Buku saku ditemukan di dekat lokasi ledakan bom Kampung Melayu (VIVA.co.id/Foe Simbolon) |
StatusAceh.Net - Adik terpidana mati bomber Bali, Ali Imron dan Amrozi, Ali Fauzi Manzi, berpendapat bahwa peristiwa bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, merupakan runtutan dari aksi gagal sebelum-sebelumnya. Dari kegagalan demi kegagalan itu kelompok atau pelaku terus coba melancarkan aksinya.
"Bom Kampung Melayu lebih praktis dari pada bom sebelumnya. Bisa saja, mereka belajar dari kegagalan-kegagalan (aksi) tahun 2016 dan meng-upgrade, bisa jadi dengan belajar ke orang-orang yang ahli lalu beraksi," kata Ali dihubungi VIVA.co.id pada Kamis, 25 Mei 2017.
Ali tidak sepakat dengan dugaan pihak Kepolisian yang menyebut bahwa jenis bom Kampung Melayu adalah bom panci. Menurutnya, bom panci biasanya dioperasikan dengan pengendali waktu dan pelaku tidak berada di tempat. "Nah, ini pelakunya ikut mati dan tubuhnya terpotong-potong," tuturnya.
Mantan instruktur bom Jamaah Islamiyah Perwakilan Jawa Timur itu lebih sepakat bahwa bom yang diledakkan pelaku adalah jenis bom rompi atau ransel. Menurutnya, pelaku bom bunuh diri lebih biasa dan mudah melakukan aksinya dengan menggunakan rompi atau tas daripada panci. "Tentu polisi sudah punya dugaan, tapi saya punya dugaan lain," katanya.
Lalu kepada sosok atau kelompok radikal dan teroris mana pelaku belajar beraksi? "Pelaku tidak mungkin ujuk-ujuk beraksi, dia pasti bersinggungan lebih dulu dengan orang-orang yang sudah berpengalaman. Kalau di Indonesia, minimal kepada orang yang pernah dididik di akademi militer Afghanistan dan Filipina di Mindanao," kata Ali.
Selain di dua negara konflik itu, jelas mantan kombatan alumni Kamp Militer Moro Islamic Libration Front, Mindanao, Filipina, itu, bisa jadi pelaku pernah bersentuhan dengan orang-orang yang pernah terlibat konflik di Ambon dan Poso awal 2000-an, seperti misalnya kelompok Santoso. "Bisa jadi yang bersangkutan (pelaku) ini belajar kepada mereka-mereka itu," ujarnya.
Lepas dari itu semua, Ali berharap Kepolisian lebih waspada karena serangan kemungkinan tidak akan berhenti di Kampung Melayu. Sebab, kata dia, aksi yang bagi pelaku disebut jihad itu didorong oleh sebuah pemahaman dan keyakinan. "Karena sulit mendeteksi itu di antara ratusan juga orang (di Indonesia)," tutur dia.
Diberitakan, dua ledakan diduga bom bunuh diri terjadi di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada Rabu malam, 24 Mei 2017. Lima belas orang jadi korban dalam kejadian tragis itu. Lima orang di antaranya meninggal dunia, tiga anggota Polri dan dua warga sipil.(Viva)
"Bom Kampung Melayu lebih praktis dari pada bom sebelumnya. Bisa saja, mereka belajar dari kegagalan-kegagalan (aksi) tahun 2016 dan meng-upgrade, bisa jadi dengan belajar ke orang-orang yang ahli lalu beraksi," kata Ali dihubungi VIVA.co.id pada Kamis, 25 Mei 2017.
Ali tidak sepakat dengan dugaan pihak Kepolisian yang menyebut bahwa jenis bom Kampung Melayu adalah bom panci. Menurutnya, bom panci biasanya dioperasikan dengan pengendali waktu dan pelaku tidak berada di tempat. "Nah, ini pelakunya ikut mati dan tubuhnya terpotong-potong," tuturnya.
Mantan instruktur bom Jamaah Islamiyah Perwakilan Jawa Timur itu lebih sepakat bahwa bom yang diledakkan pelaku adalah jenis bom rompi atau ransel. Menurutnya, pelaku bom bunuh diri lebih biasa dan mudah melakukan aksinya dengan menggunakan rompi atau tas daripada panci. "Tentu polisi sudah punya dugaan, tapi saya punya dugaan lain," katanya.
Lalu kepada sosok atau kelompok radikal dan teroris mana pelaku belajar beraksi? "Pelaku tidak mungkin ujuk-ujuk beraksi, dia pasti bersinggungan lebih dulu dengan orang-orang yang sudah berpengalaman. Kalau di Indonesia, minimal kepada orang yang pernah dididik di akademi militer Afghanistan dan Filipina di Mindanao," kata Ali.
Selain di dua negara konflik itu, jelas mantan kombatan alumni Kamp Militer Moro Islamic Libration Front, Mindanao, Filipina, itu, bisa jadi pelaku pernah bersentuhan dengan orang-orang yang pernah terlibat konflik di Ambon dan Poso awal 2000-an, seperti misalnya kelompok Santoso. "Bisa jadi yang bersangkutan (pelaku) ini belajar kepada mereka-mereka itu," ujarnya.
Lepas dari itu semua, Ali berharap Kepolisian lebih waspada karena serangan kemungkinan tidak akan berhenti di Kampung Melayu. Sebab, kata dia, aksi yang bagi pelaku disebut jihad itu didorong oleh sebuah pemahaman dan keyakinan. "Karena sulit mendeteksi itu di antara ratusan juga orang (di Indonesia)," tutur dia.
Diberitakan, dua ledakan diduga bom bunuh diri terjadi di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada Rabu malam, 24 Mei 2017. Lima belas orang jadi korban dalam kejadian tragis itu. Lima orang di antaranya meninggal dunia, tiga anggota Polri dan dua warga sipil.(Viva)
loading...
Post a Comment