Banda Aceh – Kasus pengadaan tanah pembangunan terminal tipe C Labuhan Haji yang kini menjerat mantan Kepala Dinas Perhubungan Aceh Selatan, Tio Achriyat dalam waktu dekat akan memasuki babak keputusan. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mengajukan tuntutan kepada majelis hakim pengadilan tipikor Banda Aceh dengan ancaman 2 tahun penjara untuk terdakwa, namun tuntutan tersebut terkesan terlalu dipaksakan dan mengabaikan fakta-fakta persidangan. Dalam hal ini JPU terlihat tetap bersikukuh dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian yang bertolak belakang dengan pernyataan para saksi dipersidangan. Hal ini disampaikan oleh Sekjen Forum Mahasiswa dan Pemuda Selatan Raya Aceh (MeuSeRayA), Delky Nofrizal Qutni kepada Media, Senin (10/04/2017).
“ Sebenarnya, perkara yang di dengung-dengungkan sebagai kasus cicak VS buaya versi Aceh Selatan ini, sudah 2 kali dilakukan P19 dan dikembalikan oleh jaksa kepada penyidik polres Aceh Selatan, dalam artian bahwa berkas tersebut tidak lengkap antara lain oleh JPU meminta tersangka lainnya, alat bukti materil atas kerugian negara yg dilakukan oleh tio achriyat (baik alat bukti formil & materil), mana saksi ahli dan lain-lain. Dari hal tersebut terlihat jelas bahwa adanya indikasi perkara ini dipaksakan agar dinaikkan ke persidangan, sehingga secara jelas terlihat di persidangan tidak dapat dibuktikan berdasarkan fakta hokum,” ungkapnya.
Lebih lanjut Ia menjelaskan, Jika kita lihat surat hasil audit Badan Pemerisa Keuangan Pemerintah (BPKP) yang dihadirkan oleh pihak JPU pada persidangan ke-12 tanggal 16/03/2017 silam, terdapat sejumlah kejanggalan sebagaimana yang disampaikan oleh saksi ahli dipersidangan bahwa terdapat sejumlah kejanggalan pada surat tersebut
“Hasil audit BPKP nomor SR-3013/PW01/5 / 2015 tanggal 31 Desember 2015 yang menyebutkan bahwa adanya kerugian Negara dari hasil pembelian tanah sebesar sebesar Rp. 582. 162.350,- tidak dapat dibuktikan di persidangan. Bahkan sekretaris panitia yg ex officio adalah kepala BPN juga menyatakan proses pengadaan tanah tersebut sudah sesuai prosedur bahkan range yang ditetapkan oleh panitia penaksir Rp. 45.000 s/d Rp. 100.000,- dan diputuskan oleh panitia 9 dengan harga 69 ribu sudah dibawah harga pasar range harga tanah 45.000 s/d 100.000, lalu berdasarkan musyawarah tim disepakati harga tanah sebesar 69.000,-, harga tersebut belum melebihi batas maksimal harga, lantas pertanyaannya dimana letak kerugian negara??” ujar mantan kabid Advokasi Forum Paguyuban Mahasiswa Pemuda Aceh (FPMPA) itu.
Jika kita amati ,kata Delky, terdakwa Tio Achriyat pada pengadaan tanah terminal C Labuhanji tahap II tahun anggaran 2011 tidak ikut terlibat dan tidak pernah membubuhi tanda tangan persetujuan hasil rapat panitia. “Ironisnya, kenapa terkait perhitungan kerugian negara yang dibuat oleh BPKP melibatkan terdakwa pada 2 tahap pengadaan meskipun pada tahap kedua yang bersangkutan tidak terlibat.”
Ia juga menjelaskan, dari 27 saksi yang dihadirkan ke persidangan tidak ada satu saksi pun yang memberatkan terdakwa, bahkan 7 diantaranya justru mencabut pernyataan di BAP kepolisian termasuk salah satu saksi dedengkot (saksi kunci) H. Nasurrahman yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua panitia tim 9 memimpin rapat secara terus menerus menggantikan ketua panitia tim 9 , Drs H. Harmaini M.Si, menyatakan proses pengadaan tanah tsb sdh sesuai prosedur. Sehingga secara jelas terlihat kesaksian yang bersangkutan dip persidangan bertolak belakang dengan BAP kepolisian, hingga dapat disimpulkan oleh publik adanya indikasi BAP tersebut sarat rekayasa karena bertolak belakang dengan kesaksian saksi dipersidangan.
Jaksa Penuntut Umum terbukti tidak mampu menghadirkan fakta hukum di persidangan, sehingga merumuskan tuntutan sesuai dengan BAP Kepolisian. Hal ini tentunya sangat tidak logis untuk digunakan karena 7 saksi telah mencabut kesaksiannya dipersidangan.
Yang sangat aneh, menurut Delky, saksi kunci lainya yaitu Adam Malik yang juga mencabut pernyataannya pada BAP, keterangan Adam Malik tersebut pula yang justeru dikutip kembali oleh JPU dlm membuat tuntutannya.
“ Masya Allah, JPU telah membuat kesalahan dan panik dalam membuat tuntutanya, hal ini tentu dapat berimplikasi terhadap penegakan hukum yang tidak bagi terdakwa & masyarakat lainnya nanti untuk mendapatkan & mencari keadilan serta kebenaran dinegara hukum yg tercinta ini,” katanya mengaku prihatin.
Sungguh ironis, tutur pemuda asal Aceh Selatan itu, ketika JPU justru menuntut terdakwa 2 tahun penjara tanpa adanya fakta hukum. Pihaknya mengkhawatirkan hukum akan dijadikan senjata pihak tertentu untuk menjerat orang-orang yang tidak disenanginya. “Sesuai uji materi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 2 ayat 1 dan 3 UU Tipikor secara tegas jelaskan MK bahwa untuk kasus korupsi harus dibuktikan adanya kerugian negara. Dikarenakan JPU tidak bias membuktikan kerugian Negara yang ditimbulkan oleh tindakan terdakwa maka kenapa tidak jika terdakwa harus dibebaskan”.
“Sebagai elemen sipil, kita berharap majelis hakim tetap berpedoman kepada fakta persidangan dan menolak tuntutan tidak yang diajukan jaksa demi terwujudnya penegakan hukum yang berkeadilan bagi seluruh warga negara sebagaimana diamanahkan dalam UUD 1945 pasal 28 D ayat 1,” pungkasnya. [Rill]
loading...
Post a Comment