statusaceh.net - Badan Pengawas Pemilu Bawaslu mengatakan meski tidak ada sanksi pidana untuk pelanggaran politik uang dalam UU Pilkada, tindakan itu masih bisa dipidana dengan menggunakan KUHP atau aturan lain.
Komisioner Bawaslu Daniel Zuchron mengatakan sanksi pidana untuk pelaku dan penerima politik uang tetap dapat diterapkan dengan menggunakan instrumen KUHP.
”Memang tidak ada sanksi pidana dalam UU Pilkada tetapi, praktek politik uang tetap dapat dipidana dengan KUHP, atau jika aturan tentang penggunaan dana kampanye yang ilegal,” jelas Daniel.
Dalam UU KUHP, yaitu pasal 149 ayat (1) dan (2) untuk menjerat pelaku politik uang.
Ayat 1 berbunyi "Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau piadan denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah.”
Sedangkan ayat 2 ”Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap”.
Menurut Daniel, dalam pelaporan dana kampanye dapat diketahui penyaluran uang oleh pasangan calon kepala/wakil kepala daerah, apalagi jika diketahui melakukan politik uang secara terbuka.
”Calon atau tim kampanye itu tahan saja karena itu ada pelanggaran di luar money politic, ilegal dalam pembelanjaan dana kampanye. Kami akan kerja sama dengan auditor KPU untuk mendorong agar ada cross check soal pengunaan dana,” kata Daniel.
Tetapi, Bawaslu mengakui sulitnya menjerat praktek politik uang dalam Pilkada serentak 2015 ini karena sebagian besar dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak menggunakan identitas sebagai tim sukses.
“Dalam penindakan sulit, mata rantai yang terputus dengan tim yang formal kalau pun yang kena itu bagian lapangan saja. Itu sampai ke aktor intelektual,” jelas dia.
Bawaslu, menurut Daniel, menerima laporan praktek politik uang yang berupa pembagian sembako antara lain di Lampung dan Jawa Timur.
Komisioner Bawaslu Daniel Zuchron mengatakan sanksi pidana untuk pelaku dan penerima politik uang tetap dapat diterapkan dengan menggunakan instrumen KUHP.
”Memang tidak ada sanksi pidana dalam UU Pilkada tetapi, praktek politik uang tetap dapat dipidana dengan KUHP, atau jika aturan tentang penggunaan dana kampanye yang ilegal,” jelas Daniel.
Dalam UU KUHP, yaitu pasal 149 ayat (1) dan (2) untuk menjerat pelaku politik uang.
Ayat 1 berbunyi "Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya atau supaya memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau piadan denda paling lama empat ribu lima ratus rupiah.”
Sedangkan ayat 2 ”Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap”.
Menurut Daniel, dalam pelaporan dana kampanye dapat diketahui penyaluran uang oleh pasangan calon kepala/wakil kepala daerah, apalagi jika diketahui melakukan politik uang secara terbuka.
”Calon atau tim kampanye itu tahan saja karena itu ada pelanggaran di luar money politic, ilegal dalam pembelanjaan dana kampanye. Kami akan kerja sama dengan auditor KPU untuk mendorong agar ada cross check soal pengunaan dana,” kata Daniel.
Tetapi, Bawaslu mengakui sulitnya menjerat praktek politik uang dalam Pilkada serentak 2015 ini karena sebagian besar dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak menggunakan identitas sebagai tim sukses.
“Dalam penindakan sulit, mata rantai yang terputus dengan tim yang formal kalau pun yang kena itu bagian lapangan saja. Itu sampai ke aktor intelektual,” jelas dia.
Bawaslu, menurut Daniel, menerima laporan praktek politik uang yang berupa pembagian sembako antara lain di Lampung dan Jawa Timur.
Politik uang terbuka
Tetapi, ada juga calon kepala daerah yang membagikan langsung uang tunai dalam kampanye terbuka, yaitu Calon bupati Karawang Cellica Nurrachadiana, dan Ahmad Zamakhsyari, Minggu (29/11) lalu.
Dalam kampanye terbuka di lapangan Karangpawitan Kabupaten Karawang, Cellica bersama dengan seorang anggota timnya menebarkan uang pecahan RP50.000 kepada para pendukungnya yang berdiri di bawah panggung.
Sementara, calon wakilnya Ahmad Zamakhsyari, menyarankan kepada para pendukungnya untuk menerima pemberian uang oleh calon kepala daerah yang lain, dalam Bahasa Sunda.
”Mun aya nu mere duit, cokot duitna, colok nomor, cokot duitnya, colok nomor, cokot duitnya colok nomor ,” ( Kalau ada yang memberi uang, ambil uangnya pilih nomor… )
Panitia pengawas pemilu Panwaslu Karawang Syarif Hidayat mengatakan telah melakukan klarifikasi terhadap pasangan calon tersebut.
“Kami sudah melakukan temuan ada dua kasus dugaan politik uang, sudah kita klarifikasi , sejauh ini belum ada pelapor, tapi sudah ada temuan unsur klarifikasi itu tidak banyak yang bisa kita buka, “ jelas Syarif.
Tetapi, Syarif mengaku sulit untuk mendapatkan bukti formal yang disyaratkan dalam KUHP.
Dalam kampanye terbuka di lapangan Karangpawitan Kabupaten Karawang, Cellica bersama dengan seorang anggota timnya menebarkan uang pecahan RP50.000 kepada para pendukungnya yang berdiri di bawah panggung.
Sementara, calon wakilnya Ahmad Zamakhsyari, menyarankan kepada para pendukungnya untuk menerima pemberian uang oleh calon kepala daerah yang lain, dalam Bahasa Sunda.
”Mun aya nu mere duit, cokot duitna, colok nomor, cokot duitnya, colok nomor, cokot duitnya colok nomor ,” ( Kalau ada yang memberi uang, ambil uangnya pilih nomor… )
Panitia pengawas pemilu Panwaslu Karawang Syarif Hidayat mengatakan telah melakukan klarifikasi terhadap pasangan calon tersebut.
“Kami sudah melakukan temuan ada dua kasus dugaan politik uang, sudah kita klarifikasi , sejauh ini belum ada pelapor, tapi sudah ada temuan unsur klarifikasi itu tidak banyak yang bisa kita buka, “ jelas Syarif.
Tetapi, Syarif mengaku sulit untuk mendapatkan bukti formal yang disyaratkan dalam KUHP.
Legalkan korupsi
Direktur Perludem Titi Anggraini mengatakan kampanye dengan membagi-bagikan uang tidak mendidik dan justru melegalkan praktek korupsi.
“Jauh dari esensi dari nilai kampanye tidak ada nilai mendidik sama sekali itu, kalau misalnya ada bagi uang bagi saja, itu sama saja dengan legalisasi praktek korupsi, dalam korupsi kan jelas yang memberi dan menerima sama-sama dapat dikenakan sanksi pidana,” jelas dia.
Dalam UU No.8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah Pilkada, tidak ada aturan pemberian sanksi pidana bagi para pelaku politik uang, dan hanya mengatur sanksi diskualifikasi kepesertaan untuk partai politik parpol ataupun calon Kepala Daerah.
Titi mengatakan tidak adanya sanksi pidana untuk praktek politik uang dalam UU Pilkada ini, tetapi ada ketentuan pembatalan calon kepala daerah jika terbukti di pengadilan melakukan tindakan itu.
“Jadi ini anomali nih, dilarang ada ketentuan sanksi dapat dibatalkan pencalonannya jika terbukti di pengadilan, tetapi tidak ada sanksi pidana dalam UU Pilkada, “ jelas Titi.
Kendati begitu, Titi menjelaskan KUHP dapat menjadi pilihan untuk menjerat praktek politik uang.
Praktek politik uang dalam pilkada ini diperkirakan banyak dilakukan. Dalam Survei KPK di beberapa daerah menunjukkan 50% pemilih masih mempertimbangkan untuk menerima politik uang.
BBC
loading...
Post a Comment