Pohon kedondong yang ditanam dengan biaya CSR Pertamina. (TEMPO/Imran M.A.) |
Aceh Timur - Listrik kedondong tak pernah menyala di Desa Tampur Paloh, Kecamatan Simpang Jerning, Kabupaten Aceh Timur. Pekan lalu, desa yang berjarak 512 kilometer dari Kota Banda Aceh ini dikabarkan telah tersambung listrik yang bersumber dari pohon kedondong (Spondias dulcis forst) buatan Naufal Raziq, 15 tahun, siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Langsa.
Faktanya, desa di pedalaman dengan penduduk 114 kepala keluarga yang berada di hulu Sungai Tamiang itu belum menikmati listrik dari pihak manapun. Di sana justru masih banyak warga yang menggunakan lampu teplok. Beruntung bagi yang memiliki sedikit uang, mereka bisa membeli mesin genset merek Dompeng bersuara parau. Ketika Tempo mengunjungi desa itu Sabtu pekan lalu, memang bunyi mesin begitu memekakkan telinga.
Dong...dong...dong! Suara mesin merek Dongfeng itu menyala mulai sore hari, mengalirkan listrik ke beberapa rumah warga. Ada beberapa rumah yang masih gelap, tapi tak lama kemudian lampu teplok menyala di sana. Di desa itu, pancaran cahaya dari lampu teplok berusaha mengintip dari celah-celah dinding kayu yang telah longgar.
"Ya, beginilah nasib kami. Yang jelas, kabar di luar itu tidak benar," kata Hasbi, 53 tahun, sambil menghelas napas, kepada Tempo, Sabtu malam pekan lalu.
Semakin malam, mesin diesel berkekuatan 12 PK milik warga desa pemilik kios kelontong itu kian mereda. Malam kian larut di Desa Tampur Baloh itu. Hasbi masih terus bercerita tentang listrik yang tak pernah mengunjungi desanya sejak 2005.
Sekitar 11 tahun di tengah kegalauan hidup tanpa listrik, pada Juni 2016, staf Pertamina EP Rantau Field datang ke desa Hasbi. Orang Pertamina tersebut menawarkan listrik yang bersumber dari pohon kedondong yang biasa ditanam untuk batas pagar kebun warga yang tinggal di sepanjang pesisir Aceh.
Energi listrik yang mendadak heboh dan menghiasi media massa nasional ini pertama kali ditemukan oleh Naufal Raziq saat memenangkan lomba teknologi tepat guna yang diselenggarakan Balai Pemberdayaan Masyarakat Aceh (BPM) Aceh. Inovasi energi hijau itu disambut baik Pertamina EP Rantau Field dalam program corporate social resposibility (CSR) untuk warga Desa Tampur Paloh, yang berdekatan dengan tambang minyak Pertamina itu.
Tanpa menunggu lama, Pertamina memasok sejumlah bibit kedondong ke pelabuhan Sungai di Desa Batu Sumbang. Pelabuhan kecil ini merupakan tempat bersandar perahu boat yang siap mengankut barang dan warga dari dan ke Tampur Paloh. Setelah besar, pohon kedongdong itu dibor dengan ukuran bulatan satu inci dan kedalaman sekitar 14 sentimeter untuk tempat besi tipis dan besi kalpanis berlapis kain.
Hasbi menunjukkan langsung posisi pohon kedondong listrik yang heboh dibicarakan. Ujung kabel yang tersambung dengan ujung besi tersebut lalu disambungkan ke elektroda paralel yang dipasang dengan pola seri ke lubang elektroda lainnya. Elektroda adalah konduktor listrik.
Arus listrik dialirkan dari pohon kedondong ke alat penampung bernama inverter DC sebelum dikirim ke lampu. Sekadar informasi, inverter DC adalah alat yang bisa mengubah arus DC (searah) menjadi AC (arus bolak-balik).
"Awal kami ya jelas senang. Tapi saat dites, hanya satu rumah yang mau hidup," keluh Hasbi, yang juga menjadi imam di desa. "Sebentar saja hidupnya dengan kekuatan satu lampu, tapi itu biasanya hidup kalau ada kunjungan para petinggi Pertamina dan pemerintah kabupaten. Sepulang mereka tak hidup lagi."
Sejumlah warga lain yang Tempo temui mengatakan bahwa Pertamina EP meminta warga untuk menambahkan pohon kedondong hutan di sekitar desa. Sebatang pohon diberi imbalan jasa Rp 25 ribu. Namun, warga menolak permintaan tersebut. Alasannya, listrik kedondong tidak begitu berdampak bagi kehidupan mereka. Malah, dengan adanya dana desa, warga akan menyiapkan anggaran untuk membangun pembangkit tenaga listrik dari potensi air terjun yang ada di sekitar desa.
"Kami sekarang memang diterangi listrik. Bukan dari listrik kedondong, tapi dari mesin genset yang berbunyi dong...dong...dong," kata Hasbi sambil tertawa. Tawanya itu menggema ke sekitar, ke sela-sela pohon kedondong yang tak mampu menghasilkan listrik sama sekali. Sumber: Tempo
Faktanya, desa di pedalaman dengan penduduk 114 kepala keluarga yang berada di hulu Sungai Tamiang itu belum menikmati listrik dari pihak manapun. Di sana justru masih banyak warga yang menggunakan lampu teplok. Beruntung bagi yang memiliki sedikit uang, mereka bisa membeli mesin genset merek Dompeng bersuara parau. Ketika Tempo mengunjungi desa itu Sabtu pekan lalu, memang bunyi mesin begitu memekakkan telinga.
Dong...dong...dong! Suara mesin merek Dongfeng itu menyala mulai sore hari, mengalirkan listrik ke beberapa rumah warga. Ada beberapa rumah yang masih gelap, tapi tak lama kemudian lampu teplok menyala di sana. Di desa itu, pancaran cahaya dari lampu teplok berusaha mengintip dari celah-celah dinding kayu yang telah longgar.
"Ya, beginilah nasib kami. Yang jelas, kabar di luar itu tidak benar," kata Hasbi, 53 tahun, sambil menghelas napas, kepada Tempo, Sabtu malam pekan lalu.
Semakin malam, mesin diesel berkekuatan 12 PK milik warga desa pemilik kios kelontong itu kian mereda. Malam kian larut di Desa Tampur Baloh itu. Hasbi masih terus bercerita tentang listrik yang tak pernah mengunjungi desanya sejak 2005.
Sekitar 11 tahun di tengah kegalauan hidup tanpa listrik, pada Juni 2016, staf Pertamina EP Rantau Field datang ke desa Hasbi. Orang Pertamina tersebut menawarkan listrik yang bersumber dari pohon kedondong yang biasa ditanam untuk batas pagar kebun warga yang tinggal di sepanjang pesisir Aceh.
Energi listrik yang mendadak heboh dan menghiasi media massa nasional ini pertama kali ditemukan oleh Naufal Raziq saat memenangkan lomba teknologi tepat guna yang diselenggarakan Balai Pemberdayaan Masyarakat Aceh (BPM) Aceh. Inovasi energi hijau itu disambut baik Pertamina EP Rantau Field dalam program corporate social resposibility (CSR) untuk warga Desa Tampur Paloh, yang berdekatan dengan tambang minyak Pertamina itu.
Tanpa menunggu lama, Pertamina memasok sejumlah bibit kedondong ke pelabuhan Sungai di Desa Batu Sumbang. Pelabuhan kecil ini merupakan tempat bersandar perahu boat yang siap mengankut barang dan warga dari dan ke Tampur Paloh. Setelah besar, pohon kedongdong itu dibor dengan ukuran bulatan satu inci dan kedalaman sekitar 14 sentimeter untuk tempat besi tipis dan besi kalpanis berlapis kain.
Hasbi menunjukkan langsung posisi pohon kedondong listrik yang heboh dibicarakan. Ujung kabel yang tersambung dengan ujung besi tersebut lalu disambungkan ke elektroda paralel yang dipasang dengan pola seri ke lubang elektroda lainnya. Elektroda adalah konduktor listrik.
Arus listrik dialirkan dari pohon kedondong ke alat penampung bernama inverter DC sebelum dikirim ke lampu. Sekadar informasi, inverter DC adalah alat yang bisa mengubah arus DC (searah) menjadi AC (arus bolak-balik).
"Awal kami ya jelas senang. Tapi saat dites, hanya satu rumah yang mau hidup," keluh Hasbi, yang juga menjadi imam di desa. "Sebentar saja hidupnya dengan kekuatan satu lampu, tapi itu biasanya hidup kalau ada kunjungan para petinggi Pertamina dan pemerintah kabupaten. Sepulang mereka tak hidup lagi."
Sejumlah warga lain yang Tempo temui mengatakan bahwa Pertamina EP meminta warga untuk menambahkan pohon kedondong hutan di sekitar desa. Sebatang pohon diberi imbalan jasa Rp 25 ribu. Namun, warga menolak permintaan tersebut. Alasannya, listrik kedondong tidak begitu berdampak bagi kehidupan mereka. Malah, dengan adanya dana desa, warga akan menyiapkan anggaran untuk membangun pembangkit tenaga listrik dari potensi air terjun yang ada di sekitar desa.
"Kami sekarang memang diterangi listrik. Bukan dari listrik kedondong, tapi dari mesin genset yang berbunyi dong...dong...dong," kata Hasbi sambil tertawa. Tawanya itu menggema ke sekitar, ke sela-sela pohon kedondong yang tak mampu menghasilkan listrik sama sekali. Sumber: Tempo
loading...
Post a Comment