Banda Aceh - Menanggapi laporan hasil pemeriksaan (LHP) keuangan Pemerintah Kota Lhokseumawe tahun 2016 oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menilai hal tersebut merupakan kegagalan pemerintah Kota Lhokseumawe dalam mengelola anggaran tahun 2016. Pasalnya, dalam hasil pemeriksaan tersebut, BPK RI Perwakilan Aceh memberi opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan keuangan Kota Lhokseumawe sarat dengan potensi masalah.
Di sisi lain, MaTA mendesak BPK RI Perwakilan Aceh melaporkan dugaan potensi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan Kota Lhokseumawe tahun 2016 ke aparat penegak hukum, sehingga ini dapat dijadikan dasar penyidikan oleh aparat penegak hukum. Dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, pasal 8 ayat (3) disebutkan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.
Kemudian pada ayat (4) disebutkan Laporan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara pasal 14 ayat (1) juga disebutkan hal serupa, yakni apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Beberapa temuan yang disajikan oleh BPK RI Perwakilan Aceh di antaranya belanja hibah dan bantuan sosial yang terlalu tinggi hingga mencapai 13,44 persen dari total belanja. Padahal untuk alokasi urusan wajib seperti kesehatan, Pemerintah Kota Lhokseumawe hanya mengalokasikan 7,21 persen dari total belanja. UU Nomor 36 tentang Kesehatan pasal 171 ayat (2) disebutkan besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji.
MaTA menduga, alokasi hibah dan bansos pada tahun 2016 tersebut digunakan untuk memenuhi kepentingan pemenangan Pemilukada 2017 calon incumbent. Untuk itu, MaTA mendesak kepada penegak hukum untuk menjadikan laporan pemeriksaan ini sebagai dasar awal untuk proses penyidikan. Di sisi lain, perlu juga ditelusuri siapa saja penerima manfaat dari alokasi bansos tersebut.
Temuan lain yang disajikan BPK RI Perwakilan Aceh terhadap laporan keuangan Pemerintah Kota Lhokseumawe adalah saldo utang tahun 2016 mencapai Rp 240.048.847.250. Sedangkan pernyataan utang yang ditandatangani oleh 35 Kepala SKPK sebesar Rp 243.949.653.433. Pertanyaannya, kenapa hal ini terjadi? Apakah Pemerintah Kota Lhokseumawe tidak mempunyai pembukuan yang jelas atau memang ini upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe untuk mengelabui anggaran daerah?
Untuk itu, opini WDP yang diberikan oleh BPK RI Perwakilan Aceh untuk laporan keuangan Pemerintah Kota Lhokseumawe 2016 harus mampu menjadi acuan untuk pembenahan ke depan. Sehingga hasil LHP untuk tahun 2017 Pemerintah Kota Lhokseumawe mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).(Rill)
Di sisi lain, MaTA mendesak BPK RI Perwakilan Aceh melaporkan dugaan potensi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan Kota Lhokseumawe tahun 2016 ke aparat penegak hukum, sehingga ini dapat dijadikan dasar penyidikan oleh aparat penegak hukum. Dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, pasal 8 ayat (3) disebutkan apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.
Kemudian pada ayat (4) disebutkan Laporan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara pasal 14 ayat (1) juga disebutkan hal serupa, yakni apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Beberapa temuan yang disajikan oleh BPK RI Perwakilan Aceh di antaranya belanja hibah dan bantuan sosial yang terlalu tinggi hingga mencapai 13,44 persen dari total belanja. Padahal untuk alokasi urusan wajib seperti kesehatan, Pemerintah Kota Lhokseumawe hanya mengalokasikan 7,21 persen dari total belanja. UU Nomor 36 tentang Kesehatan pasal 171 ayat (2) disebutkan besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji.
MaTA menduga, alokasi hibah dan bansos pada tahun 2016 tersebut digunakan untuk memenuhi kepentingan pemenangan Pemilukada 2017 calon incumbent. Untuk itu, MaTA mendesak kepada penegak hukum untuk menjadikan laporan pemeriksaan ini sebagai dasar awal untuk proses penyidikan. Di sisi lain, perlu juga ditelusuri siapa saja penerima manfaat dari alokasi bansos tersebut.
Temuan lain yang disajikan BPK RI Perwakilan Aceh terhadap laporan keuangan Pemerintah Kota Lhokseumawe adalah saldo utang tahun 2016 mencapai Rp 240.048.847.250. Sedangkan pernyataan utang yang ditandatangani oleh 35 Kepala SKPK sebesar Rp 243.949.653.433. Pertanyaannya, kenapa hal ini terjadi? Apakah Pemerintah Kota Lhokseumawe tidak mempunyai pembukuan yang jelas atau memang ini upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe untuk mengelabui anggaran daerah?
Untuk itu, opini WDP yang diberikan oleh BPK RI Perwakilan Aceh untuk laporan keuangan Pemerintah Kota Lhokseumawe 2016 harus mampu menjadi acuan untuk pembenahan ke depan. Sehingga hasil LHP untuk tahun 2017 Pemerintah Kota Lhokseumawe mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).(Rill)
loading...
Post a Comment