalah: a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d.Peraturan Pemerintah; e.Peraturan Presiden; f.Peraturan Daerah Provinsi; dan g.Peraturan Daerah Kabupaten Kota.
“Perintah UU sudah jelas, jika Pemerintah Aceh berpegang pada Qqanun maka qanun tersebut jauh berada di bawah UU dalam hierarki perundang-undangan sehingga norma yang ada dalam qanun tersebut tidak dapat dipakai karena bertentangan dengan norma UU yang berada di atasnya,” kata Safar.(Red/rls)
loading...
Post a Comment